PAHAM ASY’ARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah. Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat. Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'. Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.” Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah. Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'). Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.” Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj. Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah. Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun. Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam. Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut. Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi. Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari. Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Takdir dan kehendak tuhan
Sebelum membaca tulisan ini, diharapkan membaca terlebih dahulu artikel saya tentang, Ketetapan Allah, Siklus Kehidupan dan Kelahiran Kembali. Masalah takdir, kehendak Allah dan kehendak manusia sejak abad ke tujuh, sudah lama diberbincangkan dan diperdebatkan. Secara garis besar dapat digolongnkan menjadi 3(tiga) kelompok besar pemikiran. Yaitu, kelompok Jabariyah yang dipelopori oleh Jahim bin Shafwan dan kelompok Qodariyah yang dikenal dengan Mu’tajilah dan tokohnya Qodhi Abdul Jabbar serta yang terakhir adalah kelompok Asya’ariyah atau dikenal dengan Ahli Sunnah Waljamaah yang ditokohi oleh Abu al Hasan Ali al Asya’ari (873-935 M) dari Basrah, Iraq. Yang pertama, kelompok Jabariah mengatakan bahwa takdir adalah keputusan Allah dimana baik dan buruk manusia ditentukan sepenuhnya oleh Allah tanpa manusia berupaya atau berkehendak dan mengganti keadaan tersebut.
Yang kedua, kelompok Qodariyah mengatakan bahwa takdir manusia ditentukan oleh seberapa besar usaha dan kehendak manusia tanpa intervensi atau pengaruh dan keikutsertaan Allah terhadap perjalanan hidup seorang manusia. Manusia bebas berkendak penuh terhadap perjalanan hidupnya. Kelompok ini memahami konsep pembalasan amal perbuatan manusia dengan keadilan yang sangat literal dan kaku, yaitu orang yang baik mesti ke surga dan yang jahat mesti ke neraka, dan tidak menerima konsep rahmat Allah yang tak terbatas, dalam artian, Allah dengan rahmat-Nya dapat saja memaafkan dan mengampuni kesalahan manusia dan menempatkannya di surga. Tanpa wahyu manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan, demikian juga baik dan buruk. Baik dan buruk itu bersifat objektif, maka akal dapat mengetahuinya. Fungsi wahyu berperan sebagai konfirmasi dan informasi. Karena sifat baik dan buruk itu adalah objektif maka setiap pelaku kebaikan mendapat imbalan yang baik, dan pelaku keburukan mendapat hukumannya.
Dan yang ketiga, kelompok Asya’ariah mengatakan bahwa Allah telah menetapkan takdir manusia ,tetapi manusia tetap dituntut untuk berupaya seoptimal mungkin. Manusia diberi kesempatan untuk berkendak atau berusaha untuk merubah keadaan dan kondisinya. Perubahan dapat berubah atas kuasa dan ridha Ilahi, walaupun takdir telah ditulis di Lauh Mahfuzh. Bagi Asy’ariyah tidak ada hukum produk akal. Akal tidak dapat mewajibkan atau mengharamkan, yang ada hanya hukum syariat, karena itu, tidak ada hukuman bagi orang yang belum sampai kepadanya syariat. Baik adalah apa yang diperintahkan syara’ dan buruk adalah apa yang dilarangnya. Tugas akal hanya sebagai alat untuk memahami ajaran-ajaran syara’. Asy’ariyah tidak ada kebenaran di luar agama Islam, karena yang menentukan benar dan salah, baik dan buruk sesuatu adalah agama. Kaum Asy’ariyah dalam memahami konsep kekuasaan absolut Tuhan, bahwa Tuhan dengan wewenang-Nya yang absolut dapat saja memasukkan orang-orang saleh dan para nabi ke neraka dan para penjahat ke dalam surga. Tentu saja memasukkan manusia-manusia baik ke dalam neraka adalah paham kekuasaan yang kering dari rahmat dan kasih sayang Tuhan yang mengatasi segala sesuatu.
Kritik terhadap kelompok Jabariyah. Pemikiran ini mempunyai dampak buruk. Pemikiran ini menampik tanggung jawab dan menafikan adanya usaha manusia. Usaha manusia untuk mencari pendidikan dan mempelajari hukum dan moral tidak bermanfaat. Bila pemikiran ini mencabut kehendak bebas manusia maka tidak perlu lagi tanggung jawab, tugas, larangan, pahala dan siksa dalam syariat agama. Kritik terhadap kelompok Qodariyah. Pemikiran ini hanya menekankan akal secara ekstrem sehingga cenderung menafikan peranan Tuhan dan menuhankan akal.
Kritik terhadap kelompok Asy ariyah. Logika idealektik yang berusaha dibangun oleh Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi argumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits (baru, tidak qadim), sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifat tetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Pada hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwa Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak lain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa Tuhan alam tidak akan pernah ada.
Kelompok Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci” yaitu kemustahilan daur dan tasalsul (kausalitas). Apa alasan Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alam ini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan ini hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif dalam hidupnya (Halimi Zuhdy)
Nah, sebelum membahas pemikiran saya yang berkaitan dengan akidah Jabariyah, Qodariyah dan Asy,ariah, sekarang kita kembali kepada topik yaitu, takdir, kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Pertama kita bicarakan dulu tentang takdir. Apa yang dimaksud Takdir. Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, perhitungan, ketetapan dan keputusan sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya." Takdir memiliki dua bagian: qadar dan qadha. Arti qadar adalah ukuran tentang fenomena dan kejadian. Sedang qadha adalah keputusan Tuhan tentang kejadian dan peristiwa dengan suatu perhitungan.
Dalam alam semesta ini qadar terwujud dalam ilustrasi kehidupan sehari-hari dan ilimiah. Sebagai contoh bergeraknya jantung. Maha Suci Allah1) yang menggerakkan jantung. Manusia tidak bisa menghentikan bergeraknya jantung sesuai dengan kehendak manusia. Hai jantung berhentilah ?. Jantung tidak akan berhenti. Jantung itu akan berhenti sesuai dengan kadar dan ukuran atau formula yang ditetapkan oleh Tuhan. Awalnya jantung itu sehat kemudian lama-lama akan menjadi rusak. Bagaimana kerusakan itu akan menyebabkan jantung itu berhenti. Inilah yang ditetapkan melalui rumusan atau ukuran yang pasti oleh Tuhan. Kalau jantung itu dirusak oleh tangan manusia apakah di tembak atau ditusuk dengan alat tajam atau memakan makan yang mengnandung kolesterol, jantung itu akan rusak. Berhentinya yang tergantung kerusakan yang ditentukan melalui ukuran Tuhan.
Seperti orang bunuh diri. Bunuh diri ini dilarang oleh Tuhan.2) Jadi bunuh diri itu bukan kehendak Tuhan tetapi kehendak manusia itu sendiri. Nah, hasilnya apakah dia itu mati atau luka parah atau luka ringan. Itu tergantung pada rumusan atau ukuran yang sudah ditetapkan. Kalau dia bunuh diri melompat dari gedung bertingkat 20. Menurut ukuran Tuhan pasti mati, kalau tidak ada rintangan. Kalau dia melompat gedung yang dibawah banyak rintangan misalnya, ada pepohonan dan sebagainya bisa jadi tidak mati. Kelompok Jabariyah menggunakan Surat Al Anfaal (80) ayat 17 digunakan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa semua perbuatan manusia ditentukan Tuhan.
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Manusia dapat bergerak. Kakinya bisa berjalan dan bisa berlutut. Tangannya bisa digerakkan untuk mengambil, melempar atau mengayunkan pedang. Ini merupakan takdir Allah. Tetapi tangan kamu, kamu gunakan untuk membaca atau kamu gunakan membunuh atau melempar orang. Ini bukan kehendak Tuhan, juga bukan takdir Tuhan. Itu semata-mata kehendak manusia. Kalau manusia membunuh tanpa ada alasan yang kuat. Manusia harus mempertanggung jawabkan. Kalau manusia melempar batu kena kepala orang tanpa alasan jelas Perbuatan ini harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan. Kalau perbuatan itu takdir Tuhan berarti tidak perlu dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.
Air tidak akan ada atau tidak akan terwujud, bila tidak bersatunya Hidrogen dan Oksigen. Bersatunya hydrogen dan oksigen inipun tergantung rumusan Tuhan. Rumusannya apa ? Ya H2O. Kalau ada 1(satu) molekul dan 2(dua) molekul Oksigen pasti akan jadi air. Orang boleh saja menciptakan air asal harus memenuhi rumus tadi ,H20. Nah, Hidrogen dan Oksigen inilah yang diciptakan oleh Tuhan. Seperti Tuhan menciptakan bumi kita ini, sudah dilengkapi denga Hidrogen dan Oksigen.
Bulan mengitari bumi. Bulan dan bumi serta planet lainnya mengitari matahari. Ukuran dan perhitungannya sudah ditentukan oleh Tuhan 3). Bumi dan planet lainnya seperti saturnus, mars mengitari matahari disebut dengan Tata Surya (Solar System). Tata surya ini ternyata bermilyar-milyar banyaknya dan mengitari pusat Galaxy . Kumpulan bermilyar-milyar tata surya ini disebut dengan Galaxy. Galaxy bermilyar-milyar mengitari pusat Nebula. Dan kumpulan bermilyar-milyar Galaxy ini disebut Nebula. Kumpulan bermilyar-milyar Nebula mengitari pusat Himpunan Nebula. Kumpulan ini Nebula disebut dengan Himpunan Nebula, Kumpulan bermilyar-milyar Himpunan Nebula ini mengitari pusat Group Nebula dan kumpulan Himpunan Nebula ini disebut Group Nebula dan Kumpulan bermilyar-milyar Group Nebula ini mengitasi pusat Guci dan kumpulan Guci ini disebut dengan Alam Semesta ( ‘Alaamiin). Konstelasi ini ditetapkan Tuhan berdasarkan ukuran dan perhitungan yang cermat. Semuanya bergerak. Subhanallah, Tuhan Yang Maha Menggerakkan 4).
Catatan :
1. Subhanallah diterjemahkan Yang Maha Menggerakkan oleh Harun Yahya.
2. QS: An Nisaa’ (4) ayat 29.
3. QS: Surat Ya sin (36) ayat 38-39 ; Surat Al Furqan (25) ayat 2 ; Surat Al Hijr (15) ayat 21.
4. Harun Yahya, “Matematika Alquran”
KEHENDAK MANUSIA DAN KEHENDAK TUHAN
Seorang teman pernah mengadu kepada saya atas keluhan temannya yang mengatakan, “kenapa saya dilahirkan ke dunia? Padahal saya sama sekali tidak mengharapkan untuk dilahirkan. Syukur kalau saya bisa masuk surga, tapi
kalau masuk neraka bagaimana?” Ini masalah yang cukup menggelitik dan pasti mengundang orang untuk mencari jawabannya.
Pernyataan dari seorang anak manusia di atas menimbulkan pertanyaan lain bagi kita, “apakah kita dilahirkan atas kehendak Tuhan atau kehendak kita? Lalu apakah kita masuk ke surga atau pun neraka sudah ditetapkan oleh
Sang Khalik, sehingga kalau kita berusaha pun tidak akan mengubah ketetapan-Nya?”
Berkaitan dengan pertanyaan pertama di atas saya yakin hampir sebagian besar orang akan menjawab itu adalah kehendak Tuhan, karena kita memang belum diciptakan sehingga tidak bisa berkehendak apa-apa. Jawaban seperti ini atau yang semakna dengan ini pun akan banyak bermunculan. Namun yang pasti jawaban ini belum bisa memuaskan akal kita sebagai manusia. Lalu bagaimana dengan pertanyaan kedua yang muncul terkait dengan ketetapan Sang Khalik yaitu Allah Swt, apakah kita memang sudah ditetapkan masuk surga atau neraka?
Sebenarnya permasalahan diatas jika kita teliti adalah berkaitan dengan perbuatan manusia. Namun yang jadi permasalahan adalah apakah manusia bebas berbuat dan berkehendak atau manusia dipaksa oleh Tuhan sebagai suatu ketetapan yang datang dari-Nya. Maka dari sini kita cukupkan pembahasan pada dua hal yaitu kehendak manusia (untuk berbuat) dan kehendak Tuhan (sebagai sebuah ketetapan).
Permasalahan diatas sebenarnya sudah sejak lama muncul di kalangan ulama atau lebih dikenal di kalangan ahli kalam sejak Islam mulai menyebar ke seluruhpenjuru dunia. Pandangan para ahli kalam dan ulama pada saat itu pun
beraneka ragam tatkala membahas perbuatan manusia dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut serta bagaimana otoritas Tuhan dalam perbuatan manusia. Pembahasan ini dikalangan ahli kalam dikenal
dengan al-Qadla wa al-Qadar yang sebelumnya pada masa sahabat Nabi belum pernah dikenal, hanya ketika pemikiran Islam bersentuhan dengan Filsafat Yunani pembahasan ini pun muncul. Perbedaan dalam hal
ini mengakibatkan munculnya berbagai firqah (kelompok) diantaranya Mu’tazilah, Jabariyyah, dan Asy’ariyah. Masing-masing kelompok tersebut mempunyai pandangan berbeda-beda terhadap masalah ini. Misalnya kaum
Mu’tazilah mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatan sendiri dengan konsekuensi manusia dihisab atas perbuatannya. Lain lagi dengan Jabariyyah yang mengatakan bahwa manusia ‘dipaksa’ melakukan perbuatan
sehingga tidak bebas memilih. Begitu juga Asy’ariyah memiliki pendapat bahwa tatkala manusia hendak berbuat sesuatu maka pada saat itulah Allah menciptakan perbuatan tersebut.
Apabila kita melihat seluruh perbuatan manusia, maka kita akan melihat manusia hidup di dalam dua wilayah. Yang pertama adalah wilayah yang dikuasai manusia. Di dalam wilayah ini manusia bebas berkehendak tanpa ada paksaan dari Allah. Sedangkan yang kedua adalah wilayah yang menguasai manusia. Pada wilayah ini manusia tidak memiliki kehendak berbuat artinya tidak ada campur tangan dari dirinya.
Pada wilayah yang dikuasai manusia, manusia bisa memilih untuk mengerjakan suatu perbuatan ataupun tidak melakukannya. Misalnya, kita merampok harta kekayaan Negara dengan cara korupsi kemudian menyuap beberapa
pejabat Negara lainnya agar perbuatan kita terjaga termasuk ke dalam wilayah yang kita kuasai artinya kita punya kehendak melakukannya. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa seorang menjadi koruptor sudah ditetapkan Allah baginya, karena manusia sendirilah yang berkehendak untuk menjadi seorang koruptor dengan melakukan korupsi. Maka apa yang terjadi pada wilayah yang dikuasai manusia akan dihisab sebagai hasil dari perbuatan manusia. Namun Allah memberikan pilihan bagi kita untuk memilih jalan yang benar atau salah. Petunjuk tersebut telah jelas
dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebagaimana firmanNya:
Telah kami tunjukkan kepadanya dua jalan hidup (baik dan buruk) (TQS. Al-Balad: 10).
Lalu Allah memberikan akal kepada manusia untuk memahami nash-nash syara’ dan sebagai alat untuk berpikir, sehingga bisa menimbang baik dan buruk sebagaimana yang ditunjuk oleh nash syara’. Jadi permasalahan kita akan
masuk surga atau neraka, Allah telah memberikan jalan serta petunjuk dalam sumber hukum (al-Qur’an dan as-Sunnah) sehingga kita bisa memilih untuk mengerjakan sesuai perintahNya atau mengerjakan sesuatu yang
dilarangNya. Dan akan dihisab sesuai dengan amal perbuatannya.
Pada wilayah yang menguasai manusia, disinilah wilayah dimana manusia tidak mampu berkehendak dan berjalan sesuai dengan ketetapanNya. Apa yang terjadi pada wilayah ini manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas
apa yang menimpanya karena memang yang terjadi bukan atas kehendaknya. Kejadian yang terjadi pada wilayah ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kejadiannya ditentukan oleh sunnatullah. Kedua, kejadiannya tidak berhubungan dengan sunnatullah namun tetap berada di luar kekuasaan manusia. Kejadian yang berjalan menurut sunnatullah manusia tidak ikut andil di dalamnya dan hanya mampu mengikuti sesuai dengan apa yang telah ditentukanNya. Manusia tidak bebas memilih dan terpaksa diatur. Misalnya sebagaimana kasus di atas tentang kelahiran manusia ke
dunia berlangsung sesuai dengan sunnatullah, dan manusia tidak memiliki kehendak. Seluruh makhluk ciptaan Allah Swt serta alam berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukanNya.
Berbeda halnya dengan kejadian yang tidak ditentukan oleh sunnatullah namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, merupakan kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya yang sama
sekali tidak mampu untuk ditolak. Misalnya, kecelakaan yang terjadi akibat tabrakan sepeda motor atau mobil atau peristiwa terbakarnya pesawat di udara lalu jatuh dan menewaskan para penumpangnya. Semua kejadiannya ini terjadi di luar kehendak manusia, akan tetapi manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas kejadian yang menimpanya pada wilayah ini. Sehingga disinilah berlaku qadla (keputusan Allah), apakah itu baik atau buruk menurut pandangan manusia. Walaupun hakikat baik dan buruknya kejadian tersebut hanya Allah saja yang tahu.
Kita hanya diwajibkan untuk beriman atasnya, bahwa qadla itu hanya berasal dari Sang Khalik yaitu Allah Swt.
Namun semua kejadian yang ada di alam semesta ini baik kejadian pada wilayah yang dikuasai manusia atau yang menguasai manusia semuanya berjalan atas izin-Nya. Meskipun perbuatan tersebut murni lahir atas kehendak
manusia. Karena tidak ada kejadian di alam semesta ini yang berjalan tanpa seizin-Nya. Dan juga mencakup ilmu Allah, karena Allah mengetahui apa yang terjadi pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan dating.
Sehingga perbuatan yang akan dilakukan manusia atas kehendaknya sendiri tanpa ada ‘paksaan’ dari Allah sudah tertulis di dalam Lauhul Mahfudz. Begitulah keluasan ilmu Allah. Manusia hanyalah diwajibkan beriman atasnya.
Rabu, 30 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar