KLIK EMAIL DAPAT DOLLAR, KLIK DI SINI

exclusivemails.net

Rabu, 30 Desember 2009

PEMBAHASAN
Neomodernisme Dalam Islam

(Fazlur Rahman)

A. Biografi
Fazlur rahman lahir di Pakistan sekitar pada tahun 1919-1988. lahir dan besar di koloni inggris yang kemudian menjadi Negara Pakistan. Ia menampakkan karil akademis yang membawanya meraih gelar akademik di Universitas Punjab dan Oxford. Semejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga dan tradisi mazhab Hanafi yang terkenal rasional itu. Ia juga memberi kulyah filsafat Islam di Inggris dan Kanada. Pada tahun 1961, Rahman kembali ke Pakistan untuk mengetahui Central Institute of Islamic Research di Karaci, sebuah organisasi yang di sponsori oleh Negara, untuk memobilisasi perang terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang tradisional dan radikal.

B. Karya dan Pemikirannya
Perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga periode : periode awal sekitar tahun 50-an, periode Pakistan sekitar tahun 60-an, dan periode chicago sekitar tahun 70-an. (Taufik, 1990 : 112-149).

 Kritik Atas Pemikiran Islam dan Modernisme
Periode pertama adalah karil awal Rahman di Pakistan setelah berhasil menyelesaikan program doctoral di Oxford University. Dalam periode ini, pemikiran Rahmann masih terikat dengan kajian-kajian Islam histories, meskipun sikap kritisnya terhadap pemikiran islam klasik telah tampak. Dalam masa ini ada tiga karya tepenting yaitu : Avicennan’s Psychology (1952) : Prophecy in Islam : Philosofhy and Orthodoxy (1958) : dan Avicenna’s De Anima (1959) : serta, satu antologi (kumpulan tulisan) dari artikel-artikkel tentang pemikiran Islam khususnya pemikiran moderen Iqbal. Di memberikan catatan kriti terhadap pemikiran klasik. Baginya, doktrin filosofi islam klasik seluruhnnya berasal dari Yunani, meskipun para Filasof muslim telah berusaha mengelaborasikan, bahkan menyaring dan menyesuaikannya dengan ddokrin seperti konsep kenabian. Rahman memandang para Filosop Muslim juga telah memperkeras unsur-unsur dasar dari Yunani dengan menambahkan elemen perfeksionisme intelektual dan menjadikan sebagai eleman tertinggi dari semua elemen (Taufik,1990 :113).
Rahman berkesimpulan, pandangannya tentang proses pewahyuan kepada Nabi Muhammad. Para fiosuf seperti Ibn Sina berteori bahwaNabi menerima wahyu dengan mengidentifikasi dirinya dengan Intelek Aktif, sementara ulama ortodok seperti al-Shahrastani dan Ibn Khaldun memandang bahwa Nabi mengidentifikasi dirinya dengan malaikat,sementariahman sendir, Rahman sendiri berpendapat bahwa Nabi mengindifikasikan dirinya dengan hukum moral.
Dalam karya terakhir periode ini (1955), Rahman menelaah pemikiran religion filosofis modern khususnya pemikiran Iqbal. Ia memulai telaahnya dengan satu pandangan tentang relatifnya pemikiran filosofis islam pada awal periode modern. Menurutnya, sebagian besar upaya intelektual kalangan modernis terpusat pada masalah-masalah legal dan social praktis. Hal ini disebabkan oleh internal utama ulama yang dihadapi islam pada masa itu timbul dari ketidak puasan terhadap warisan mazhab hokum abad pertengahan yang tidak lagi memadahi untuk kondisi,dan serangan-serangan yang memojokkan dari kritikus barat terhadap islam ditujukan kepada pranata-pranata legal dan sosialnya serta moralitas yang terkandung didalamnya.
Disamping memberikan apresiasi terhadap pemikiran Iqbal,Rahman juga memberi kritik, bahwa penyair filosof ini telah gaga merekonsiliasikan akal dan konsep dinamismenya. Hal ini, menurut rahman, bukan karena konsep dinamisme Iqbal bertentangan dengan tujuan-tujuan rasional, tetapi karena kenyataan sederhana bahwa penggagasnya tidak siap menerima dalam analisis akhirnya tujuan yang sebenarnya dari proses realitas,lantaran hal tersebut tampak baginya mengancam apa yang ia sebut kebebasan aktivitas. Rahma juga menngkritik, bahwa Iqbal sering menggunakan frase-frase yang yang sulit ditemukan kandungan inti konseptual yang dapat diuraikan, dan bahkan dalam karya monumental Iqbal itu tidak terdapat argument yang kukuh serta dalam. Dalam hal ini tanpak jelas bahwa basis kritik Rahman terhadap pemikiran Islam modern, bahwa penafsiran-penafsiran atas Islam itu harus muncul dari dalam, bukan pemaksaan-pemaksaan prakonsepsi asing dari luar.
Dalam karya selanjutnya, Rahman memberikan kritik terhadap beberapa Orientalis seperti H.A.R. Gibb sebagai pembelaan terhadap modernisme Islam yang mereka serang. Minsalnya, Rahman menolak pandang Gibb yang menarik kesimpulan bahwa konsep majelis legislative yang diungkapkan Iqbal lewat tafsirannya terhadap institusi ijma sejenis kepausan Islam. Menurut Rahman Iqbal tidak pernah menyarankan penobatan lembaga legislatif sebagai sebagai otoritas Ilahi sebagai mana dalam konsep kepausan, dan ini sangat bertentangan dengan spirit Islam. Rahman memberikan kritik lain bahwa studi atas islam yang mereka lakukan semata – mata sebagai data historis, dan sebagai suatu yang mati untuk dianalisis.

