KLIK EMAIL DAPAT DOLLAR, KLIK DI SINI

exclusivemails.net

Rabu, 30 Desember 2009

PEMBAHASAN
Neomodernisme Dalam Islam

(Fazlur Rahman)

A. Biografi
Fazlur rahman lahir di Pakistan sekitar pada tahun 1919-1988. lahir dan besar di koloni inggris yang kemudian menjadi Negara Pakistan. Ia menampakkan karil akademis yang membawanya meraih gelar akademik di Universitas Punjab dan Oxford. Semejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga dan tradisi mazhab Hanafi yang terkenal rasional itu. Ia juga memberi kulyah filsafat Islam di Inggris dan Kanada. Pada tahun 1961, Rahman kembali ke Pakistan untuk mengetahui Central Institute of Islamic Research di Karaci, sebuah organisasi yang di sponsori oleh Negara, untuk memobilisasi perang terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang tradisional dan radikal.

B. Karya dan Pemikirannya
Perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga periode : periode awal sekitar tahun 50-an, periode Pakistan sekitar tahun 60-an, dan periode chicago sekitar tahun 70-an. (Taufik, 1990 : 112-149).

 Kritik Atas Pemikiran Islam dan Modernisme
Periode pertama adalah karil awal Rahman di Pakistan setelah berhasil menyelesaikan program doctoral di Oxford University. Dalam periode ini, pemikiran Rahmann masih terikat dengan kajian-kajian Islam histories, meskipun sikap kritisnya terhadap pemikiran islam klasik telah tampak. Dalam masa ini ada tiga karya tepenting yaitu : Avicennan’s Psychology (1952) : Prophecy in Islam : Philosofhy and Orthodoxy (1958) : dan Avicenna’s De Anima (1959) : serta, satu antologi (kumpulan tulisan) dari artikel-artikkel tentang pemikiran Islam khususnya pemikiran moderen Iqbal. Di memberikan catatan kriti terhadap pemikiran klasik. Baginya, doktrin filosofi islam klasik seluruhnnya berasal dari Yunani, meskipun para Filasof muslim telah berusaha mengelaborasikan, bahkan menyaring dan menyesuaikannya dengan ddokrin seperti konsep kenabian. Rahman memandang para Filosop Muslim juga telah memperkeras unsur-unsur dasar dari Yunani dengan menambahkan elemen perfeksionisme intelektual dan menjadikan sebagai eleman tertinggi dari semua elemen (Taufik,1990 :113).
Rahman berkesimpulan, pandangannya tentang proses pewahyuan kepada Nabi Muhammad. Para fiosuf seperti Ibn Sina berteori bahwaNabi menerima wahyu dengan mengidentifikasi dirinya dengan Intelek Aktif, sementara ulama ortodok seperti al-Shahrastani dan Ibn Khaldun memandang bahwa Nabi mengidentifikasi dirinya dengan malaikat,sementariahman sendir, Rahman sendiri berpendapat bahwa Nabi mengindifikasikan dirinya dengan hukum moral.
Dalam karya terakhir periode ini (1955), Rahman menelaah pemikiran religion filosofis modern khususnya pemikiran Iqbal. Ia memulai telaahnya dengan satu pandangan tentang relatifnya pemikiran filosofis islam pada awal periode modern. Menurutnya, sebagian besar upaya intelektual kalangan modernis terpusat pada masalah-masalah legal dan social praktis. Hal ini disebabkan oleh internal utama ulama yang dihadapi islam pada masa itu timbul dari ketidak puasan terhadap warisan mazhab hokum abad pertengahan yang tidak lagi memadahi untuk kondisi,dan serangan-serangan yang memojokkan dari kritikus barat terhadap islam ditujukan kepada pranata-pranata legal dan sosialnya serta moralitas yang terkandung didalamnya.
Disamping memberikan apresiasi terhadap pemikiran Iqbal,Rahman juga memberi kritik, bahwa penyair filosof ini telah gaga merekonsiliasikan akal dan konsep dinamismenya. Hal ini, menurut rahman, bukan karena konsep dinamisme Iqbal bertentangan dengan tujuan-tujuan rasional, tetapi karena kenyataan sederhana bahwa penggagasnya tidak siap menerima dalam analisis akhirnya tujuan yang sebenarnya dari proses realitas,lantaran hal tersebut tampak baginya mengancam apa yang ia sebut kebebasan aktivitas. Rahma juga menngkritik, bahwa Iqbal sering menggunakan frase-frase yang yang sulit ditemukan kandungan inti konseptual yang dapat diuraikan, dan bahkan dalam karya monumental Iqbal itu tidak terdapat argument yang kukuh serta dalam. Dalam hal ini tanpak jelas bahwa basis kritik Rahman terhadap pemikiran Islam modern, bahwa penafsiran-penafsiran atas Islam itu harus muncul dari dalam, bukan pemaksaan-pemaksaan prakonsepsi asing dari luar.
Dalam karya selanjutnya, Rahman memberikan kritik terhadap beberapa Orientalis seperti H.A.R. Gibb sebagai pembelaan terhadap modernisme Islam yang mereka serang. Minsalnya, Rahman menolak pandang Gibb yang menarik kesimpulan bahwa konsep majelis legislative yang diungkapkan Iqbal lewat tafsirannya terhadap institusi ijma sejenis kepausan Islam. Menurut Rahman Iqbal tidak pernah menyarankan penobatan lembaga legislatif sebagai sebagai otoritas Ilahi sebagai mana dalam konsep kepausan, dan ini sangat bertentangan dengan spirit Islam. Rahman memberikan kritik lain bahwa studi atas islam yang mereka lakukan semata – mata sebagai data historis, dan sebagai suatu yang mati untuk dianalisis.

 Islam dan Tantangan Modernisasi
Pada periode kedua tahun 60 – an di Pakistan, Rahman terlibat langsung dalam kontrofersi antara tiga kekuatan islam : modernis – dimana ia ada di dalamnya, tradisionalis dan fundamentalis dalam menyelesaikan berbagai problem tentang islam dalam konteks Negara, social serta persoalan – persoalan modernisasi yang lain. Di sinilah ia ditantang untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan – tantangan dan kebutuhan – kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer di Pakistan.
Jurnal Islamic studies, secara ringkas dapat dikemukakan, melalui serangkaian artikel ini Rahman bertujuan menampilkan promlem – problem kontemporer masyarakat. Pakistan dan tawaran penyelesaiannya dalam perspektif islam modern. Selanjutnya, karya yang pertama ( Islamic Methodology in History ) menawarkan metodologi islam dan rumusan baru tentang islam. Karya kedua ( islam ) menyuguhkan data histories islam serta interpretasinya menurut Rahman. Dengan demikian, persoalan utama umat islam di Pakistan pada periode kedua adalah mencari identitas islam. Islam seperti apa yang seharusnya dijadikan pedoman bernegara, bermasyarakat dan menghadapi tantangan modernisasi. Pertentangan antara kelompok Muslim trdisionalis, fundamentalis, dan modernis dalam mendefinisikan Islam semacam ini memaksa Rahman mengedepankan hasil studinya.
Pertama, Rahman mengagendakan beberapa problem serius umat islam di Pakistan. Yakni, problem pertahanan, problem pembangunan, problem problem pendidikan dan problem kesejahteraan social. Kedua, sehubungan engan upaya pemecahan problem – problem tersebut, maka di perlukan suatu rekonstruksi terhadap masyarakat Muslim Pakistan yang menjamin penyelesaian problem – problem tersebut. Ketiga, upaya rekonstruksi masyarakat Muslim, dan upaya penyelesaian problem – problem harus didasarkan pada sudut pandang al – Qur’an dan sunnah ini harus melalui suatu metodologi yang tepat ; yaitu melalui pendekatan studi kritis – histories , komprehensif, sisitematis, dan sosiologis ( tentang pendekatan ini dijelaskan pada bagian setelah ini.
Rahman mencoba menawarkan pandangan – pandangan Islami terhadap beberapa problem modernisasi sebagai berikut. Islam bertujuan menciptakan suatu tata sosio – moral yang sehat dan progresif. Untuk tujuan ini, al – Qur’an meletakkan beberapa prinsip organisasi social, tolong – menolong, persaudaraan, dan pengorbanan diri demi kemaslahatan umum. Persamaan dan kebebasan menusia merupakan hak yang harus dijamin sehingga terbebas dari segala bentuk eksploitasi dan ketidak adilan social.
Dalam bidang pertahanan, Rahman mengusulkan agar anngkatan perang diperbaharui dan diperkuat dengan dukungan penuh dari masyarakat luas. System feodalisme, primordialisme serta etnisitas dalam bidang pertahanan yang selama itu berlaku dihapuskan. Untuk menciptakan kesejahteraan social, Rahman mengusulkan agar potensi kepemimpinan lokal dapat dimanfaatkan oleh lembaga – lembaga kesjahteraan local, dan bertugas memberikan pencerahan dan pemberdayaan moralitas masyarakat. Adapun perbaikan di bidang pendidiikan, berdasarkan pandangan al – Qur’an bahwa inti dari pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dasar manusia sehingga pengetahuan yang diperolehnya menyatu dengan kepribadiannya,maka total untukmenangani problem buta huruf :mengembangkan bahasa nasional; mengubah secara radikal metode pengajaran hafalan.

 Neomoderisme an Metodologi studi islam
Memasuki priode ketiga tahun 70 –an dan seterusnya di Chicago, pemikiran Rahman diarahkan untuk merumuskan kembali cita-cita islam dan dunia islam.rumusan –rumusan baru tentang islam, ditawarkan oleh Rahman dengan apa yang kemudian dinamakan neomodernisme islam.oemikiran ini adalah kritik terhadap paradigma dan metode pemikiran modernisme klasik.
Di antara karya-karya terpenting Rahman periode ini adalah, The Philosopy of mulla Shadra (1975); Major Themes of The Qur an (1980 ); dan islam and Moder nity: Transpormation of The intellectual Tradition (1982). Buku pertama merupakan kajian kritis terhadap pemikiran filosofis pemilik syi’ah, Mulla shadra dengan tujuan membktikan bahwa filsafat islam tidak tidak pernah mati meskipun pernah diserang oleh al- Ghazali. Buku kedua merupakan kajian tafsir tematik. Tentang delapan topik inti yang dapat disimpulkan menjadi topik,manusia,Tuhan dan alam. Tujuannya memperkenalkan secara metodologis bagaimana seharusnya melakukan kajian –kajian tematik terhadap Al Qur’an, dan sejauh mana pandangan-pandangan orsinal dan komprehensif atau pesan moral Al Qur’asn terhadap persoalan-persoalan mendasar. Dan, Buku ketiga merupakan kajian kritis terhadap sejarah intelektual dan pendidikan islam klasikhingga dewasa ini, kemudian penawaran terhadap apa yang disebut paradigma pemikiran neomodernisme serta metodologi studi islam yang relevan dengan persoalan umat islam kontemporer.
Rahman membagi gerak pemikiran islam menjadi empat.Pertama, revivalisme pramodern diabad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke- 19 seperti gerakan wahabi: kedua, modernasisme klasik diabad ke-19 sampai dengan abad awal ke-20 yang dipelopori oleh Mohammad Abduh: ketiga, neorevivalisme disekitar abad ke-20 seperti dipelopori oleh Sayyid Quttub; dan, ke empat neomodernisme disekitar tahun 70-an yang dipelopori oleh Rahman sendiri. Menurut Rahman, lahirnya gerakan pemikiran yang ua pelopori ini merupakan reaksi terhadap neorevivalisme, dan kritik terhadap modernisme klasik. Tetapi, ia juga sebagai kelanjutan dari gerakan tersebut. Sebagai gerakan lanjutan yang kritis, neomodernisme menawarkan paradigma baru. Pertama, bersikap kritis terhadap barat dan warisan-warisan kesejarahan islam. Gerakan ini mengkritik modernisme klasik terkesan westernis,karna permasalahan yang ditangani hanya permasalahan barat sentris. Karnanya, neomodernisme menolak sikap membabi buta terhadap barat.apalagi sikap apologetic yang ditunjukan oleh tokoh umat islam.
Kedua, memahami islam secara metodelogis,sistimatis,komprehensif dan objektif. Neomodernisme mengkritik modernisme klasik tidak menguraikan secara tuntas metode studinya terhadap Islam, sehingga tanpak studi-studinya bersifat parsial, tidak sistematis dan menyeluruh yang, pada gilirannya, tidak memperoleh pesan yang sebenarnya dari Al-Qur’an.
Ketiga, berpikir bebas dan indenpenden guna mendorong tumbuhnya tradisi ijtihad dikalangan umat Islam. Seperti gerakan-gerakan sebelumnya, neomodernisme mempunyai perhatian yang sungguh terhadap pendayaguanaan terhadap rasio untuk memahami agama. Dalam hal kini neomodernisme menolak kalangan tradisionalis yangn cendrung memasuki kreativitas berpikir, dan sangan membatasi ruang ijtihad bagi kaum Muslimin.
Mengenai metodelogi studi Islam, Raman juga mengajukan metodelogi tafsir Al-Qur’an yang terdiri dari tiga langkah utama :
1. Mengkaji konteks-konteks historis Al-Qur’an (pendekatan historis) untuk menemukan makna teks Al-Qur’an.
2. Membadakan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan Al-Qur’an.
3. Memahami dan menetapkan sasaran AQl-Qur’an dengan memperhatikan secara sepenuhnya latar sosiologisnya. (Taufik 1990 : 192).
Berikut penjelasannya lebih lanjut.
Pertama, seorang mufassir diajak untuk memahami dan menemukan makna-makna Al-Qur’an secara kronologis, dari satu ayat ke ayat yang lain yang berhubungan. Pencarian dan penjelasan ayat-ayat ini dilakukan dengan cara tematik, komprehensif, dan sistematis serta dalam kontek historisnya masinng-masing. Minimal pendekatan historis ini akan dapat menghindari pemaknaan Al-Quran secara artificial.
Kedua, seorang mufassir mulai membedakan antara ayat-ayat yang mempunyai ketetapan-ketetapan hukum dan sasaran serta tujuannya.
Ketiga, jika pada langkah kedua seorang mufassir memahami ketetapan hukum dan sasaran berdasarkan ayat itu sendiri, maka pada langkah ini ia menjelaskan dalam konteks sosiologis dimana Al-Q,ur’an diturunkan, yakni sepanjanng karil Nabi.
Dari ketiga langkah diatas, selanjutnya Rahman merumuskan tiga langkah operasional. Pertama, perumusan pandangan dunia Al-Qur’an. Maksudnya, nilai-nilai metafisis atau teologis yang tersebar dalam ayat-ayat Al-Qur’an dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan pedoman dasar melihat berbagai persoalan dalam karangka Qur’an.
Kedua, sistematisasi etika Al-Qur’an. Maksudnya, prinsif-prinsif dasar etika Al-Quran seperti iman, islam dan taqwa hurus dicari dan di sistematisasikan.
Ketiga, penumbuhan etika Al-Qur’an dalam kontek kekinian. Maksudnya, etika Al-Qur’an yang telah ditemuka dan disistemamatikakan tadi, kemudian diharapkan pada kontek kehidupan konkrit dewasa ini, dan dipergunakan untuk menetapkan pandangan Al-Qur’an terhadap sesuatu persoalan kontemporer.

C. Catatan Kritis
Dalam batasan ini, gerakan neomodernisme dapat dipahami dan cukup ideal. Bahkan, cendrung dapat diterima sebagai gerakan alterantif yang muderat dan bijak. Bagi umat Islam, konsef-konsef neomodernisme terkesan elitis dan terlalu rumit, sehingga sulit dipahami : term-term yang dipakai terlalu asing bagi kalangan umum, sehingga untuk memahaminya membutuhkan para penterjemah yang popular. Inilah resikonya, dan disinilah barangkali letak problem gagasan-gagasan Rahman dalam tataran implmentasi. Namun, berkat peningkatannya pendidikan umat Islam, maka belakangan ini tampak bahwa pemikiran neomodernisme secara bertahap mulai dipahami. Diantara problem yang lain adalah, karena sebagai gerakan intelektual, neomodernisme tampakanya tidak beropsesi terlembagakan apalagi menjadi sebuah ideology transformative. Hal ini menimbulkan kesan bahwa gerakan ini pandai berteori, kurang menggigit, dan hanya mampu bersikap “ manis-manis saja ” di depan ketidak adilan dan kezaliman. Apalagi, kesan demikian ditambah dengan keengganan para pelopornya yang tidak berkecimpungan lanngsung pada persoalan yang riil umat dengan dalil profesional.

Islam dan Modernitas
Metafisika dalam pemahaman ini, adalah kesatuan pengetahuan yang memberi makna dan orientasi bagi kehidupan. Karena kesatuan adalah kesatuan pengetahuan, bagaimana mungkin hal itu bersifat subjektif semuanya? Ini adalah keyakinan yang dilandasi pengetahuan. Tidak banyak yang muncul dari metafisika Islam, paling tidak pada masa modern. Pada abad pertengahan, muncul ahli-ahli metafisika Muslim yang beberapa diantaranya brilian, orisinal, berpengaruh, tapi basis utama keseluruhan pandangan dunia mereka pemikiran Hellenis, bukan Al-Qur’an. Beberapa dokrin mereka tidak mengenakkan para ortopdoks, yang membuat mereka demikian ketakutan dan akhirnya menganggap pemikiran metafisika sebagai pemikiran yang terkutuk hingga bebereapa abad selanjutnya. Mengenai tujuan umat islam untuk mengislamkan sejumlah bidang kajian, harus diakui bagaimanapun juga, maksud ini hanya dapat dijalankan, jika umat Islam secara efektif melaksanakan tugas-tugas intektual untuk menjabarkan metafisik Islam atas vdasar Al-Qur’an. Suatu pandangan dunia Islam pertama-tama haruslah, kalaupun untuk sementara, diupayakan apabila berbagai lapangan khusus dari upaya-upaya intelektual mau dipadukan sebagai dijiwai oleh Al-Qur’an.
Jadi, pokok seluruh masalah “memodernisasi” pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produkvitas intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam, yang pada umumnya telah berhasil ditanamkan oleh system pendidikan madrasah, adalah masalah perluasan wawasan intelektual muslim dengan cara menaikan standar-standar intelektulnya. Karena perluasan adalah fungsi dari penaikan kepada ketinggian. Sebaliknya, semakin anda turun, semakin sempit pila ruang yang terliput oleh wawasan anda yang sempit. Dan disini nampak kontras yang menyolok antara sikaf-sikaf Muslim yang actual dengan tuntutan Al-Qur’an. Al-Quran memberikan nilai yang sangat tinggi kepada ilmu, dan Rasulullah sendi diperintahkan untuk berdo’a kepada Tuhan. Dal Al-Qur’an sendiri berpandangan bahwa semakin banyak ilmu yang diniliki seseorang, akan semakin bertambah pula iman dan komitmennya terhadap islam. Secara mutlak tidak ada pandangan mengenai hubungan antara ilmu dan iman yang bisa disumberkan dari Al-Qur’an. Tetapi inilah justru tepatnya poin yang rahman ajukan bahwa suatu ilmu yang tidak meluaskan ufuk wawasan dan tidakkan seseorang adalah ilmu yang setengah matang dan berbahaya. Bagaiman orang bisa memperoleh pengetahuan tentang tujuan-tujuan akhir kehidupan yakni nilai-nilai yang lebih tinggi, tanpa pengetahuan realitas yang aktual. Apabila para modernis Muslim tidak melakukan sesuatu yang lain, berarti mereka telah mengambil bukti yang sedemikian besar itu akan perlunya secara mutlak bagi iman pengetahuan akan alam semesta, tentang manusia dan tentang sejarah, yang di lip servicekan oleh kaum Muslim pada masa sekarang ini.
Tetapi, berlawanan dengan ini, sikap kaum Muslim terhadap pengetahuan pada abad-abad pertengahan yang akhir adalah demikian negatif hingga bila oaring memperbandingkan dengan Al-QAur’an, ia pasti akan betul-betul kaget. Menurut sikap ini, ilmu yang tinggi dan iman bersifat disfungsional satu terhadap yang lain dan peningkatan yang satu berate kemunduran bagi yang lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tanpak sebagai betul-betul sekular, seperti pada dasarnnya semua pengetahuan positif yang modern sungguh, bahkan ilmu-ilmu agama yang modern adalah secular, atau kalaupun tidak dipandang demikian, ia bisa dipandang sebagai secara positif merugikan iman. Ada beberapa sebab timbulnya perbedaan-perbadaan yang merusak ini. Pertama yaitu adanya ketakutan terhadap filsafat dan intelektualisme pada umumnya. Alasan lain yang penting adalah, bahwa suatu ilmu dari kelompok disiplin-disiplin ortodoks, khususnya hukum, hampir-hampir bisa dikatakan sebagai paspor yang meyakinkan untuk memperoleh pekerjaan, sementara matematikan atau ilmu astronomi hanya merupan sumber yang kecil bagi penghidupan, apalagi kemansyuran, dal ilmu kedokteran diakui sebagai perlu walaupun merupakan upaya yang rendah.(Abu Hamid) Al-ghazali (1058-1111), dalam kritiknya atas slogan korps kedokteran zaman pertengahan yaitu “Jasad dahulu, baru agama (jiwa)”, ini merupakan sikap ortodoks zaman pertengahan terhadap ilmu kedokteran ketika ia mengatakan slogan-slogan yang menarik seperti itu orang-orang kedokteran berkehendak untuk menipu masyarakat awam mengenai urutan prioritas yang sebenarnya. Apapun alasanya, kontras yang menyolok antara Al-Qur’an dan upaya ilmiah Muslim abad pertengahan adalah nyata sekali.
Halangan pertama yang penting bagi usaha pembaruan apapun adalah fenomena yang saya sebut sebagai neorevivalisme atau neofundemantalisme. Sebelum muncul modernisme klasik, telah ada suatu revivalisme atau fundamentalisme sejak abad delapan belas. Gerakan “wahabi” di Saudi Arabia dan fenomena pembaharuan yang sejalan dengan ingin merekontruksi spritualitas dan moralitas islam atas dasar suatu langkah kembali kepada kemurnian awal islam. Fundementalisme post modernis sekarang ini, dalam satu hal yang penting, adalah suatu fenomena yang baru karena dasarnya adalah anti barat. Dari sinilah muncul sikap yang mengutuk modernisme klasik sebagai kekuatang yang menbaratkan. Jadi, sementara kaum modernis sibuk dengan atraksi Barat, maka kaum neorevivalis juga dihantui Barat melalui gaya penolakannya. Hal yang terpenting yang paling mendesak untuk dilakukan dalam pandangan ini adalah “melepaskan kaitan” secara mental dengan Barat dan menanamkan suatu sikaf yang independent namun penuh pengnertian terhadapnya, sebagai terhadap peradaban-peradaban lainnya, walaupu lebih khususnya terhadap Barat , karna ia merupakan sumber dari banyak perubahan social yang terjadi diseluruh dunia.
Kedua, upaya-upaya penbaharuan yang sedemikian jauh telah dilakukan, telah terjadi dalam dua arah. Dalam arah yang pertama yaitu, pembaharuan ini telah hamper seluruhnya dalam karanngka pendidikan tradisional itu sendiri. Digerakkan sebagian besar oleh fenomena pembaharuan pra-modernis, yang dorongannya masih berlanjut sejauh tertentu, pembaharuan ini telah cendrung menyederhanakan silabus pendidikan tradisional, yang dilihatnya serat dengan materi-materi tambahan yang tak perlu seperti teologi zaman pertengahan, cabanng-cabang filsafat tertentu seperti logika, dan segudan karya tentang hukum. Pada arah yang kedua, sutu keragaman telah terjadi, yang bisa diringkas dengan mengatakan bahwa ragam-ragam perkembangan tersebut mencerminkan upaya untuk menggabungkan dan memadukan cabang-cabang penngetahuan lama.
Pada masa sekarang, pada dasarnya tidak ada karena sifat pengajar yang umumnya mekanis dan karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis dan karena persandingan hal-hal yang lama dengan yang baru. Memang benar bahwa pembaharuan ini dihadapkan pada lingkaran setan dalam hal bahwa, disatu pihak, kecuali bila guru-guru yang memadai bisa diperoleh, yang memiliki pikiran-pikiran yang sudah terpadu dan kreatif, pengajaran akan tetap tinggal mandul sekalipun murid-murid mempunyai kemauan dan bakat, sementara dilain pihak, guru-guru seperti itu tidak akan bisa dihasilkan dalam skala yang mencukupi kecuali bila diciptakan kurikulum yang terpadu secara substansi. Lingkaran setan ini hanya bisa diputuskan pada poin-poin sebagai berikut:
1. Apabila muncul beberapa pemikiran yang berotak cemerlang, yang bisa menafsirkan hal-hal yang lama dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi, dan menjadikan hal-hal yang baru sebagai alat-alat yang berguna untuk hal-hal yang lama dalam identitas. Dan selanjutnya, ini harus diikuti dengan penulisan buku-buku deras yang baru tentang teologi, etika dan sebagainya. Pemikiran seperti itu tidak bisa diciptakan begitu saja, tetapi tentu ada yang bisa dikerjakan dalam hal ini, yakni mengrekrut bakat-bakat terbaik ada menyediakan insentif yang perlu bagi karir intelektul yang berkomitmen pada bidang ini.
2. Suatu problem penting yang telah menjawab wabah dimasyarakat-masyarakat Muslim semejak tibanya fajar demograsi bagi mereka adalah hubungan yang ganjil antara agama dengan politik, dan tundukannya yang pertama kepada yang kedua.
Sungguhpun demikian, saluran tunggal yang paling penting dari kedua jenis pembaharuan yang terakhir ini adalah pewawasan yang tepat atas prioritas-prioritas dan penyelamatan agama dari cengkraman politik praktis yang ugal-ugalan itu yaitu pendidikan itu sendiri.

Beberapa Pertimbangan Kearah Penyelesayan Maslah
Menuju suatu pemahaman atas Islam.
Langkah esensi pertama untuk memutuskan lingkaran setan yang bagi kaum Muslim, adalah membuat pembedaan yang jelas antar Islam normatif dan Islam histories. Kecuali bila dilakukan upaya-upaya yang efektif dan tunjangan kearah ini, tidak akan ada jalan yang nampak bagi penciptaan jenis pikiran Islam. Dalam bab tersebut saya juga mengindikasikan bagaiman pencegahan kembali ini bisa dilakukan yakni dengan mempelajari pertannyaan-pertanyaan social dan ketetapan-ketetapan hukumnya dalam sianran ajaran moral umumnya, dan khususnya, dalam dampak tujuan-tujuan atau prinsip-prinsip, kalau ungkapan ini lebih disukai yang dinyatakan disatu pihak.
Untuk meringkas jawaban saya bagi persolan-persoalan yang penting yaitu :
Mereka yang disebut kelompok fundementalis dan modernis telah tampil dengan jawaba-jawaban yang sangat berbeda untuk beberapa isu pokok menurut lingkungan masing-masing, tetapi tak satupun dari keduanya yang mempunyai metode yang cukup jelas untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Neo-revivalis tidak mempunyai metode yang layak selai disebut bereaksi, dalam isu-isu social penting tertentu, terhadap kaum modernis klasik. Kaum modernis klasik tidak juga tidak mempunyai metode selain menangani isu-isu yang bagi mereka tampaknya memerlukan penyelesaian bagi masyarakat Muslim, tetapi yang secara histories berasal dari inspirasi barat dan yang mereka coba untuk menyelesaikannya, seringkali dengan hal yang masuk akal, dengan sinaran ajaran Al-Qur’an. Kaum revivalis pra modernis, mereka secara pasti telah bekerja dalam lingkaran Islam tradisional dan menemukan bahwa kehidupan individu di masyarakat kaum Muslim telah dibanjiri takhayul-takhayul yang memerosotkan yang menurut monoteisme Al-Qur’an, merupakan bentuk syirik dan karena perlu dibrantas.
Dalam permasalahan penafsiran Al-Qur’an, para penafsi harus menggunakan metode yang jelas dan didalamnya terdapat unsur-unsur tradisional, supaya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan kesana kemari. Dan setiap penafsir menyatakan secaria eksplisitn asumsi-asumsi serta premis-premis khususnya berkenaan dengan penafsiran Al-Qur’an pada umumnya, dan asumsi-asumsi dan premis-premis khususnya berkenaan dengan penafsiran Al-Qur’an berkenaan dengan masalah dan penggalangan dalam Al-Qur’an. Penafsiran-penafsiran yang seperti itu bisa dilakukan oleh sarjana-sarjana secara individual, tetapi juga bisa dilakukan secara kelompok-kelompok kerja. Apa yang pasti adalah bahwa harus ada beberapa upaya, sehingnga melui diskusi dan perdebatan, masyarakat bisa menerima beberapa penafsira dan membuang penafsiran yang lain.

Rekontruksi Sains-sains Islam
Periode Historis
Proposisi bahwa hokum dan lembaga-lembaga syari’ah harus bersumber secara metodik dan sistematis dari Al-Qur’an dan taladan Rasul (yakni, perilaku total beliau) dalam cara yang dilukiskan diatas tidak berarti bahwa sains-sains Islam, sebagai mana telah bermula dan berkembanng secara histories, harus diabaikan atau dibuang. Sungguh sains-sains itu tidak bisa diabaikan atau dibuang karena alas an-alasan pokok tertentu.
Proposisi perumusan Islam yang bersifat hukum, teologis, spiritual tidaklah bisa diabaikan ataupun dibuang, yang terdiri dari dua bagian:
Pertama, adalah bahwa apabila kita memandang Al-Qur’an dalam keadaan sekarang ini, seolah-olah ia baru saja diturunkan oleh karena itulah arti dari membuang Islam historis (dari persfektf ini, sunnah atau peri hidup rasul sendiri berfungsi, sebagiannya, sebagai Islam histories bagi pemahaman Al-Qur’an) kita bahkan tidak akan mampu untuk memahaminya. Secara religius, tak syak lagi Al-Qur’an harus di anggap seolah-olah diwahyukan kepada nurani tiap orang beriman, dan kaum sufi kadang-kadang melakukan hal ini secara ekstrem, tetapi ia hanya bisa dianggap diwahyukan kepada nurani seorang beriman sesudah ia dipahami dengan selayaknya, yang menuntut orang untuk menempatkan ajaran-ajaran sosial dan hukumnya dalam latar historisnya.
Kedua, dari arti prosisis ini adalahbahwa kita harus melakukan kajian yang menyeluruh, kajian histories dan sistematis, mengenai perkembangan-perkembangan disiplin Islam. Ini terutama merupakan kajian kritis yang akan memperlihatkan kepada kita sejarah perjalan Islam di tangan kaum Muslim. Akan tetapi, dalam batasan-batasan agama, pada akhirnya, hal ini akan dinilai oleh criteria Al-Qu’an sendiri, Al-Qur’an sebagai mana yang akan kita pahami melalui prosedur yang dipaparkan diatas. Kebutuhan akan kajian yang kritis atas masa lampau Islam intelektual menjadi makin mendesak, disebabkan oleh hanya kompleks psikologis yang telah tumbuh dalam diri kita dalam menghapi Barat. Kita lalu mempertahankan masa lampau tersebut dengan sepenuh jiwa. Kepekaan kita terhadap beberapa bagian atau aspek dari masa lampau itu pada umumnya telah kita anggap sakral.kepekaan paling besar terpaut pada hadis, walaupun pada umumnya diakui bahwa kecuali Al-Qur’an, semua yang lain taak lepas dari kemunngkinan campur tangan sejarah yang merusak. Lebih lanjut, apabila suatu hadist tertentu terlihat tidak memiliki dasar yang kuat secara histories, ia tidaklah perlu dibuang begitu saja, karena mungkin ia mengandung sebuah prinsip yang baik, dan sebuah prinsip yang baik, tak perduli dari manpun datangnya, haruslah kita pakai.

Rekonstruksi Sistematis
Teologi
Sebuah kritik histories terhadap-perkembangan-perkembangan teologi dalam Islam adalah langkah pertama ke arah rekonstruksi teologi Islam. Kritik ini, haruslah mengungkapkan lingkup ketidak sesuain terhadap pandangan Al-Qur’an dengan berbagai aliran spekulasi teologis dalam Islam dan menunjukkan jalan ke arah suatu teologi baru. Dengan mengesampingkan berbagai doktrin teologis yang bersifat spekulatif dan berlebih-lebihan dari kaum Bathini (esoterisis Islam) dan bannyak kaum sufi, aliran-aliran rasional (Mu’tazilah) dan tradisionalis (Asy’ariyah) yangn bertentangan, memberikan pelajaran yang efektif dalam masalah yang sangat peka ini. Fundementalisme pra-modernis meyakini bahwa semua bangunan-bangunan pemikiran teologis sesungguhnya adalah penjara-penjara, atau pada akhirnya tanpa bisa dielakkan lagi pasti menjadi penjara, dan bahwa agama lebih baik tanpa teologi, yang dalam pandangannya ialah suatu kejahatan terhadap agama.
Filsuf-filsuf penyair Muhammad Iqbal telah mengusahakan suatu pendekata baru terhadap teologi Islam dalam bukunya Reconstuction of religious thought in Islam. Iqbal adalah seorang pengkaji filsafat Barat modern dan mistisisme Islam yang cerdas dan bersemangat, tetapi ia bukan sarjana tradisi teologi atau sarjana Al-Qur’an. Iqbal nampaknya telah dengan tepat memahami bahwa dorongan utama Al-Qur’an adalah dinamis dan berorientasi kepada tindakan berusaha mengarahkan sejarah pada pola nilai spiritual dan mencoba menciptakan suatu tata dunia. Iqbal tidak melakukan penyelidikan yang sistematis kedalam ajaran-ajaran Al-Qur’an tetapi mencomot dan memilih dari ayat-ayatnya untuk membuktikan tesis-tesis yang paling tidak sebagian daripadanya adalah hasil pandangan umumnya terhadap Al-Qur’an tetapi yang diatas segalannya, tanpak baginya cocok dengan sebagian besar kebutuhan-kebutuhan masa kini dari masyarakat muslim yang macet. Untuk penafsiran Al-Qur’an tanpa kajian sistematis pandangan dunia Al-Qur’an tidak akan bisa dimunculkan.

Hukum dan Etika
Etika Al-Qur’an, sungguh, adalah esensinya, dan juga merupakan mata rantai yang perlu antara teologi dan hukum. Memang benar Al-Qur’an cendrung mengkonkritkan hal-hal yang bersifat etis, untuk membungkus hal-hal yang umum dalam suatu paradigma khusus, dan menerjemahkan hal-hal yang bersifat etis kedalam perintah-perintah yang bersifat hukum atau setengah hukum. Tetapi ini merupakan tanda semangat moralnya bahwa Al-Qur’an tidak puas hanya dengan proporsi-proporsi etis yang bisa digeneralisasikan, tetapi mendesak menterjemahkan kedalam paradigma-paradigma aktual. Dan Al-Qur’an selalu menjelaskan tujuan atau prinsif-prinsif yang menjadikan esensi hukum-hukumnya.
Al-Qur’an menyebutkannya sebagai petunjuk bagi umat manusia dan istilah yang sma menandai dokumen-dokumen wahyu yang sebelumnya. Konsef moral yang sentralnya bagi manusia adalah taqwa, tetapi dalam berbagai konteks Al-Qur’an bisa didefisikan sebagai keadaan mental yang bertanggung jawab dari man tindakan-tindakan manusia bersumber, tetapi yang mengakui kriterial yang penilain tindakan-tindakan tersebut terletak diluar dirinya.
Nilai-nilai moral adalah poros yang penting dari keseluruhan system, dan dari nilai-nilai tersebut tumbuhlah hukum. Karenanya, hokum adalah bagian terakhir dari mata rantai ini dan mengatur semua pranata agama, sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Karena hukum harus dirumuskan atas dasar nilai-nilai moral, dengan sendirinya ia akan berhubungan secara organis dengannya. Akan tetapi, karena hukum mengatur kehidupan keseharian masyarakat, dalam setiap perubahan sosial ia harus ditafsirkan kembali.

Filsafat
Dalam Islam zaman pertengahan, dengan berbasis femikiran filsafat Yunani, serangkaian pemikiran yang cemerlang dan orisinal telah membangun suatu wawasan sistematis dan komprehensif dengan konsef-konsef kunci dan doktrin-doktrin Islam tertentu yang hasilnya memberikan kepuasan kepada diri mereka dan banyak kaum intelegensi Muslim yang berpikir canggih. Filsafat adalah suatu kebutuhan intelektual yang abadi dan mesti dibiar tumbuh subur baik demi dirinya sendiri maupun demi disiplin yang lain, karena ia menanamkan senmangat kritis analitis yang sangat diperlukan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadi alat intelektual yang penting bagi sains-sains lain, tak kuranng bagi agama dan teologi. Karena suatu bangsa yang membuang kekayaan filsafatnya berarti mencampaka dirinya dalam bahaya kelaparan dalam hal gagasan-gagasan segar atau melakukan bunuh diri intelektual. Pelahiran gagasan-gagasan pada filsafat pada dasarnya adalah fungsui dari kegiatan kritis analitisnya. Fungsinya adalah menganalisis data pengalaman-pengalaman indera, pengalaman estitika, ataupun pengalaman agama. Oleh karena itu, filsafat bukanlah saingan teologi, tetapi pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia yang sebagianya disediakan oleh filsafat. Filsafat Muslim pada zaman pertengahan hanyalah satu jenis tertentu dari sistem filsafat, kita mesti bertanya apakah bijaksana atau tepat untuk melarang seluruh filsafat. Jumlah filsafat bisa mencapai beberapa saja, tergantung pada sudut pandang, asumsi-asumsi yang dibuat oleh seoranng filsuf tertentu, dan masalah-masalah yang dicoba untuk diselesaikan, yakni masalah-masalah yang dianggap paling penting, apakah dibidang metafisika, etika, episteminologi, logika atau apa saja. Mengatakan bahwa semua filsafat dengan sendirinya bertentangan dengan teologi tidak hanya naif tetapi juga berbahaya. Saya berani mengatakan, bahwa bagi Al-Qur’an, pengetahuan yakni penciptaan gagasan-gagasan adalah suatu kegiatan yang bernilai paling tinggi. Kalau tidak demikian, mengapa Al-Qur’an memerintahkan kepada Nabi umtuk terus berdoa bagi peningkatan ilmu? Apakah pelarangan atau pengecilan semangat untuk melakukan pemikiran murni sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an tersebut? Apa yang ditakuti Islam dari pemikiran manusia dan mengapa? Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh pengawal-pengawal agama, yang ingin mengurus agama dalam rumah kaca, tertutup dari udara terbuka.

Ilmu-Ilmu Sosial
Ilmu sosial sebagai sosok pengetahuan yang disistematisasikan, yakni sebagai disiplin-disiplin ilmu, adalah suatu fenomena modern. Ilmu-ilmu tersebut tak syak lagi merupakan perkembangan yang sangat penting, karena menjadi manusia yang ada dimasyarakat menjadi obyek kajiannya, ilmu-ilmu tersebut bisa bercerita banyak kepada kita tentang bagaimana kelompok-kelompok manusia sesungguhnya berprilaku dalam berbagai lapangan keyakinan dan tindakan manusia. Pada permulaan bab ini, saya telah mengatakan sesuatu tentang hasrat kaum Muslimin untuk menngislamkan ilmu-ilmu atau sosok-sosok pengetahuan ini. Ilmu-ilmu social yang terbaik adalah sejarah apabila dikerjakan dengan baik dan obyektif. Karena sejarah, dalam lingkupnya yang panjang, mengandung pelajaran dengan sesuatu cara dimana bisa dikatakan bahwa suatu kajian tentang penduduk asli. Minsalnya, sejarah makro, bila benar-benar dikerjakan dengan baik, adalah wujud pengabdian terbaik yang biasa diberikan oleh seorang ilmuwan sosial kepada umat manusia. Inilah alasannya mengapa Al-Qur’an terus menerus mengajak kita untuk berjalan dimuka bumi dan melihat nasib akhir bangsa-bangsa.
Ilmuan-ilmuan sosial yang mempelajari masyarakat-masyarakat konterporel dihadapkan pada pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh sejarah umat manusia, tanpa memandang apakah masyarakat-masyarakat dahulu menyadari atau tidak, adalah tidak bisa dibagi-bagi dalam arti bahwa kekuatan-kekuatan manusialah yang merupakan dasar dari sejarah adalah sama diseluruh dunia. Inilah pasti pandangan Al-Qur’an, yang secara unik bebas dari genetik dan keturunan. Didalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali apa yang disebut sebagai pemikiran sosial.









KESIMPULAN

Biografi
Fazlur rahman lahir di Pakistan sekitar pada tahun 1919-1988. lahir dan besar di koloni inggris yang kemudian menjadi Negara Pakistan. Ia menampakkan karil akademis yang membawanya meraih gelar akademik di Universitas Punjab dan Oxford. Semejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga dan tradisi mazhab Hanafi yang terkenal rasional itu. Ia juga memberi kulyah filsafat Islam di Inggris dan Kanada. Pada tahun 1961.

Karya dan Pemikirannya
Perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga periode : periode Pertama, sekitar tahun 50-an, yaitu Kritik Atas Pemikiran Islam dan Modernisme. Dalam periode ini yang yang dipaparkan adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran pada bidang religion filosofis.
2. Lebih menekan pada pendekatan kritik histories dari pada normative.
3. Dasar-dasar neomodernismenya mulai tampak pada sikap muderat dan kritisnya pada pemikiran islam klasik, pemikiran Islam modern, dan pandangan orientalis terhadap Islam.
Periode kedua yaitu di Pakistan sekitar tahun 60-an, yaitu “ Islam dan Tantangan Modernisasi” . Pada periode kedua, Rahman terlibat langsung dalam kontrofersi antara tiga kekuatan islam : modernis – dimana ia ada di dalamnya, tradisionalis dan fundamentalis dalam menyelesaikan berbagai problem tentang islam dalam konteks Negara, social serta persoalan – persoalan modernisasi yang lain. Di sinilah ia ditantang untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan – tantangan dan kebutuhan – kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer di Pakistan.
Pertentangan antara kelompok Muslim trdisionalis, fundamentalis, dan modernis dalam mendefinisikan Islam semacam ini memaksa Rahman mengedepankan hasil studinya.
1. Rahman mengagendakan beberapa problem serius umat islam di Pakistan. Yakni, problem pertahanan, problem pembangunan, problem problem pendidikan dan problem kesejahteraan social.
2. Sehubungan engan upaya pemecahan problem – problem tersebut, maka di perlukan suatu rekonstruksi terhadap masyarakat Muslim Pakistan yang menjamin penyelesaian problem – problem tersebut.
3. Upaya rekonstruksi masyarakat Muslim, dan upaya penyelesaian problem – problem harus didasarkan pada sudut pandang al – Qur’an dan sunnah ini harus melalui suatu metodologi yang tepat ; yaitu melalui pendekatan studi kritis – histories , komprehensif, sisitematis, dan sosiologis ( tentang pendekatan ini dijelaskan pada bagian setelah ini.

Periode ketiga di Chicago sekitar tahun 70-an. Yaitu “Neomoderisme an Metodologi studi islam“. Rahman membagi gerak pemikiran islam menjadi empat. Pertama, revivalisme pramodern diabad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke- 19 seperti gerakan wahabi: kedua, modernasisme klasik diabad ke-19 sampai dengan abad awal ke-20 yang dipelopori oleh Mohammad Abduh: ketiga, neorevivalisme disekitar abad ke-20 seperti dipelopori oleh Sayyid Quttub; dan, ke empat neomodernisme disekitar tahun 70-an yang dipelopori oleh Rahman sendiri. Menurut Rahman, lahirnya gerakan pemikiran yang ua pelopori ini merupakan reaksi terhadap neorevivalisme, dan kritik terhadap modernisme klasik. Tetapi, ia juga sebagai kelanjutan dari gerakan tersebut. Sebagai gerakan lanjutan yang kritis, neomodernisme menawarkan paradigma baru. Neomodernisme Rahman, merupakan tawaran pendekatan studi Islam khususnya terhadap Al-Qur’an melalui tiga kerangka besar yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain:
1. Upaya perumusan pandangan dunia atau teologi yang mengakar pada Al-Qur’an yang dapat dipahami secara kontemporel.
2. Upaya perumusan etika Al-Qur’an yang merupakan mata rantai penghubung esensial antara teologi dan hukum.
3. Upaya reformasi hukum-hukum dan pranata-pranata Islam modern yang ditarik dari etika Al-Qur’an dengan mempertimbangkan situasi ekologis masa kini. (Taufik, 1990 : 133).

Catatan kritis
Gerakan neomodernisme dapat dipahami dan cukup ideal. Bahkan, cendrung dapat diterima sebagai gerakan alterantif yang muderat dan bijak. Bagi umat Islam, konsef-konsef neomodernisme terkesan elitis dan terlalu rumit, sehingga sulit dipahami : term-term yang dipakai terlalu asing bagi kalangan umum, sehingga untuk memahaminya membutuhkan para penterjemah yang popular.
Kepemimpinan Perempuan Dalam Pandangan Islam

boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden seakan tak ada habisnya. Tapi sekarang fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah merevisi pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita dalam konteks negara.
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun mengatakan, Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden wanita asal sesama muslim. (Media Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan Megawati, telah bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden Indonesia sampai 2004 (Rakyat Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid dengan mengatakan bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita sebagai presiden/kepala negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang wanita menjadi presiden. Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001, menyatakan, hendaknya umat Islam Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati sebagai kepala negara. Sebab, penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan perempuan dalam entitas negara ini juga terlihat dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit diآ atas, benarkah Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh parpol-parpol Islam dan para intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan apakah wanita boleh atau tidak menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT :
Katakanlah,Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua. (QS Al Araaf : 158)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.(QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syara dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syaria (seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash syara, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.†(Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syarat yang mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syarat demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syarat Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Lafazh umum yang telah dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang tidak dikhususkan). (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syarat, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimanaآ laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syara apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 255-257)
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah¦ (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan. Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra) . Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (’aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumunâ€. Selain itu, tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish†(Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut.
Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga.
Memang ayat 34 dari surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu â€کala ar ra’aaya .†(Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)
3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima.
Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.
4. Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara.
Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda antara qadhi dan kepala negara.
5. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima.
Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena landasan syara adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma Shahabat dan Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai landasan syara. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.
Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syara Man Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu (QS Al Maaidah : 48)
Dalam hal ini para ulama Asyariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal. 209)
6. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi.
Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)
Penutup
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ’sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan kepentingan politik dan hawa nafsu manusia. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan negara Khilafah Islamiyyah-lah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslimin dapat dipecahkan dengan sahih. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]
- - - - -
*Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis†diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan Studi Mahasiswa) Universitas Janabadra, Yogyakarta, Ahad, 2 September 2001
'Kepemimpinan Perempuan Dalam Pandangan Islam'
Bagaimanapun pintar, hebat, cantik (???) seorang perempuan, bagi saya sebagai salah seorang cewek, tetap setuju kalo laki-laki selangkah lebih maju dari perempuan. Para kaum feminis muslim terlalu membabi buta dalam menyuarakan kebebasan/kesetaraan gender, padahal AlQur’an dah jelas2 mengatakan kalo tidak ada perbedaan antara kaum laki2 dengan kaum perempuan kecuali ketaqwaannya.
Sudah saatnya kita kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup kita, dan dah saatnya kaum feminis muslim tu sadar bahwa tidak ada keraguan lagi di dalam Al-Qur’an.
AlQur’an bersifat universal, dia akan selalu sesuai dengan perkembangan jaman, tidak ada yang namanya Islam dan Al-Qur’an yang ketinggalan jaman seperti yang diusungkan oleh para musuh Islam, justru jamanlah yang harus menyesuaikan diri dengan AlQur’an, setuju gak??? kalo gak, berarti kemungkaran, kesesatan, kehancuran akan menimpa kita.

Wanita Karir Dalam Pandangan Islam
Oleh : Tengku Azhar, Lc.
Diskursus tentang karir wanita dan wanita karir dewasa ini semakin hangat, terutama di negeri ini dan mendapat-kan dukungan serta perhatian serius dari berbagai kalangan, khususnya yang menamakan diri mereka kaum Feminis dan pemerhati wanita.
Mereka selalu mengangkat tema “pengungkungan” Islam terhadap wanita dan mempromosikan motto emansipasi dan persamaan hak di segala bidang tanpa kecuali atau yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan kesetaraan gender. Banyak wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama mereka yang tidak memiliki ‘basic’ keagamaan yang kuat dan memadai.
Karena merupakan masalah yang urgen dan berimplikasi serius, maka kajian kita kali ini mengangkat tema tersebut. Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fithrah mereka. Amîn.
Wanita Sepanjang Sejarah
Bagaimana perlakuan yang diberikan oleh peradaban dan agama di luar Islam terhadap wanita, diantaranya;
a. Yunani dan Romawi
Dua bangsa yang dulunya dikatakan memiliki peradaban yang “tinggi”ini, ternyata menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran.wanita tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberikan hak waris.wanita sepenuhnya tunduk dan hina di bawah kekuasaan pria secara mutlak.
b. Hindustan
Dalam syari’at bangsa ini dinyatakan, bahwa angin, kematian, neraka, racun dan api tidak lebih jelek dari wanita.
c. Yahudi
Bangsa dan agama Yahudi menganggap bahwasanya wanita adalah makhluk yang terlaknat karena wanitalah yang menyebabkan Adam melanggar larangan Allah hingga dikeluarkan dari Surga.sebagian golongan Yahudi menganggap wanita derajatnya adalah sebagai pembantu dan ayah si wanita berhak untuk menjualnya.
d. Nasrani
Sekitar abad ke-5, para pemimpin agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita, apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya? Atau ia memiliki ruh? Dan keputusan akhirnya mereka menetapkan bahwa wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari adzab neraka Jahannam kecuali Maryam ibunya Isa ‘alihis salam.
Kondisi Wanita di Dunia Barat
•Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya:
Pertama, terjadinya revolusi industri mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk menga-du nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan, mereka berharap menda-patkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara. Mereka mendapat upah yang rendah.
Kedua, kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah yang rakus sengaja mengguna-kan momen terjunnya kaum wanita dan anak-anak, dengan lebih memberikan porsi kepada mereka di lapangan pekerjaan, karena mau diupah lebih murah daripada kaum lelaki, meskipun dalam jam kerja yang panjang.
•Kehidupan yang dialami oleh wanita di Barat yang demikian mengenaskan, sehingga menggerakkan nurani sekelompok pakar untuk membentuk sebuah organisasi kewanitaan yang diberi nama “Humanitarian Movment” yang bertujuan untuk membatasi eksploitasi kaum kapitalis terhadap para buruh, khususnya dari kalangan anak-anak. Organisasi ini berhasil mengupayakan undang-undang perlindungan anak, akan tetapi tidak demi-kian halnya dengan kaum wanita. Mereka tetap saja dihisap darahnya oleh kaum kapitalis tersebut.
•Hingga saat ini pun, kedudukan wanita karir di Barat belum terangkat dan masih saja mengenaskan, meskipun sudah mendapatkan sebagian hak mereka. Di antara indikasinya, mendapatkan upah lebih kecil daripada kaum laki-laki, keharusan membayar mahar kepada laki-laki bila ingin menikah, keharusan menanggung beban peng-hidupan keluarga bersama sang suami, dan lain sebagainya.
Beberapa Dampak Negatif dari Terjunnya Wanita untuk Berkarir
Di antara dampak-dampak negatif tersebut adalah:
•Penelitian kedokteran di lapangan (dunia Barat) menunjukkan telah terjadi perubahan yang amat signifikan terhadap bentuk tubuh wanita karir secara biologis, sehingga menyebabkannya kehilangan naluri kewanitaan, tetapi tidak berubah jenis kelamin menjadi laki-laki. Jenis wanita sema-cam ini dijuluki sebagai jenis kelamin ke tiga. Menurut data statistik, kebanyakan penyebab kemandulan para istri yang bekerja sebagai wanita-wanita karir tersebut bukan karena penyakit yang biasa dialami oleh anggota badan, tetapi lebih diakibatkan oleh ulah wanita di masyarakat Eropa yang secara total, baik dari aspek materil, pemikiran maupun biologis lari dari fithrahnya (yakni sifat keibuan). Penyebab lainnya adalah upaya mereka untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam segala bidang. Hal inilah yang secara perlahan melenyapkan sifat keibuan mereka, banyaknya terjadi kemandulan serta mandegnya ASI sebagai akibat perbauran dengan kaum laki-laki.
•Di Barat, muncul fenomena yang mengkhawatirkan sekali akibat terjunnya kaum wanita sebagai wanita karir, yaitu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak-anak kecil berupa pukulan yang keras, sehingga dapat mengakibatkan mereka meninggal dunia, gila atau cacat fisik. Majalah-majalah yang beredar di sana menyebutkan nama penyakit baru ini dengan sebutan Battered Baby Syn (penyakit anak yang dipukul). Majalah Hexagon dalam volume No. 5 tahun 1978 menyebutkan bahwa banyak sekali rumah sakit-rumah sakit di Eropa dan Amerika yang menampung anak-anak kecil yang dipukul secara keras oleh ibu-ibu mereka atau terkadang oleh bapak-bapak mereka.
•DR. Ahmad Al-Barr mengatakan, “Pada tahun 1967, lebih dari 6500 anak kecil yang dirawat di beberapa rumah sakit di Inggris yang berakhir dengan meninggal sekitar 20% dari mereka, sedangkan sisanya mengalami cacat fisik dan mental secara akut. Ada lagi, sekitar ratusan orang yang mengalami kebutaan dan lainnya ketulian…setiap tahunnya, ada yang mengalami cacat fisik, ediot dan lumpuh akibat pukulan keras”.
•Para wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga tidak dapat memberikan pelayanan secara kontinyu terhadap anak-anak mereka yang masih kecil, karena hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk karir mereka.
•Berkurangnya angka kelahiran, sehingga pemerintah negara tersebut saat ini menggalakkan kampanye memperbanyak anak dan memberikan penghargaan bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang ada di dunia Islam.
Saksi Mereka Berbicara
•Seorang Filosof bidang ekonomi, Joel Simon berkata, “Mereka (para wanita) telah direkrut oleh pemerintah untuk bekerja di pabrik-pabrik dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya, akan tetapi hal itu harus mereka bayar mahal, yaitu dengan rontoknya sendi-sendi rumah tangga mereka”.
•Sebuah lembaga pengkajian strategis di Amerika telah mengadakan ‘polling’ seputar pendapat para wanita karir tentang karir seorang wanita. Dari hasil ‘polling’ tersebut didapat kesimpulan: “Bahwa sesungguhnya wanita saat ini sangat keletihan dan 65% dari mereka lebih mengutamakan untuk kembali ke rumah mereka…”.
Karir Wanita dalam Perspektif Islam
Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disitir di dalam Al-Qur’an , “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14).
Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Dienul Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membe-bankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.
Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.
Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.
Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.
Solusi Islam Terhadap Diskursus Karir Wanita
Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa bekerja ke luar rumah dengan persyaratan sebagai berikut:
•Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).
•Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan laki-laki asing; Sebab ada dampak negatif yang besar. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seo-rang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang me-rupakan) mahramnya”. (HR. Bukhari).
•Menutupi seluruh tubuhnya di hada-pan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik di da-lam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum)
•Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara. Firman Allah, “Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik”.(Al-Ahzab: 32)
•Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.
Penutup
Sudah waktunya kita memahami betapa agungnya dien ini di dalam setiap produk hukumnya, berpegang teguh dengannya, menjadikannya sebagai hukum yang berlaku terhadap semua aturan di dalam kehidupan kita serta berkeyakinan secara penuh, bahwa ia akan selalu cocok dan sesuai di dalam setiap masa dan tempat.
PENGANTAR




Assalamualaikum Wr.Wb.


Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan inayahnya kepada kita semua sehingga kita masih memiliki kesempatan untuk mengabdi dan beribadah kepadanya, Shalawat dan salam semoga senantisa tercurahkan kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW, berkat perjuangan beliau kita dapat merasakan manis nya iman dan intelektualitas di masa sekarang ini.
Makalah yang berjudul “ Hellenisme dan Pemikiran Patristik“ ini penulis susun guna melaksanakan study pada mata kuliah Pengantar Filsafats, dan semoga makalah ini juga dapat bermanfaaat bagi segenap pembaca di dalam menambah ilmu pengetahuan kita .
Penulis menghaturkan ribuan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, terutama kepada pembimbing yang telah menjadi sumber insfirasi terbentuk nya makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.


Wasalamualaikum Wr. Wb.


Penulis




PENDAHULUAN
Apakah benar bahwa kekristenan dipengaruhi Hellenisme (filsafat Yunani, terutama Platonisme)? Berapa jauhkah pengaruh itu membentuk ajaran Tritunggal seperti yang dikatakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa (SSY)? Berikut diskusinya:
(Tanya)
SAKSI-SAKSI YEHUWA menyebut bahwa mulai abad ke-II M, para ‘pemikir Kristen’ membuat upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai para cendikiawan kafir. Guru-guru Kristen memadukan elemen-elemen filsafat dari budaya Helenistik di sekitar mereka ke dalam ajaran mereka. Filo dari Alexandria (abad-1) seolah-olah menunjukkan bahwa Alkitab boleh saja dikawinkan dengan gagasan Plato dan menunjukkan bahwa Yudaisme selaras dengan Humanisme Yunani-Romawi. Pemikirannya diteruskan Klemen dari Alexandria (abad-2) dan Origen (abad-3) yang menjadikan Neoplatonisme sebagai dasar yang disebut ‘filsafat Kristen’. Guru-guru Kristen itu telah menjadikan kekristenan dan filsafat Yunani menjadi satu tanpa dapat dipisahkan, dan akibat perpaduan itu, doktrin Tritunggal (abad-4) merembes ke dalam kekristenan.
(Jawab)
Apakah benar bahwa kekristenan & ajaran Tritunggal dipengaruhi Helenisme (filsafat Yunani, terutama Platonisme)? Helenisme sebagai budaya memang ada pengaruhnya pada Alkitab, misalnya Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan Perjanjian Lama juga diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), namun sekalipun rasul Yohanes menggunakan istilah Yunani ‘Logos’ untuk menjelaskan hakekat Yesus, pengaruh ajaran Plato ke dalam kekristenan perlu dipertanyakan kebenarannya, apalagi kalau disebut menghasilkan ajaran Tritunggal.
Masa patristik, para ahli pikir beragam pemikirannya ada yang menolak filsafat Yunani dan ada yang menerimanya, yang menolak adalah karena mereka sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan dan tidak dibenarkan mencari kebenaran lain seperti filsafat Yunani, sedang yang menerima beranggapan bahwa walau telah ada sumber kebenaran, tetapi tidak ada salahnya menggunakan filsafat Yunani, yang diambil tata cara berpikirnya, ahli pikir patristik antara lain: Justinus martir, Klemens, Tertullianus, Augustinus. Aliran skolastik berkaitan dengan sekolah dan merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama, filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan persolan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik buruk, filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal, filsafat Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja, ahli pikir skolastik antara lain, Peter Abaelardus, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, William Ockham.















PEMBAHASAN
A. HELLENISME
1. STOISISME
Mazhab stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition sekitar tahun 300 SM. Nama stoa menunjukkan kepada serambi betiang, tempat Zeno memberikan pelajaran. Menurut stoisisme, jagat raya dari dalam sama sekali ditentuka oleh suatu kuasa yang disebut”Logos” (rasio). Oleh karenanya semua kejadian dalam alam berlangnsung menurut ketetapan yang tak dielakan. Jiwa mengambil bagian dalam Logos itu. Berdasarkan rasionnya, manusia sanggup mengenal universal jagat raya, jika memang demikian dia akan menguasai nafsu-nafsu dan mengendalikan diri secara sempurna, supaya ddengan penuh insyafan ia menaklukan diri pada hukum alam. Seseorang yang hidup menurut prinsip-prinsip Stoissisme sama sekalil tidak memperdulikan kematian dan segala mala petaka lain, karena insaf bahwa semua itu harus keharusan mutlak.
2. EPIKURISME
Epikuros (341-270) berasal dari pulau Samos dan mendirikan filsafat baru di Athena. Ia menghidupkan kembali Atomisme Demogkritos. Menurut pendapat Epikuros segala-galanya terdiri dari atom senantiasa bergerak secara kebetulan tubrukan dengan yang satu dan yang lain.
3. SKEPTISISME
Skeptisisme tidak merupakan suatu aliran yang jelas melainkan suatu tendesi agak umum yang hidup sampai akhir masa yunani kuno. Mereka berpikir bahwa dalam bidang teoritis manusia tidak sannggup mencapai kebenaran. Sikap umum mereka adalah kesangsian. Pelopor skeptisisme di Yunani adalah Pyrrho (365-275).
4. EKLEKTISISME
Salah seorang warga Roma yang biasanya di golongkan dalam elektisisme adalah Negarawan dan ahli berpidato tersohor yang bernama CICERO (106-43). Di Alexandria hidup seorang pemikir Yahudi yang barang kali terhitung dalam tendesi ini, namanya Philo (25 SM.-50 SM). Ia berusahan mendamaikan agama Yahudi dengan filsafat Yunani. Khususnya Plato.


5. NEOPLATONISME
Puncak terakhir dalam sejarah filsafat Yunani yanng di sebut, NEOPLATONISME. Sebagai mana namanya sudah menyatakan itu. Aliran ini bermaksuk menghidupkan kembali filsafat Plato. Tetapi tidak berarti bahwa pengikutnya tidak berpengaruhi filosof-filosof lain.
Filosof yang menciptakan sintesa bernama Plotinos (203/4-269/70). Ia lahir di Mesirdan umur 40 tahun ia tiba di Roma mendirikan sekolah Filsafat di sana. Seluruh sistim filsafat Plotinusberkisar pada kosep kesatuan. Atau dapat juga katakan bahwa seluruh sistim Filsafat Plotinus berkisar pada Allah, sebab Allah disebut nama dengan yang satu. Oleh karenanya dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.
a. Dari atas kebawah
Pada puncak hirarki terdapat yang satu yaitu Allah. Setiap tarapdalam irarki berasal dari tarap lebih tinggi yang palinng berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melaui jalan pengeluaran atau emanasi. Dengan istilah emanasi mau ditunjukan bahwa penngeluaran itu berlangsung secara mutlak perlu, seperti air sungai yang perlu mutlak memancar dari sumbernya. Proses pengeluaran Plotinus dilukiskan sebagai berikut. Dari yang satu, dikeluarkan Akal dan Budi. Akal Budi ini sama saja dengan ide-ide Plato yang di anggap Plotinus sebagai suatu Intelek memeikirkan diri sendiri.
b. Dari bawah keatas
Setiap taraf hirarki mempunyai tujuan untuk kembaliakn kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dan karena itu secara tak langsung menuju ke Allah. Karena manusia mempunyai hubungan dengan taraf hirarki, ialah yang dapat melaksanakan pengambilan kepada Allah. Hal itu dicapai melalui tiga langkah:
Langkah pertama adalah penyucian, dimana manusia melepaikan diri dari materi dengan laku tapa. Langkah yang kedua adalah penerangan, dimana ia diterangngi dengan pengetahuan tentang idea-idea akal Budi. Akhirnya langkah ketiga adalah penyatuan dengan Tuhan yang melebihi segala pengetahuan. Langkah yangn terakhir ini ditunjukkan Plotinus dengan nama” ekstasis”.

Memang benar bahwa Filo, dan Klemen dan muridnya Origen berusaha memadukan Platonisme/Neo-Platonisme ke dalam ke-yahudi/kristen-an, tetapi apakah itu berarti bahwa ajaran kekristenan dipengaruhi Platonisme?
Plato (428-347sM) membagi realita menjadi ‘Dunia Bentuk/Ide’ dan ‘Dunia Materi.’ Bentuk/Ide yang tertinggi dan paling sempurna disebut ‘Yang Baik’ dan pengetahuan tentang itu menjadi sumber pembimbing dalam menentukan keputusan moral. Yang kelihatan di dunia ini yang diserap pancaindera lebih rendah dan merupakan copy tidak sempurna dari sumber di dunia Bentuk/Ide.
Pemikiran Plato dalam perkembangan ‘Middle Platonism’ dijabarkan sebagai hirarki prinsip ilahi yang dimulai dengan prinsip tertinggi yang disebut ‘Yang Satu’ yang mengandung ‘pikiran ilahi’ yang dipertentangkan dengan dunia materi atau jiwa yang jahat. Diperlukan pelarian dari yang jahat untuk mencapai ke arah ‘Yang Satu’ itu. Filsuf Yahudi Filo Yudaeus (15sM-c.45M) berusaha mengawinkan pemikiran ini dengan Yudaisme. Ia menyebut adanya Logos sebagai perantara antara Allah dan Manusia dan disebut firman atau hikmat Allah. Sekalipun pengaruhnya kuat dan tidak ditolak, para pemikir Yahudi juga tidak menerimanya.
Pada abad berikutnya berkembang ajaran ‘Gnostik’ (abad-2-3, ‘gnosis’ adalah pengetahuan yang dinyatakan) yang mengajarkan bahwa ‘percikan api ilahi’ jatuh dari realita ilahi ke alam materi yang jahat dan terpenjara dalam diri manusia. Melalui kebangunan kembali pengetahuan, elemen ilahi dalam diri manusia dapat kembali ke sumbernya. Bagi Gnostik, ada keberadaan asal yaitu Tuhan yang tidak dikenal, dan darinya ter-pancar/emanasi ilah-ilah lebih rendah yang berakhir dengan ‘Sofia’ (hikmat) yang memiliki keinginan untuk mengetahui ‘Keberadaan Tertinggi’ itu. Dari Sophia terbentuk ‘ilah yang merosot yang jahat yang disebut ‘demiurge’ yang dikirim untuk menyelamatkan manusia.’ Ada gnostik yang menyamakan demiurge dengan Allah Perjanjian Lama, dan ada yang mengatakan bahwa ‘Kristus, roh ilahi’ merupakan logos demigod yang mendiami manusia Yesus dan tidak mati disalib, melainkan kembali kepada sumbernya. Gnostik menolak penebusan Yesus Kristus dan kebangkitan tubuh.
Pemikiran Middle-Platonism diajarkan Amonius Saccas (c.174-c.242) dan dikembangkan muridnya Plotinus (205-270) sebagai Neo-Platonisme yang mengambarkan realita sebagai hirarki keberadaan yang makin ke bawah makin rendah dan merupakan ekspresi yang lebih rendah dari yang di atasnya, dan merupakan proses pencurahan energi Allah yang bertingkat. Tingkat teratas dari pencurahan ini disebut Logos dan tingkat di bawah dipancarkan/emanasi dari yang di atasnya, demikian seterusnya. Bagi Plotinus, proses emanasi yang merosot ke bawah diatasi dengan keinginan perenungan dari yang bawah menuju yang atas ke arah ‘Yang Satu/Baik’ itu. Tindakan kreatif dan ekspresif awal dari ‘yang Satu’ itu adalah ‘Nous’ (intelek atau Roh), dari sinilah kemudian terbentuk jiwa, yang membentuk, mengatur, dan memelihara alam materi. Peningkatan dari yang materi menuju ‘Yang Satu/Baik’ itu dilakukan melalui perenungan dan penyadaran.
Plotinus menolak gagasan Gnostik yang menyebut dunia materi itu jahat, tetapi dalam banyak segi lainnya keduanya saling mempengaruhi. Di satu sisi nafas Gnostik memasuki Neo-Platonisme, di sisi lain nafas Neo-Platonisme memasuki Gnostikisme. Pengaruh Neo-Platonisme masuk melalui Klemen dan kemudian muridnya Origen. Klemen (150-215) menolak ajaran Gnostik yang menekankan keselamatan melalui pengetahuan esoterik, namun Klemen berusaha menjembatani pemikiran Yunani,
Gnostik, dengan Injil. Baginya keselamatan hanya oleh iman tetapi juga menjadi dasar gnosis. Origen (185-254), murid Klemen, juga belajar pada Ammonius Saccas, pencetus Neo-Platonisme, dan mencampurkan konsep Platonisme dengan Injil. Baginya Allah menciptakan mahluk spiritual melalui Logos, aksi ini menunjukkan pembatasan dalam diri Allah. Origen berspekulasi bahwa jiwa itu merosot bertingkat, ada yang menjadi malaekat, ada yang menjadi manusia, dan yang jahat menjadi setan. Origen ditengarai bersifat Platonik dan terpengaruh tulisan Gnostik (Kisah Yohanes) karena ia menyebutkan Logos (firman) lebih rendah dari Bapa, bahwa Yesus bangkit secara spiritual dan dilihat berbeda-beda oleh orang tergantung tingkat spiritual mereka, menolak adanya neraka, dan secara moral mendukung universalisme. Karena pandangannya tentang perendahan Logos dan pemisahan dari Allah maka pada tahun 362, setengah muridnya pindah mengikuti Athanasius dan pada tahun 399 pandangannya di tolak gereja. Secara resmi teologia Origen ditolak raja Justinus I (543) dan diteguhkan dalam Konsili di Konstantinopel (553).
Arius (256-336) belajar di sekolah Anthiokia dibawah guru Yunani Lucian dan memadukan Neoplatonisme ke dalam pemikirannya. Sekolah Anthiokia terkenal sebagai sekolah yang merendahkan Kristus sekedar sebagai ciptaan lebih rendah dari Allah. Pre-existence Yesus bukanlah Allah tapi ciptaan pertama yang ‘seperti Allah’ (homoi-ousius) atau ‘demigod,’ semacam konsep ‘demiurge’ dalam Gnostik. Bagi Arius karena Yesus ciptaan, maka ia bukan Allah, dan bukan penebus karena hanya Allah yang bisa menebus.
Arius ditolak gereja Alexandria namun mengumpulkan murid-murid, dan kemudian diadakan Konsili Nicaea (325) yang menolak pengajarannya. Nicaea mengaku Yesus ‘sama dengan Allah’ (homoousius). Sekalipun telah ditolak gereja, secara sporadis masih ada kelompok yang menganut fahamnya, tetapi pada abad-7 hilang pengaruhnya. Kepercayaan Arius kemudian diteruskan kelompok Unitarian (abad-16), dan Christadelphian dan Saksi-Saksi Yehuwa (abad-19). Ensyclopaedia Britannica menyebut: “The Christology of Jehovah’s Witnesses, also, is a form of Arianism; they regard Arius as forerunner of Charles Taze Russel, the founder of their movement.” Dari sejarah ini kita dapat mengetahui bahwa memang ada pengaruh neo-platonisme dalam teologia Kristen, khususnya gereja Katolik pada masa itu, namun harus dicatat bahwa pengaruh yang mempengaruhi Klemen dan Origen justru berseberangan dengan mayoritas gereja, sehingga pengajaran Origen secara tegas kemudian ditolak gereja. Lebih-lebih pada akhir abad pertengahan (500-1500), pada masa Reformasi yang bernafas ‘sola scriptura’ maka pengaruh filsafat kristen yang platonik ditolak teologia Kristen Reformasi.
Sebaliknya kita dapat melihat bahwa pengaruh Platonisme/ Neoplatonisme, Gnostik, Origen, dan terutama Ariuslah yang mempengaruhi berat kepercayaan SSY. Konsep Saksi Yehuwa tentang Kristus yang adalah ciptaan jelas bersifat neo-platonis yang diajarkan baik oleh Origen maupun Arius dan konsep kepercayaan Yesus sebagai demigod mencerminkan pandangan Gnostik mengenai ‘demiurge’ maupun teori ‘emanasi’ Neo-Platonisme. Ajaran gnostik yang menganggap kebangkitan Yesus secara roh yang mempengaruhi Origen juga menjadi keyakinan SSY, demikian juga ajaran Origen tentang tidak adanya neraka diajarkan SSY. Konsep Arius mengenai Yesus yang adalah ciptaan dan bukan Allah sehingga tidak mungkin menjadi penebus juga menjiwai ajaran SSY, dan konsep Neoplatonis mengenai roh kudus (nous) sebagai energi Allah juga diajarkan SSY.
Dari sini kita dapat melihat bahwa kritik SSY bahwa kekristenan terpengaruh platonisme/neoplatonisme sebenarnya mengarah pada diri SSY sendiri. Bagi umat Kristen, Yesus adalah Tuhan & Allah yang sehakekat dengan Allah Bapa (homo-ousius) dan bukan lebih rendah seperti yang dipercaya SSY, yang bukan saja mempercayai Yesus lebih rendah dan tidak sehakekat dengan Bapa, tetapi juga bahwa Yesus adalah ciptaan dan bukan Allah.
Kita perlu menyadari bahwa gagasan Tritunggal (Allah yang tiga dan Esa) sudah terkandung dalam PL jauh sebelum Plato lahir. Dalam kitab Kejadian yang ditulis satu milenium sebelum Plato, disebutkan keberadaan Allah yang jamak (Kej.1:1-2,26;2:22), dan ketiganya digambarkan dalam peristiwa yang sama dimana Allah menjumpai Abraham dalam diri Malak Yahweh (Kej.16,18; Hk.13; Malak bukan malaekat biasa karena berfirman atas Nama-Nya sendiri), dan Yesaya (abad-6sM) sebelum Plato lahir menggambarkan ketritunggalan yang sama (Yes.63). Yohanes (abad-1) menggunakan istilah ‘logos’ menulis kitabnya sebelum Plotinus lahir dan mengawali Injilnya yang menyamakan ‘Logos’ dengan Allah Elohim yang sudah ada sejak mulanya dan menggunakan istilah ‘arche’, demikian juga dalam kitab Wahyu, baik Bapa mau pun Anak disebutkan ‘arche’ dan ‘telos’ (yang awal dan yang terakhir), dan juga ‘alfa’ dan ‘omega’ (huruf pertama dan terakhir abjad Yunani). Sekalipun belum berbentuk rumusan doktrin, baik Petrus, Yohanes, dan Paulus menggambarkan ‘ketiga-Nya yang esa’ dalam ucapan berkat mereka. Paulus mengidentikkan Roh Kudus dengan Roh Allah dan Roh Yesus, Pribadi Allah yang mendiami hati manusia sebagai Bait-Nya.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kepercayaan ‘Tritunggal’ berasal dari Alkitab, sedangkan kepercayaan ‘Anti Tritunggal’ SSY-lah yang terpengaruh ajaran Platonis/Neo-Platonis/Gnostik yang sebelumnya mempengaruhi Origen maupun Arius. Perumusan Tritunggal sebagai doktrin di Nicea (325 = Yesus adalah Allah) dan Konstantinopel (381 = Roh Kudus adalah Allah) bukan menciptakan ajaran baru, melainkan usaha mayoritas gereja menolak pengajaran ‘anti-trinitarian’ Arius dan mengembalikan dan memperjelas ajaran dan pengakuan iman Alkitab yang sudah dipercaya sejak abad pertama, sewaktu Yesus hidup di bumi.

B. ZAMAN PATRISTIK
1. Permuaan Patristik
Nama Patristik berasal dari kata latin yaitu Patres yang menunjukan kepada Bapa-bapa Gereja, berarti pujangga-pujangga Kristen dalam abad-abad pertama tarikh Masehi yang meletakkan dasar Intelektual untuk agama Kristen. Mereka merintis jalan dalam memperkembangkan teologi Kristiani. Seorang yang dengan jelas menganut pendirian ini adalah Tertullianus (160-222). Orang yang pertama digelari sebagai filsuf kristiani adalah Justinus Martyr (abad 2). Sekitar tahun 165 ia mati Stahid di Roma.
2. Jaman Keemasan Patristik Yunani
Dalam abad-abad pertama, Gereja Kristen mengalami penganiayaan terus-menerus dari pihak penguasa-penguasa Romawi. Keadaan ini berubah secara radikal, ketika pada tahun 313 Kaisar Constantinus Agung menngeluarkan pernyataan yang biasa disebut” Edik Milano” dimana kebebasan beragama untuk semua orang Kristen yerjamin. Sesudah kejadian ini agama Kristen berkembang pesat dalam semua Propinsi kekaisar Romawi.
Masa Patristik berakhir dengan Johannes Damascenus awal abad 8.


3. Jaman Keemasan Patristik Latin
Diantara para Bapa-bapa Gereja pada masa Patristik yang palinng besar adalah Augustinus (354-430). Dari sudut sejarah Filsafat, dialah pemikir yang paling penting dari seluruh masa Patristik. Augustinus menulis banyak karangan. Yang termansyur ialah Confussiones (pengakuan-pengakuan), dimana ia mengisahkan riwayat hidupnya berupa doa dihadapan Tuhan. Jika kita mempelajari pemikiran Augustinus, kesulitan yang terbesar kita hadapi ialah bahwa dalam karya-karyanya filsafat tidak dapat dipisahkan dari teologi.
Dalam bidang filsafat, Augustinus mencari inspirasinya terutama dalam Neoplatonisme atau lebih tepat lagi dikatakan, dalam Platonisme, sebab ia sendiri tidak memperbedakan neoplatonisme (ajaran Plotinus) dari Platonisme (ajaran Plato sendiri). Dibawah ini beberapa pokok yang memiliki peranan dalam pemikirannya.
a. Ajaran tentang iluminasi
Pertama-tama dapat disebut pendapatnya tentang pengenalan. Dalam masa mudanya ia bergumul dengan problem-problem yang menyangkut skepsitisme. Tetapi akhirnya ia berkeyakinan bahwa skeptisisme tidak tahan uji. Rasio insani dapat mencapai kebenara-kebenaran yangn tak terubahkan. Manurut Augustinus, hal itu hanya mungkin karena kita mengambil bagian dalam Rasio Ilahi. Dalam Rasio Ilahi terdapat “kebenaran-kebenaran abadi” : kebenaran yang mutlak dan tak terubahkan. Rasio ilahi itu menerangi rasio insani. Allah adalh guru batiniah yang ber tempat tingal dalam batin kita dan menerangi roh manusiawi dengan kebenaranya itulah pendirian Aaugustinus yang biasdannyta di sebut ajaran iluminasi atau penerangan
b. Dunia jasmani
Dunia jasmani mengalami perkembangan terusmenerus, tetapi seluruh perkembangan itu tergantung pada Allah. Mula-mula Allah menciptakan suatu materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu, tetpi didalamnya terdapat “rationes semineles” ( artinya : benih-benih ). Maksudnya ialah prinsip-prinsip aktif dari mana berkembang semua mahluk jasmani. Augustinus mengambil titik ajaran ini dari mazhab stoa. Augustinus menganut semacam teori evolusi, harus dijawab bahwa ia memang mengakui adanya perkembangan dalam dunia jasmani. Teta[I ia tidak memasudkan suatu evolusi atau mutasi jenis-jenis (Darwin : mutation of species ). Sebaliknya, dalam benih-benih itu segala sesuatu adalah sudah ada, seperti ayam sudah ada dalam telur. Dengan teori ini Augustinus berfikir dapat memecahkan beberapa kesulitan tentang penciptaan yang timbul jika memmbaca al-kitab.
c. Manusia
Dalam pemikiranya tentang manusia, Augustinus pasti dipengaruhhi oleh platonisme. Ia tidak menerima dualisme ekstrem plato tentang manusia (jiwa terkurung dalam tubuh), tetapi tidak dapat disangkal bahwa ia masih menganut semacam dualisme, misalnya bila ia melukiskan jiwa sebagai subtansi yang mengunakan tubuh. Tetapi tubuh (dan materi) tidak merupakan sember kejahatan. Satu-satunya kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak bebas, lagi hukuman untuk dosa Augustunus tidak pernah mengatasi keraguan tentang asal usul jiwa manusiawi satu kali berkecendrungan kepada fikiran bahwa jiwa langsung diciptakan oleh tuhan pada saat konsepsi. Lain kali ia mengatakan bahwa jiwa anak berasal dari jiwa orang tuanya, sebagai mana dahulu sudah dikatakan tertullianus. Dari uraian diatas Augustinus termasuk pemikir termashur dalam sejarah agamna Kristen. Sampai dalam abad 1 3 (selama 800 tahun) ia sama sekali menguasai pemikiran kristiani.

Awal berkembangnya agama Kristen pada abad pertama, sudah ada pemikir-pemikir Kristiani yang menolak filsafat Yunani. Mereka berpendapat bahwa setelah Allah memberikan wahyu kepada manusia, maka mempelajari filsafat Yunani yang non-Kristen dan non-Yahudi adalah sia-sia bahkan berbahaya. Salah seorang pemuka pikiran ini ialah Tertulianus (160-222). Tetapi pemikir-pemikir Kristen lain ada yang juga mempelajari filsafat Yunani, a.l. Yustinus Martir (?-165), Klemens dari Alexandria (150-215), Origines(185-254). Gregorius dari Nanzianza (330-390), Basilius Agung (330-379). Gregorius dari Nyssa (335-394) menciptakan suatu sintesa antara agama Kristen dengan kebudayaan Hellenistik (filsafat Yunani), tanpa mengorbankan apapun dari kebenaran agama Kristen. Tetapi ada juga karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Dionysios yang sangat berbau dengan Plotinus. Bapak gereja yang paling besar dari zaman Patristik ini ialah Augustinus (354-430). Ia menulis a.l.. "Confesiones" (pengakuan-pengakuan), "De Civitate Dei" (kota Allah). Augustinus diakui sebagai Bapak Gereja yang besar oleh orang-orang Katolik Roma maupun orang-orang Protestan. Dalam teologinya jelas ada pengaruh Plato. Tetapi pada umumnya ia berpegang ketat pada Alkitab yang diterimanya sebagai Firman Allah.









PENUTUP
A. kesimpulan
HELLENISME
• STOISISME
• EPIKURISME
• SKEPTISISME
• EKLEKTISISME
• NEOPLATONISME
PATRISTIK
1. Permuaan Patristik
Nama Patristik berasal dari kata latin yaitu Patres yang menunjukan kepada Bapa-bapa Gereja, berarti pujangga-pujangga Kristen dalam abad-abad pertama tarikh Masehi yang meletakkan dasar Intelektual untuk agama Kristen. Mereka merintis jalan dalam memperkembangkan teologi Kristiani. Seorang yang dengan jelas menganut pendirian ini adalah Tertullianus (160-222). Orang yang pertama digelari sebagai filsuf kristiani adalah Justinus Martyr (abad 2). Sekitar tahun 165 ia mati Stahid di Roma.
2. Jaman Keemasan Patristik Yunani
Dalam abad-abad pertama, Gereja Kristen mengalami penganiayaan terus-menerus dari pihak penguasa-penguasa Romawi. Keadaan ini berubah secara radikal, ketika pada tahun 313 Kaisar Constantinus Agung menngeluarkan pernyataan yang biasa disebut” Edik Milano” dimana kebebasan beragama untuk semua orang Kristen yerjamin. Sesudah kejadian ini agama Kristen berkembang pesat dalam semua Propinsi kekaisar Romawi.
Masa Patristik berakhir dengan Johannes Damascenus awal abad 8.
3. Jaman Keemasan Patristik Latin
Diantara para Bapa-bapa Gereja pada masa Patristik yang palinng besar adalah Augustinus (354-430). Dari sudut sejarah Filsafat, dialah pemikir yang paling penting dari seluruh masa Patristik. Augustinus menulis banyak karangan. Yang termansyur ialah Confussiones (pengakuan-pengakuan), dimana ia mengisahkan riwayat hidupnya berupa doa dihadapan Tuhan.

B. KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah kami ini, kami buat sebaik-baik mungkin, dan dalam penulisan ini tentu ada kekurangan dan kelebihan. atau sangat jauh dari kesempurnaan. untuk itu kemi mengharap kritik dan sarannya tentang makalah ini yang bersipat membangun sehingga makalah ini bisa jadi sempurna seperti yang kita harapkan.
WASSALAM………


























DAFTAR FUSTAKA


Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat,kanisius,Yogyakarta, 1975.
W. Guthrie, A historiy of Greek philosophy, Cambridge,1981.
F. Copleston. A history af philosophy, london, 1946.