 Islam dan Tantangan Modernisasi
Pada periode kedua tahun 60 – an di Pakistan, Rahman terlibat langsung dalam kontrofersi antara tiga kekuatan islam : modernis – dimana ia ada di dalamnya, tradisionalis dan fundamentalis dalam menyelesaikan berbagai problem tentang islam dalam konteks Negara, social serta persoalan – persoalan modernisasi yang lain. Di sinilah ia ditantang untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan – tantangan dan kebutuhan – kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer di Pakistan.
Jurnal Islamic studies, secara ringkas dapat dikemukakan, melalui serangkaian artikel ini Rahman bertujuan menampilkan promlem – problem kontemporer masyarakat. Pakistan dan tawaran penyelesaiannya dalam perspektif islam modern. Selanjutnya, karya yang pertama ( Islamic Methodology in History ) menawarkan metodologi islam dan rumusan baru tentang islam. Karya kedua ( islam ) menyuguhkan data histories islam serta interpretasinya menurut Rahman. Dengan demikian, persoalan utama umat islam di Pakistan pada periode kedua adalah mencari identitas islam. Islam seperti apa yang seharusnya dijadikan pedoman bernegara, bermasyarakat dan menghadapi tantangan modernisasi. Pertentangan antara kelompok Muslim trdisionalis, fundamentalis, dan modernis dalam mendefinisikan Islam semacam ini memaksa Rahman mengedepankan hasil studinya.
Pertama, Rahman mengagendakan beberapa problem serius umat islam di Pakistan. Yakni, problem pertahanan, problem pembangunan, problem problem pendidikan dan problem kesejahteraan social. Kedua, sehubungan engan upaya pemecahan problem – problem tersebut, maka di perlukan suatu rekonstruksi terhadap masyarakat Muslim Pakistan yang menjamin penyelesaian problem – problem tersebut. Ketiga, upaya rekonstruksi masyarakat Muslim, dan upaya penyelesaian problem – problem harus didasarkan pada sudut pandang al – Qur’an dan sunnah ini harus melalui suatu metodologi yang tepat ; yaitu melalui pendekatan studi kritis – histories , komprehensif, sisitematis, dan sosiologis ( tentang pendekatan ini dijelaskan pada bagian setelah ini.
Rahman mencoba menawarkan pandangan – pandangan Islami terhadap beberapa problem modernisasi sebagai berikut. Islam bertujuan menciptakan suatu tata sosio – moral yang sehat dan progresif. Untuk tujuan ini, al – Qur’an meletakkan beberapa prinsip organisasi social, tolong – menolong, persaudaraan, dan pengorbanan diri demi kemaslahatan umum. Persamaan dan kebebasan menusia merupakan hak yang harus dijamin sehingga terbebas dari segala bentuk eksploitasi dan ketidak adilan social.
Dalam bidang pertahanan, Rahman mengusulkan agar anngkatan perang diperbaharui dan diperkuat dengan dukungan penuh dari masyarakat luas. System feodalisme, primordialisme serta etnisitas dalam bidang pertahanan yang selama itu berlaku dihapuskan. Untuk menciptakan kesejahteraan social, Rahman mengusulkan agar potensi kepemimpinan lokal dapat dimanfaatkan oleh lembaga – lembaga kesjahteraan local, dan bertugas memberikan pencerahan dan pemberdayaan moralitas masyarakat. Adapun perbaikan di bidang pendidiikan, berdasarkan pandangan al – Qur’an bahwa inti dari pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dasar manusia sehingga pengetahuan yang diperolehnya menyatu dengan kepribadiannya,maka total untukmenangani problem buta huruf :mengembangkan bahasa nasional; mengubah secara radikal metode pengajaran hafalan.

 Neomoderisme an Metodologi studi islam
Memasuki priode ketiga tahun 70 –an dan seterusnya di Chicago, pemikiran Rahman diarahkan untuk merumuskan kembali cita-cita islam dan dunia islam.rumusan –rumusan baru tentang islam, ditawarkan oleh Rahman dengan apa yang kemudian dinamakan neomodernisme islam.oemikiran ini adalah kritik terhadap paradigma dan metode pemikiran modernisme klasik.
Di antara karya-karya terpenting Rahman periode ini adalah, The Philosopy of mulla Shadra (1975); Major Themes of The Qur an (1980 ); dan islam and Moder nity: Transpormation of The intellectual Tradition (1982). Buku pertama merupakan kajian kritis terhadap pemikiran filosofis pemilik syi’ah, Mulla shadra dengan tujuan membktikan bahwa filsafat islam tidak tidak pernah mati meskipun pernah diserang oleh al- Ghazali. Buku kedua merupakan kajian tafsir tematik. Tentang delapan topik inti yang dapat disimpulkan menjadi topik,manusia,Tuhan dan alam. Tujuannya memperkenalkan secara metodologis bagaimana seharusnya melakukan kajian –kajian tematik terhadap Al Qur’an, dan sejauh mana pandangan-pandangan orsinal dan komprehensif atau pesan moral Al Qur’asn terhadap persoalan-persoalan mendasar. Dan, Buku ketiga merupakan kajian kritis terhadap sejarah intelektual dan pendidikan islam klasikhingga dewasa ini, kemudian penawaran terhadap apa yang disebut paradigma pemikiran neomodernisme serta metodologi studi islam yang relevan dengan persoalan umat islam kontemporer.
Rahman membagi gerak pemikiran islam menjadi empat.Pertama, revivalisme pramodern diabad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke- 19 seperti gerakan wahabi: kedua, modernasisme klasik diabad ke-19 sampai dengan abad awal ke-20 yang dipelopori oleh Mohammad Abduh: ketiga, neorevivalisme disekitar abad ke-20 seperti dipelopori oleh Sayyid Quttub; dan, ke empat neomodernisme disekitar tahun 70-an yang dipelopori oleh Rahman sendiri. Menurut Rahman, lahirnya gerakan pemikiran yang ua pelopori ini merupakan reaksi terhadap neorevivalisme, dan kritik terhadap modernisme klasik. Tetapi, ia juga sebagai kelanjutan dari gerakan tersebut. Sebagai gerakan lanjutan yang kritis, neomodernisme menawarkan paradigma baru. Pertama, bersikap kritis terhadap barat dan warisan-warisan kesejarahan islam. Gerakan ini mengkritik modernisme klasik terkesan westernis,karna permasalahan yang ditangani hanya permasalahan barat sentris. Karnanya, neomodernisme menolak sikap membabi buta terhadap barat.apalagi sikap apologetic yang ditunjukan oleh tokoh umat islam.
Kedua, memahami islam secara metodelogis,sistimatis,komprehensif dan objektif. Neomodernisme mengkritik modernisme klasik tidak menguraikan secara tuntas metode studinya terhadap Islam, sehingga tanpak studi-studinya bersifat parsial, tidak sistematis dan menyeluruh yang, pada gilirannya, tidak memperoleh pesan yang sebenarnya dari Al-Qur’an.
Ketiga, berpikir bebas dan indenpenden guna mendorong tumbuhnya tradisi ijtihad dikalangan umat Islam. Seperti gerakan-gerakan sebelumnya, neomodernisme mempunyai perhatian yang sungguh terhadap pendayaguanaan terhadap rasio untuk memahami agama. Dalam hal kini neomodernisme menolak kalangan tradisionalis yangn cendrung memasuki kreativitas berpikir, dan sangan membatasi ruang ijtihad bagi kaum Muslimin.
Mengenai metodelogi studi Islam, Raman juga mengajukan metodelogi tafsir Al-Qur’an yang terdiri dari tiga langkah utama :
1. Mengkaji konteks-konteks historis Al-Qur’an (pendekatan historis) untuk menemukan makna teks Al-Qur’an.
2. Membadakan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan Al-Qur’an.
3. Memahami dan menetapkan sasaran AQl-Qur’an dengan memperhatikan secara sepenuhnya latar sosiologisnya. (Taufik 1990 : 192).
Berikut penjelasannya lebih lanjut.
Pertama, seorang mufassir diajak untuk memahami dan menemukan makna-makna Al-Qur’an secara kronologis, dari satu ayat ke ayat yang lain yang berhubungan. Pencarian dan penjelasan ayat-ayat ini dilakukan dengan cara tematik, komprehensif, dan sistematis serta dalam kontek historisnya masinng-masing. Minimal pendekatan historis ini akan dapat menghindari pemaknaan Al-Quran secara artificial.
Kedua, seorang mufassir mulai membedakan antara ayat-ayat yang mempunyai ketetapan-ketetapan hukum dan sasaran serta tujuannya.
Ketiga, jika pada langkah kedua seorang mufassir memahami ketetapan hukum dan sasaran berdasarkan ayat itu sendiri, maka pada langkah ini ia menjelaskan dalam konteks sosiologis dimana Al-Q,ur’an diturunkan, yakni sepanjanng karil Nabi.
Dari ketiga langkah diatas, selanjutnya Rahman merumuskan tiga langkah operasional. Pertama, perumusan pandangan dunia Al-Qur’an. Maksudnya, nilai-nilai metafisis atau teologis yang tersebar dalam ayat-ayat Al-Qur’an dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan pedoman dasar melihat berbagai persoalan dalam karangka Qur’an.
Kedua, sistematisasi etika Al-Qur’an. Maksudnya, prinsif-prinsif dasar etika Al-Quran seperti iman, islam dan taqwa hurus dicari dan di sistematisasikan.
Ketiga, penumbuhan etika Al-Qur’an dalam kontek kekinian. Maksudnya, etika Al-Qur’an yang telah ditemuka dan disistemamatikakan tadi, kemudian diharapkan pada kontek kehidupan konkrit dewasa ini, dan dipergunakan untuk menetapkan pandangan Al-Qur’an terhadap sesuatu persoalan kontemporer.

C. Catatan Kritis
Dalam batasan ini, gerakan neomodernisme dapat dipahami dan cukup ideal. Bahkan, cendrung dapat diterima sebagai gerakan alterantif yang muderat dan bijak. Bagi umat Islam, konsef-konsef neomodernisme terkesan elitis dan terlalu rumit, sehingga sulit dipahami : term-term yang dipakai terlalu asing bagi kalangan umum, sehingga untuk memahaminya membutuhkan para penterjemah yang popular. Inilah resikonya, dan disinilah barangkali letak problem gagasan-gagasan Rahman dalam tataran implmentasi. Namun, berkat peningkatannya pendidikan umat Islam, maka belakangan ini tampak bahwa pemikiran neomodernisme secara bertahap mulai dipahami. Diantara problem yang lain adalah, karena sebagai gerakan intelektual, neomodernisme tampakanya tidak beropsesi terlembagakan apalagi menjadi sebuah ideology transformative. Hal ini menimbulkan kesan bahwa gerakan ini pandai berteori, kurang menggigit, dan hanya mampu bersikap “ manis-manis saja ” di depan ketidak adilan dan kezaliman. Apalagi, kesan demikian ditambah dengan keengganan para pelopornya yang tidak berkecimpungan lanngsung pada persoalan yang riil umat dengan dalil profesional.

Islam dan Modernitas
Metafisika dalam pemahaman ini, adalah kesatuan pengetahuan yang memberi makna dan orientasi bagi kehidupan. Karena kesatuan adalah kesatuan pengetahuan, bagaimana mungkin hal itu bersifat subjektif semuanya? Ini adalah keyakinan yang dilandasi pengetahuan. Tidak banyak yang muncul dari metafisika Islam, paling tidak pada masa modern. Pada abad pertengahan, muncul ahli-ahli metafisika Muslim yang beberapa diantaranya brilian, orisinal, berpengaruh, tapi basis utama keseluruhan pandangan dunia mereka pemikiran Hellenis, bukan Al-Qur’an. Beberapa dokrin mereka tidak mengenakkan para ortopdoks, yang membuat mereka demikian ketakutan dan akhirnya menganggap pemikiran metafisika sebagai pemikiran yang terkutuk hingga bebereapa abad selanjutnya. Mengenai tujuan umat islam untuk mengislamkan sejumlah bidang kajian, harus diakui bagaimanapun juga, maksud ini hanya dapat dijalankan, jika umat Islam secara efektif melaksanakan tugas-tugas intektual untuk menjabarkan metafisik Islam atas vdasar Al-Qur’an. Suatu pandangan dunia Islam pertama-tama haruslah, kalaupun untuk sementara, diupayakan apabila berbagai lapangan khusus dari upaya-upaya intelektual mau dipadukan sebagai dijiwai oleh Al-Qur’an.
Jadi, pokok seluruh masalah “memodernisasi” pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produkvitas intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam, yang pada umumnya telah berhasil ditanamkan oleh system pendidikan madrasah, adalah masalah perluasan wawasan intelektual muslim dengan cara menaikan standar-standar intelektulnya. Karena perluasan adalah fungsi dari penaikan kepada ketinggian. Sebaliknya, semakin anda turun, semakin sempit pila ruang yang terliput oleh wawasan anda yang sempit. Dan disini nampak kontras yang menyolok antara sikaf-sikaf Muslim yang actual dengan tuntutan Al-Qur’an. Al-Quran memberikan nilai yang sangat tinggi kepada ilmu, dan Rasulullah sendi diperintahkan untuk berdo’a kepada Tuhan. Dal Al-Qur’an sendiri berpandangan bahwa semakin banyak ilmu yang diniliki seseorang, akan semakin bertambah pula iman dan komitmennya terhadap islam. Secara mutlak tidak ada pandangan mengenai hubungan antara ilmu dan iman yang bisa disumberkan dari Al-Qur’an. Tetapi inilah justru tepatnya poin yang rahman ajukan bahwa suatu ilmu yang tidak meluaskan ufuk wawasan dan tidakkan seseorang adalah ilmu yang setengah matang dan berbahaya. Bagaiman orang bisa memperoleh pengetahuan tentang tujuan-tujuan akhir kehidupan yakni nilai-nilai yang lebih tinggi, tanpa pengetahuan realitas yang aktual. Apabila para modernis Muslim tidak melakukan sesuatu yang lain, berarti mereka telah mengambil bukti yang sedemikian besar itu akan perlunya secara mutlak bagi iman pengetahuan akan alam semesta, tentang manusia dan tentang sejarah, yang di lip servicekan oleh kaum Muslim pada masa sekarang ini.
Tetapi, berlawanan dengan ini, sikap kaum Muslim terhadap pengetahuan pada abad-abad pertengahan yang akhir adalah demikian negatif hingga bila oaring memperbandingkan dengan Al-QAur’an, ia pasti akan betul-betul kaget. Menurut sikap ini, ilmu yang tinggi dan iman bersifat disfungsional satu terhadap yang lain dan peningkatan yang satu berate kemunduran bagi yang lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tanpak sebagai betul-betul sekular, seperti pada dasarnnya semua pengetahuan positif yang modern sungguh, bahkan ilmu-ilmu agama yang modern adalah secular, atau kalaupun tidak dipandang demikian, ia bisa dipandang sebagai secara positif merugikan iman. Ada beberapa sebab timbulnya perbedaan-perbadaan yang merusak ini. Pertama yaitu adanya ketakutan terhadap filsafat dan intelektualisme pada umumnya. Alasan lain yang penting adalah, bahwa suatu ilmu dari kelompok disiplin-disiplin ortodoks, khususnya hukum, hampir-hampir bisa dikatakan sebagai paspor yang meyakinkan untuk memperoleh pekerjaan, sementara matematikan atau ilmu astronomi hanya merupan sumber yang kecil bagi penghidupan, apalagi kemansyuran, dal ilmu kedokteran diakui sebagai perlu walaupun merupakan upaya yang rendah.(Abu Hamid) Al-ghazali (1058-1111), dalam kritiknya atas slogan korps kedokteran zaman pertengahan yaitu “Jasad dahulu, baru agama (jiwa)”, ini merupakan sikap ortodoks zaman pertengahan terhadap ilmu kedokteran ketika ia mengatakan slogan-slogan yang menarik seperti itu orang-orang kedokteran berkehendak untuk menipu masyarakat awam mengenai urutan prioritas yang sebenarnya. Apapun alasanya, kontras yang menyolok antara Al-Qur’an dan upaya ilmiah Muslim abad pertengahan adalah nyata sekali.
Halangan pertama yang penting bagi usaha pembaruan apapun adalah fenomena yang saya sebut sebagai neorevivalisme atau neofundemantalisme. Sebelum muncul modernisme klasik, telah ada suatu revivalisme atau fundamentalisme sejak abad delapan belas. Gerakan “wahabi” di Saudi Arabia dan fenomena pembaharuan yang sejalan dengan ingin merekontruksi spritualitas dan moralitas islam atas dasar suatu langkah kembali kepada kemurnian awal islam. Fundementalisme post modernis sekarang ini, dalam satu hal yang penting, adalah suatu fenomena yang baru karena dasarnya adalah anti barat. Dari sinilah muncul sikap yang mengutuk modernisme klasik sebagai kekuatang yang menbaratkan. Jadi, sementara kaum modernis sibuk dengan atraksi Barat, maka kaum neorevivalis juga dihantui Barat melalui gaya penolakannya. Hal yang terpenting yang paling mendesak untuk dilakukan dalam pandangan ini adalah “melepaskan kaitan” secara mental dengan Barat dan menanamkan suatu sikaf yang independent namun penuh pengnertian terhadapnya, sebagai terhadap peradaban-peradaban lainnya, walaupu lebih khususnya terhadap Barat , karna ia merupakan sumber dari banyak perubahan social yang terjadi diseluruh dunia.
Kedua, upaya-upaya penbaharuan yang sedemikian jauh telah dilakukan, telah terjadi dalam dua arah. Dalam arah yang pertama yaitu, pembaharuan ini telah hamper seluruhnya dalam karanngka pendidikan tradisional itu sendiri. Digerakkan sebagian besar oleh fenomena pembaharuan pra-modernis, yang dorongannya masih berlanjut sejauh tertentu, pembaharuan ini telah cendrung menyederhanakan silabus pendidikan tradisional, yang dilihatnya serat dengan materi-materi tambahan yang tak perlu seperti teologi zaman pertengahan, cabanng-cabang filsafat tertentu seperti logika, dan segudan karya tentang hukum. Pada arah yang kedua, sutu keragaman telah terjadi, yang bisa diringkas dengan mengatakan bahwa ragam-ragam perkembangan tersebut mencerminkan upaya untuk menggabungkan dan memadukan cabang-cabang penngetahuan lama.
Pada masa sekarang, pada dasarnya tidak ada karena sifat pengajar yang umumnya mekanis dan karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis dan karena persandingan hal-hal yang lama dengan yang baru. Memang benar bahwa pembaharuan ini dihadapkan pada lingkaran setan dalam hal bahwa, disatu pihak, kecuali bila guru-guru yang memadai bisa diperoleh, yang memiliki pikiran-pikiran yang sudah terpadu dan kreatif, pengajaran akan tetap tinggal mandul sekalipun murid-murid mempunyai kemauan dan bakat, sementara dilain pihak, guru-guru seperti itu tidak akan bisa dihasilkan dalam skala yang mencukupi kecuali bila diciptakan kurikulum yang terpadu secara substansi. Lingkaran setan ini hanya bisa diputuskan pada poin-poin sebagai berikut:
1. Apabila muncul beberapa pemikiran yang berotak cemerlang, yang bisa menafsirkan hal-hal yang lama dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi, dan menjadikan hal-hal yang baru sebagai alat-alat yang berguna untuk hal-hal yang lama dalam identitas. Dan selanjutnya, ini harus diikuti dengan penulisan buku-buku deras yang baru tentang teologi, etika dan sebagainya. Pemikiran seperti itu tidak bisa diciptakan begitu saja, tetapi tentu ada yang bisa dikerjakan dalam hal ini, yakni mengrekrut bakat-bakat terbaik ada menyediakan insentif yang perlu bagi karir intelektul yang berkomitmen pada bidang ini.
2. Suatu problem penting yang telah menjawab wabah dimasyarakat-masyarakat Muslim semejak tibanya fajar demograsi bagi mereka adalah hubungan yang ganjil antara agama dengan politik, dan tundukannya yang pertama kepada yang kedua.
Sungguhpun demikian, saluran tunggal yang paling penting dari kedua jenis pembaharuan yang terakhir ini adalah pewawasan yang tepat atas prioritas-prioritas dan penyelamatan agama dari cengkraman politik praktis yang ugal-ugalan itu yaitu pendidikan itu sendiri.

Beberapa Pertimbangan Kearah Penyelesayan Maslah
Menuju suatu pemahaman atas Islam.
Langkah esensi pertama untuk memutuskan lingkaran setan yang bagi kaum Muslim, adalah membuat pembedaan yang jelas antar Islam normatif dan Islam histories. Kecuali bila dilakukan upaya-upaya yang efektif dan tunjangan kearah ini, tidak akan ada jalan yang nampak bagi penciptaan jenis pikiran Islam. Dalam bab tersebut saya juga mengindikasikan bagaiman pencegahan kembali ini bisa dilakukan yakni dengan mempelajari pertannyaan-pertanyaan social dan ketetapan-ketetapan hukumnya dalam sianran ajaran moral umumnya, dan khususnya, dalam dampak tujuan-tujuan atau prinsip-prinsip, kalau ungkapan ini lebih disukai yang dinyatakan disatu pihak.
Untuk meringkas jawaban saya bagi persolan-persoalan yang penting yaitu :
Mereka yang disebut kelompok fundementalis dan modernis telah tampil dengan jawaba-jawaban yang sangat berbeda untuk beberapa isu pokok menurut lingkungan masing-masing, tetapi tak satupun dari keduanya yang mempunyai metode yang cukup jelas untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Neo-revivalis tidak mempunyai metode yang layak selai disebut bereaksi, dalam isu-isu social penting tertentu, terhadap kaum modernis klasik. Kaum modernis klasik tidak juga tidak mempunyai metode selain menangani isu-isu yang bagi mereka tampaknya memerlukan penyelesaian bagi masyarakat Muslim, tetapi yang secara histories berasal dari inspirasi barat dan yang mereka coba untuk menyelesaikannya, seringkali dengan hal yang masuk akal, dengan sinaran ajaran Al-Qur’an. Kaum revivalis pra modernis, mereka secara pasti telah bekerja dalam lingkaran Islam tradisional dan menemukan bahwa kehidupan individu di masyarakat kaum Muslim telah dibanjiri takhayul-takhayul yang memerosotkan yang menurut monoteisme Al-Qur’an, merupakan bentuk syirik dan karena perlu dibrantas.
Dalam permasalahan penafsiran Al-Qur’an, para penafsi harus menggunakan metode yang jelas dan didalamnya terdapat unsur-unsur tradisional, supaya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan kesana kemari. Dan setiap penafsir menyatakan secaria eksplisitn asumsi-asumsi serta premis-premis khususnya berkenaan dengan penafsiran Al-Qur’an pada umumnya, dan asumsi-asumsi dan premis-premis khususnya berkenaan dengan penafsiran Al-Qur’an berkenaan dengan masalah dan penggalangan dalam Al-Qur’an. Penafsiran-penafsiran yang seperti itu bisa dilakukan oleh sarjana-sarjana secara individual, tetapi juga bisa dilakukan secara kelompok-kelompok kerja. Apa yang pasti adalah bahwa harus ada beberapa upaya, sehingnga melui diskusi dan perdebatan, masyarakat bisa menerima beberapa penafsira dan membuang penafsiran yang lain.

Rekontruksi Sains-sains Islam
Periode Historis
Proposisi bahwa hokum dan lembaga-lembaga syari’ah harus bersumber secara metodik dan sistematis dari Al-Qur’an dan taladan Rasul (yakni, perilaku total beliau) dalam cara yang dilukiskan diatas tidak berarti bahwa sains-sains Islam, sebagai mana telah bermula dan berkembanng secara histories, harus diabaikan atau dibuang. Sungguh sains-sains itu tidak bisa diabaikan atau dibuang karena alas an-alasan pokok tertentu.
Proposisi perumusan Islam yang bersifat hukum, teologis, spiritual tidaklah bisa diabaikan ataupun dibuang, yang terdiri dari dua bagian:
Pertama, adalah bahwa apabila kita memandang Al-Qur’an dalam keadaan sekarang ini, seolah-olah ia baru saja diturunkan oleh karena itulah arti dari membuang Islam historis (dari persfektf ini, sunnah atau peri hidup rasul sendiri berfungsi, sebagiannya, sebagai Islam histories bagi pemahaman Al-Qur’an) kita bahkan tidak akan mampu untuk memahaminya. Secara religius, tak syak lagi Al-Qur’an harus di anggap seolah-olah diwahyukan kepada nurani tiap orang beriman, dan kaum sufi kadang-kadang melakukan hal ini secara ekstrem, tetapi ia hanya bisa dianggap diwahyukan kepada nurani seorang beriman sesudah ia dipahami dengan selayaknya, yang menuntut orang untuk menempatkan ajaran-ajaran sosial dan hukumnya dalam latar historisnya.
Kedua, dari arti prosisis ini adalahbahwa kita harus melakukan kajian yang menyeluruh, kajian histories dan sistematis, mengenai perkembangan-perkembangan disiplin Islam. Ini terutama merupakan kajian kritis yang akan memperlihatkan kepada kita sejarah perjalan Islam di tangan kaum Muslim. Akan tetapi, dalam batasan-batasan agama, pada akhirnya, hal ini akan dinilai oleh criteria Al-Qu’an sendiri, Al-Qur’an sebagai mana yang akan kita pahami melalui prosedur yang dipaparkan diatas. Kebutuhan akan kajian yang kritis atas masa lampau Islam intelektual menjadi makin mendesak, disebabkan oleh hanya kompleks psikologis yang telah tumbuh dalam diri kita dalam menghapi Barat. Kita lalu mempertahankan masa lampau tersebut dengan sepenuh jiwa. Kepekaan kita terhadap beberapa bagian atau aspek dari masa lampau itu pada umumnya telah kita anggap sakral.kepekaan paling besar terpaut pada hadis, walaupun pada umumnya diakui bahwa kecuali Al-Qur’an, semua yang lain taak lepas dari kemunngkinan campur tangan sejarah yang merusak. Lebih lanjut, apabila suatu hadist tertentu terlihat tidak memiliki dasar yang kuat secara histories, ia tidaklah perlu dibuang begitu saja, karena mungkin ia mengandung sebuah prinsip yang baik, dan sebuah prinsip yang baik, tak perduli dari manpun datangnya, haruslah kita pakai.

Rekonstruksi Sistematis
Teologi
Sebuah kritik histories terhadap-perkembangan-perkembangan teologi dalam Islam adalah langkah pertama ke arah rekonstruksi teologi Islam. Kritik ini, haruslah mengungkapkan lingkup ketidak sesuain terhadap pandangan Al-Qur’an dengan berbagai aliran spekulasi teologis dalam Islam dan menunjukkan jalan ke arah suatu teologi baru. Dengan mengesampingkan berbagai doktrin teologis yang bersifat spekulatif dan berlebih-lebihan dari kaum Bathini (esoterisis Islam) dan bannyak kaum sufi, aliran-aliran rasional (Mu’tazilah) dan tradisionalis (Asy’ariyah) yangn bertentangan, memberikan pelajaran yang efektif dalam masalah yang sangat peka ini. Fundementalisme pra-modernis meyakini bahwa semua bangunan-bangunan pemikiran teologis sesungguhnya adalah penjara-penjara, atau pada akhirnya tanpa bisa dielakkan lagi pasti menjadi penjara, dan bahwa agama lebih baik tanpa teologi, yang dalam pandangannya ialah suatu kejahatan terhadap agama.
Filsuf-filsuf penyair Muhammad Iqbal telah mengusahakan suatu pendekata baru terhadap teologi Islam dalam bukunya Reconstuction of religious thought in Islam. Iqbal adalah seorang pengkaji filsafat Barat modern dan mistisisme Islam yang cerdas dan bersemangat, tetapi ia bukan sarjana tradisi teologi atau sarjana Al-Qur’an. Iqbal nampaknya telah dengan tepat memahami bahwa dorongan utama Al-Qur’an adalah dinamis dan berorientasi kepada tindakan berusaha mengarahkan sejarah pada pola nilai spiritual dan mencoba menciptakan suatu tata dunia. Iqbal tidak melakukan penyelidikan yang sistematis kedalam ajaran-ajaran Al-Qur’an tetapi mencomot dan memilih dari ayat-ayatnya untuk membuktikan tesis-tesis yang paling tidak sebagian daripadanya adalah hasil pandangan umumnya terhadap Al-Qur’an tetapi yang diatas segalannya, tanpak baginya cocok dengan sebagian besar kebutuhan-kebutuhan masa kini dari masyarakat muslim yang macet. Untuk penafsiran Al-Qur’an tanpa kajian sistematis pandangan dunia Al-Qur’an tidak akan bisa dimunculkan.

Hukum dan Etika
Etika Al-Qur’an, sungguh, adalah esensinya, dan juga merupakan mata rantai yang perlu antara teologi dan hukum. Memang benar Al-Qur’an cendrung mengkonkritkan hal-hal yang bersifat etis, untuk membungkus hal-hal yang umum dalam suatu paradigma khusus, dan menerjemahkan hal-hal yang bersifat etis kedalam perintah-perintah yang bersifat hukum atau setengah hukum. Tetapi ini merupakan tanda semangat moralnya bahwa Al-Qur’an tidak puas hanya dengan proporsi-proporsi etis yang bisa digeneralisasikan, tetapi mendesak menterjemahkan kedalam paradigma-paradigma aktual. Dan Al-Qur’an selalu menjelaskan tujuan atau prinsif-prinsif yang menjadikan esensi hukum-hukumnya.
Al-Qur’an menyebutkannya sebagai petunjuk bagi umat manusia dan istilah yang sma menandai dokumen-dokumen wahyu yang sebelumnya. Konsef moral yang sentralnya bagi manusia adalah taqwa, tetapi dalam berbagai konteks Al-Qur’an bisa didefisikan sebagai keadaan mental yang bertanggung jawab dari man tindakan-tindakan manusia bersumber, tetapi yang mengakui kriterial yang penilain tindakan-tindakan tersebut terletak diluar dirinya.
Nilai-nilai moral adalah poros yang penting dari keseluruhan system, dan dari nilai-nilai tersebut tumbuhlah hukum. Karenanya, hokum adalah bagian terakhir dari mata rantai ini dan mengatur semua pranata agama, sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Karena hukum harus dirumuskan atas dasar nilai-nilai moral, dengan sendirinya ia akan berhubungan secara organis dengannya. Akan tetapi, karena hukum mengatur kehidupan keseharian masyarakat, dalam setiap perubahan sosial ia harus ditafsirkan kembali.

Filsafat
Dalam Islam zaman pertengahan, dengan berbasis femikiran filsafat Yunani, serangkaian pemikiran yang cemerlang dan orisinal telah membangun suatu wawasan sistematis dan komprehensif dengan konsef-konsef kunci dan doktrin-doktrin Islam tertentu yang hasilnya memberikan kepuasan kepada diri mereka dan banyak kaum intelegensi Muslim yang berpikir canggih. Filsafat adalah suatu kebutuhan intelektual yang abadi dan mesti dibiar tumbuh subur baik demi dirinya sendiri maupun demi disiplin yang lain, karena ia menanamkan senmangat kritis analitis yang sangat diperlukan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadi alat intelektual yang penting bagi sains-sains lain, tak kuranng bagi agama dan teologi. Karena suatu bangsa yang membuang kekayaan filsafatnya berarti mencampaka dirinya dalam bahaya kelaparan dalam hal gagasan-gagasan segar atau melakukan bunuh diri intelektual. Pelahiran gagasan-gagasan pada filsafat pada dasarnya adalah fungsui dari kegiatan kritis analitisnya. Fungsinya adalah menganalisis data pengalaman-pengalaman indera, pengalaman estitika, ataupun pengalaman agama. Oleh karena itu, filsafat bukanlah saingan teologi, tetapi pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia yang sebagianya disediakan oleh filsafat. Filsafat Muslim pada zaman pertengahan hanyalah satu jenis tertentu dari sistem filsafat, kita mesti bertanya apakah bijaksana atau tepat untuk melarang seluruh filsafat. Jumlah filsafat bisa mencapai beberapa saja, tergantung pada sudut pandang, asumsi-asumsi yang dibuat oleh seoranng filsuf tertentu, dan masalah-masalah yang dicoba untuk diselesaikan, yakni masalah-masalah yang dianggap paling penting, apakah dibidang metafisika, etika, episteminologi, logika atau apa saja. Mengatakan bahwa semua filsafat dengan sendirinya bertentangan dengan teologi tidak hanya naif tetapi juga berbahaya. Saya berani mengatakan, bahwa bagi Al-Qur’an, pengetahuan yakni penciptaan gagasan-gagasan adalah suatu kegiatan yang bernilai paling tinggi. Kalau tidak demikian, mengapa Al-Qur’an memerintahkan kepada Nabi umtuk terus berdoa bagi peningkatan ilmu? Apakah pelarangan atau pengecilan semangat untuk melakukan pemikiran murni sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an tersebut? Apa yang ditakuti Islam dari pemikiran manusia dan mengapa? Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh pengawal-pengawal agama, yang ingin mengurus agama dalam rumah kaca, tertutup dari udara terbuka.

Ilmu-Ilmu Sosial
Ilmu sosial sebagai sosok pengetahuan yang disistematisasikan, yakni sebagai disiplin-disiplin ilmu, adalah suatu fenomena modern. Ilmu-ilmu tersebut tak syak lagi merupakan perkembangan yang sangat penting, karena menjadi manusia yang ada dimasyarakat menjadi obyek kajiannya, ilmu-ilmu tersebut bisa bercerita banyak kepada kita tentang bagaimana kelompok-kelompok manusia sesungguhnya berprilaku dalam berbagai lapangan keyakinan dan tindakan manusia. Pada permulaan bab ini, saya telah mengatakan sesuatu tentang hasrat kaum Muslimin untuk menngislamkan ilmu-ilmu atau sosok-sosok pengetahuan ini. Ilmu-ilmu social yang terbaik adalah sejarah apabila dikerjakan dengan baik dan obyektif. Karena sejarah, dalam lingkupnya yang panjang, mengandung pelajaran dengan sesuatu cara dimana bisa dikatakan bahwa suatu kajian tentang penduduk asli. Minsalnya, sejarah makro, bila benar-benar dikerjakan dengan baik, adalah wujud pengabdian terbaik yang biasa diberikan oleh seorang ilmuwan sosial kepada umat manusia. Inilah alasannya mengapa Al-Qur’an terus menerus mengajak kita untuk berjalan dimuka bumi dan melihat nasib akhir bangsa-bangsa.
Ilmuan-ilmuan sosial yang mempelajari masyarakat-masyarakat konterporel dihadapkan pada pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh sejarah umat manusia, tanpa memandang apakah masyarakat-masyarakat dahulu menyadari atau tidak, adalah tidak bisa dibagi-bagi dalam arti bahwa kekuatan-kekuatan manusialah yang merupakan dasar dari sejarah adalah sama diseluruh dunia. Inilah pasti pandangan Al-Qur’an, yang secara unik bebas dari genetik dan keturunan. Didalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali apa yang disebut sebagai pemikiran sosial.









KESIMPULAN

Biografi
Fazlur rahman lahir di Pakistan sekitar pada tahun 1919-1988. lahir dan besar di koloni inggris yang kemudian menjadi Negara Pakistan. Ia menampakkan karil akademis yang membawanya meraih gelar akademik di Universitas Punjab dan Oxford. Semejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga dan tradisi mazhab Hanafi yang terkenal rasional itu. Ia juga memberi kulyah filsafat Islam di Inggris dan Kanada. Pada tahun 1961.

Karya dan Pemikirannya
Perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga periode : periode Pertama, sekitar tahun 50-an, yaitu Kritik Atas Pemikiran Islam dan Modernisme. Dalam periode ini yang yang dipaparkan adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran pada bidang religion filosofis.
2. Lebih menekan pada pendekatan kritik histories dari pada normative.
3. Dasar-dasar neomodernismenya mulai tampak pada sikap muderat dan kritisnya pada pemikiran islam klasik, pemikiran Islam modern, dan pandangan orientalis terhadap Islam.
Periode kedua yaitu di Pakistan sekitar tahun 60-an, yaitu “ Islam dan Tantangan Modernisasi” . Pada periode kedua, Rahman terlibat langsung dalam kontrofersi antara tiga kekuatan islam : modernis – dimana ia ada di dalamnya, tradisionalis dan fundamentalis dalam menyelesaikan berbagai problem tentang islam dalam konteks Negara, social serta persoalan – persoalan modernisasi yang lain. Di sinilah ia ditantang untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan – tantangan dan kebutuhan – kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer di Pakistan.
Pertentangan antara kelompok Muslim trdisionalis, fundamentalis, dan modernis dalam mendefinisikan Islam semacam ini memaksa Rahman mengedepankan hasil studinya.
1. Rahman mengagendakan beberapa problem serius umat islam di Pakistan. Yakni, problem pertahanan, problem pembangunan, problem problem pendidikan dan problem kesejahteraan social.
2. Sehubungan engan upaya pemecahan problem – problem tersebut, maka di perlukan suatu rekonstruksi terhadap masyarakat Muslim Pakistan yang menjamin penyelesaian problem – problem tersebut.
3. Upaya rekonstruksi masyarakat Muslim, dan upaya penyelesaian problem – problem harus didasarkan pada sudut pandang al – Qur’an dan sunnah ini harus melalui suatu metodologi yang tepat ; yaitu melalui pendekatan studi kritis – histories , komprehensif, sisitematis, dan sosiologis ( tentang pendekatan ini dijelaskan pada bagian setelah ini.

Periode ketiga di Chicago sekitar tahun 70-an. Yaitu “Neomoderisme an Metodologi studi islam“. Rahman membagi gerak pemikiran islam menjadi empat. Pertama, revivalisme pramodern diabad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke- 19 seperti gerakan wahabi: kedua, modernasisme klasik diabad ke-19 sampai dengan abad awal ke-20 yang dipelopori oleh Mohammad Abduh: ketiga, neorevivalisme disekitar abad ke-20 seperti dipelopori oleh Sayyid Quttub; dan, ke empat neomodernisme disekitar tahun 70-an yang dipelopori oleh Rahman sendiri. Menurut Rahman, lahirnya gerakan pemikiran yang ua pelopori ini merupakan reaksi terhadap neorevivalisme, dan kritik terhadap modernisme klasik. Tetapi, ia juga sebagai kelanjutan dari gerakan tersebut. Sebagai gerakan lanjutan yang kritis, neomodernisme menawarkan paradigma baru. Neomodernisme Rahman, merupakan tawaran pendekatan studi Islam khususnya terhadap Al-Qur’an melalui tiga kerangka besar yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain:
1. Upaya perumusan pandangan dunia atau teologi yang mengakar pada Al-Qur’an yang dapat dipahami secara kontemporel.
2. Upaya perumusan etika Al-Qur’an yang merupakan mata rantai penghubung esensial antara teologi dan hukum.
3. Upaya reformasi hukum-hukum dan pranata-pranata Islam modern yang ditarik dari etika Al-Qur’an dengan mempertimbangkan situasi ekologis masa kini. (Taufik, 1990 : 133).

Catatan kritis
Gerakan neomodernisme dapat dipahami dan cukup ideal. Bahkan, cendrung dapat diterima sebagai gerakan alterantif yang muderat dan bijak. Bagi umat Islam, konsef-konsef neomodernisme terkesan elitis dan terlalu rumit, sehingga sulit dipahami : term-term yang dipakai terlalu asing bagi kalangan umum, sehingga untuk memahaminya membutuhkan para penterjemah yang popular.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar