KLIK EMAIL DAPAT DOLLAR, KLIK DI SINI

exclusivemails.net

Kamis, 04 Februari 2010

RELASI SAINS DAN AGAMA PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU (Sebuah Pencarian Paradigma Baru Sains)

* View
* clicks

Posted January 7th, 2009 by judeganteng

* Filsafat

abstraks:

Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat persoalan-persoalan sains ke dalam refleksi filosofis. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sains dan religi dalam bingkai filsafat ilmu, sebagai upaya pencarian paradigma baru sains.
Penelitian ini dilakukan secara studi pustaka. Tahap pertama adalah mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan objek material dan objek formal penelitian. Setelah memperoleh data yang diperlukan, kemudian data tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa kategori pembahasan. Pada tahap berikutnya data diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode: interpretasi, holistika, koherensi intern, heuristika, deskripsi, dan metode anarkhisme pengetahuan Feyerabend (Prisip Pengembangbiakan dan Apa Saja Boleh).
Pembahasan tersebut menghasilkan beberapa hal pokok. Pertama, ketegangan hubungan antara sains dengan agama terjadi sejak abad Tengah, ketika mahkamah agama menjatuhkan vonis terhadap Copernicus (1616) dan Galileo (1633). Kejadian ini menimbulkan sikap infantilisme agama, yang berlangsung sampai sekarang. Sains dianggap mengancam atau merusak kepercayaan agama dan menggusur kemampuan tradisional dan mistik, juga dianggap sebagai sumber destruktif terhadap kelestariaan alam dan manusia. Di pihak lain, menimbulkan sikap narsisisme sains. Agama dianggap sebagai musuh sains. Kebanyakan ilmuan dan filsuf menemputkan persoalan-persoalan supranatural dan mistik dalam relung tradisional dan irasional, sebaliknya ilmu modern dinyatakan sebagai natural dan rasional. Kedua, kritik timbal-balik antara sains dan agama memperlihatkan bahwa agama berpeluang untuk menjebol benteng narsisisme paradigma sains modern sambil menawarkan struktur makna yang berwawasan transhistoris, kosmis, dan etis-metafisis. Di pihak lain, refletivitas kritis sains mosern juga berpeluang untuk menggali keluhuran nilai-nilai keagamaan sebagai proses pemurnian hakikat dan peran fundamental agama. Ketiga, dialog antara sains dan agama juga dapat memperluas worldview-nya masing-masing, sebagai dasar pendefinisian kembali sains dalam paradigma sains baru. Dalam paradigma baru, sains disefinisikan sebagai pemecah masalah. Perubahan paradigma sains berarti pula perubahan atau perluasan worldview, perubahan tujuan sains, dan perubahan asumsi-asumsi keilmuan (Metafisika, epistemologi, dan aksiologi).

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebekuan akal dan matinya sains dalam abad tengah membawa ketraumaan yang mendalam bagi ilmuwan dan filsuf akan metafisika. Munculnya fajar modernitas, dengan renaissancenya, semakin dalam menguburkan dualisme Plato. Francis Bacon menyambut Organumyang dilemparkan Aristoteles dengan Novum Organumnya. Dalam teori ini Bacon menguraikan cara kerja ilmu-ilmu empiris yang induktif, artinya diperlukan metode ilmiah dalam pengetahuan. Dengan demikian Bacon merupakan orang pertama yang meletakkan dasar prosedur induktif dengan sangat jelas – membuat percobaan dan menarik kesimpulan umum dari percobaan itu, untuk diuji dalam percobaan lebih jauh – dan dengan metode ini ia sangat berpengaruh.
Teori Bacon menimbulkan perubahan yang luar biasa pada hakikat tujuan penelitian ilmiah. Sejak zaman kuno tujuan ilmu adalah untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan alam dan kehidupanyang harmonis dengan alam. Ilmu dicari demi keagungan Tuhan, atau seperti ungkapan Cina, untuk mengikuti tatanan alam dan mengalir dalam aliran Tao. Semua ini merupakan tujuan-tujuan Yin, atau bersifat integrative, atau ungkapan dewasa ini dikenal dengan sikap dasar ilmuwan adalah ekologisme. Pada abad ketujuh belas sikap ini berubah menjadi lawan kutubnya dari Yin keYang, dari integrasi ke penonjolan diri. Sejak Bacon, ilmu berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam, dan sekarang baik ilmu maupun teknologi digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali anti-ekologis (Capra, 1997; 55).
Metode Bacon mengadakan dikotomi antara laki-laki dan perempuan, otak dan benda, objektif dan subjektif, rasional dan emosional (Shiva, 1997, 21). Dikotomi seperti ini bukan hanya penuh semangat tetapijuga sangat kejam, penuh eksploitasi. Hal ini terlihat dari istilah-istilah yang digunakan Bacon dalam mengembangkan metode penelitian empiris barunya tersebut, seperti: alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan, dan dijadikan budak. Alam harus dimasukkan ke dalam kerangkeng, dan tujuan ilmuwan adalah mengambil rahasia alam secara paksa. (Capra, 1997; 55).
Transformasi pemaknaan alam yang harmonis dan integratif menjadi benda mati, dan dimanipulasi ini terjadi secara radikal setelah revolusi ilmiah dicetuskan oleh Baconyang disebut sebgai Bapak ilmu pengetahuan modern . Perubahan ini semakin kokoh dan mengakar ketika Descartes dan Newton menyempurnakan teori Bacon ini terlebih setelah August Comte mengemukakan teori positivismenya.
Metode Descartes bersifat analitik, meragukan segala sesuatu yang dapat diragukannya -- semua pengetahuan tradisional (mistik, spiritualitas, religi), kesan inderawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun – hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukannya lagi, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Dengan hal ini, dia sampai pada pernyataannya yang terkenal, “cogito ergo sum”, saya berpikir maka saya ada. Dari sini Descartes menyimpulkan bahwa essensi manusia terletak pada pikirannya, dan bahwa semua bendayang dapat kita tangkap secara jelas adalah benar. Konsepsi yang demikian itu – konsepsi pikiran murni dan penuh perhatian – disebutnya sebagai intuisi, dan dia menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju kepada pengetahuan kebenaran pastiyang terbuka bagi manusia kecuali intuisi yang jelas dan deduksi yang diperlukan. Dengan demikian pengetahuan yang pasti itu diperoleh melalui intuisi dan deduksi, dan inilah alat-alat yang digunakan oleh Descartes dalam usahanya membangun kembali bangunan pengetahuan di atas pondasi yang kuat.
Pandangan Descartes tentang organisme hidup tidak lebih dari sekedar mesin. Dia membandingkan binatang dengan sebuah jam yang tersusun dari roda gir dan pegas. Dia kemudian mempertegas perbandingannya dengan tubuh manusia: Saya menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin, orangyang sakit sama halnya dengan jam yang rusak dan orang yang sehat sama halnya dengan jam yang bekerja dengan baik (Hoodbhoy, 1992; 43). Pandangan mekanistik terhadap organisme ini membawa sains kepada keangkuhan reduksionisme.
Paradigma mekanistik-reduksionistis ini semakin melesat di bawah bendera mekanika Newton yang memahami alam sebagai mesin kosmik raksasa yang bersifat kausal dan tetap. Sains modern semakin angkuh ketika August Comte mengemukakan gagasan positivismenya. Positivisme Comte, sebagaimana ditulis Delgaauw (1989, 165) menerima ilmu pengetahuan positif sebagai titik tolak pemikiran kefilsafatan, dan menolak pengetahuan batiniah sebagai titik tolak atau sumber bagi pengetahuanyang manapun. Tetapi dalam hal ini yang penting bukanlah fakta ilmiahnya sebagai fakta ilmiah, melainkan pengetahuan tentang kesadaran manusia yang dapat diberikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan positif. Belajar mengenal kesadaran tersebut tidak melalui refleksi batiniah melainkan dari karyayang dihasilkannya: berbagai ilmu positif.
Para tokoh agama menganggap paradigma sains di atas membawa sains kering akan nilai-nilai religi atau spiritualitas; sains yang mengancam kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia; dan sains positif yang tidak mampu merespon bahkan menjawab persoalan-persoalan mistik dan ultimate questions. Sampai sekarang kebanyakan ahli filsafat, ilmuwan, sosiolog, dan antropolog, baik Barat maupun non-Barat, menempatkan persoalan-persoalan supranatural dan mistik, bahkanreligi dalam relung “tradisional” dan irasional. Sebaliknya, ilmu modern secara unik dinyatakan sebagai natural, material, empiris, dan rasional. Sesuai dengan metode ilmiah yang abstrak, para ilmuwan dipandang sebagai orang yang menyajikan pernyataan-pernyataan yang sejalan dengan kenyataan-kenyataan dalam dunia yang dapat diamati secara langsung, dan secara langsung pula dapat diperiksa kebenarannya.
Dipihak lain, para tokoh agama dan penganut mistik menganggap bahwa sains dan teknologi bukanlah persoalan dan bidang garapan mereka. Bahkan secara ekstrim mereka antipati terhadap sains (sebagai contoh adalah penghukuman Galileo Galilei oleh kalangan Gereja), sains dianggap sebagai gurita yang setiap saat mengancam atau menggugat kepercayaan keagamaan serta menggusur kemampuan tradisional dan mistik yang sudah sekian lama mengiringi masyarakat dalam menyelesaikan problem keseharian. Di samping itu, sains juga tidak pernah memberikan jawaban dan tidak mampu memberikan solusi atas ultimate question (misalnya: tentang kematian, ketuhanan), bahkan cenderung membuat permasalahan-permasalahan baru.
Apakah memang sains dan religi tak bisa disatukan (bersama-sama) dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan, akankah mereka terus berdiri di menara gadingnya masing-masing. Sementara sejak dua-puluh tahun terakhir abad ke duapuluh, manusia berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini.
Umat manuisa telah menimbun puluhan ribu senjata nuklir yang siap diluncurkan kapan saja, dan yang tidak kalah bahayanya, yang menjadi sumber kecemasan rakyat kecil adalah sampah dan bocoran radiasi nuklir dari pabrik senjata ataupun reaktor. Anehnya para elit politik atau negarawan justru lebih senang mengucurkan tiga kali lipat anggaran demi pembuatan dan perlombaan nuklir tersebut. Sementara, lebih dari lima belas juta orang – sebagian besar diantaranya anak-anak – meninggal karena kelaparan setiap tahunnya, dan lima ratus juta lainnya kekurangan gizi.
Secara lebih rinci, berbagai kekerasan sains modern yang membawa manusia pada krisis multisegi dikemukakan oleh Shiva (1997; 34) di bawah ini:
a. Kekerasan Terhadap Masyarakat Pinggiran. Perempuan, masyarakat kesukuan, dan kaum tani sebagai subjek pengetahuan secara sosial, melalui pemisahan ahli-bukan ahli, yang mengubah mereka menjadi kaum tidak berpengetahuan bahkan dalam bidang-bidang kehidupan dimana mereka adalah ahli yang sesungguhnya melalui partisipasinya sehari-hari serta tanggung jawab praktek dan tindakan berada pada mereka seperti dalam sistem kehutanan, pangan, dan air.
b. Kekerasan Terhadap Alam. Objektivikasi alam sebagai kajian ilmu modern, mengakibatkan rusaknya integritas alam, baik dalam proses persepsi maupun manipulasi. Alam dianggap sesuatu yang harus di eksploitasi, dimanfaatkan habis-habisan, tanpa kepedulian akan kelestariannya.
c. Kekerasan Kepada yang Diuntungkan Pengetahuan. Dengan pernyataan ilmu modern bahwa masyarakat pada umumnya merupakan penerima keuntungan pengetahuan ilmiah, mereka – terutama kaum miskin atau pinggiran—adalah korban terburuk akibat perampasan potensi produktif dan sistem pendukung kehidupan mereka.
d. Kekerasan pada Pengetahuan. Agar dapat diakui sebagai satu-satunya pola pengetahuan yang sah, yang secara rasional lebih tinggi daripada pola-pola pengetahuan alternatif, maka ilmu modern melakukan kekerasan terhadap ilmu sendiri. Ilmu reduksionis (ilmu modern) menyebutkan sistem pengetahuan organik sebagai tidak rasional dan menolak sistem-sistem kepercayaan pihak-pihak lain tanpa evaluasi rasional yang menyeluruh. Pada saat yang sama, ia melindungi diri dari jajahan dan penyelidikan atas mitos-mitos yang telah diciptakannya dengan memberikan kesucian baru pada dirinya sendiri yang melarang adanya pertanyaan sifat ilmiahnya.

1. Perumusan Masalah
Pembicaraan mengenai alam tidak akan dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kemanusiaan dan ketuhanan, atau kaitan ketiganya dikenal dengan kosmo-antropo-teologis. Keprihatinan terhadap alam akibat kekerasan sains, berarti keprihatinan terhadap kemanusiaan, agama, ataupun spiritualitas, begitu juga sebaliknya. Sayangnya antara para tokoh agama dan ilmuwan, kurang merespon keterkaitan dimensi-dimensi tersebut. Sedangkan pengkajian dan perumusan paradigma baru sains adalah kebutuhan mendesak untuk mencoba mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkannya. Masalahnya sekarang:
a. mengapa sains dianggap sebagai sumber krisis multisegi;
b. bagaimanakah relasi antara sains dan religi;
c. dapatkah relasi keduanya menggagas paradigma baru sains; dan
d. paradigma baru sains yang bagaimanakah yang, harus dikaji dan dirumuskan.

2. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian yang membahas relasi antara sains dan religi dalam perpektif filsafat ilmu dalam rangka pencarian paradigma baru sains belum pernah dilakukan dalam penelitian sejenis (tingkat skripsi). Beberapa yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:
a. Karya Greg Soetomo mengenai “Sains dan Problem Ketuhanan”, di sini Greg Soetomo menitikberatkan pada perspektif filsafat ketuhanan.
b. Karya Nana Ahmad Hanafi mengenai “Kosmos dalam perspektif sains dan religi”, di sini ia melihat relasi sains dan religi dalam kaitannya dengan kosmos.
c. Karya M. Agus Widiyanto mengenai “Konsep Filsafat Sains dalam Konteks Peradaban Islam”. Penelitian ini mengkaji sains dalam peradaban Islam dan mencoba mencari paradigma sains Islam dalam hubungannya dengan Islamisasi sains.

3. Faedah yang Diharapkan
Faedah yang diharapkan dalam penelitian ini diantaranya adalah:
a. Bagi perkembangan Ilmu. Memberikan kerangka perspektif baru dalam menjawab perkembangan zaman dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
b. Bagi perkembangan filsafat. Membuka cakrawala filsafat, khususnya filsafat ilmu agar lebih dinamis menanggapi potensi kemanusiaan, dengan mengembangkan dialog, khususnya dengan religi dan tradisi spiritulisme.
c. Bagi penulis pribadi. Penelitian ini paling tidak dapat melatih penulis untuk menarik persoalan riil dalam masyarakat ke dalam refleksi filosofis dalam upaya pemberian alternatif pemecahannya.

B. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan;
1. Mengangkat persoalan-persoalan sains ke dalam refleksi filosofis.
2. Mengkaji relasi antara sains dan religi.
3. Mengkaji kemungkinan perumusan paradigma baru sains.

C. Tinjauan Pustaka

Di tahun-tahun terakhir ini, telah timbul keinginan yang terus meningkat untuk mengumumkan bahwa sains --maksudnya sains modern konvensional-- telah mati secara filosofis, walaupun belum secara klinis. Katanya, penyebab kematian itu, adalah bunuh diri. Alatnya adalah sebuah perangkat temuannya sendiri yang disebut fisika kuantum (Hoodbhoy, 1996; 45).
Peristiwa pembunuhan terhadap sains yang kemudian membidani kelahiran dan kematian kembali sains oleh sains itu sendiri adalah hal yang semestinya dalam dunia keilmuwan. Dalam konteks yang lebih luas Hegel memahaminya sebagai dialektika:
Di dalam sejarah umat manusia pada suatu masa pemikir menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian umat manusia menjadi peserta dalam idea mutlak, yaitu keilahian. Pada hakikatnya idea yang berpikir ini merupakan suatu kegiatan, suatu gerak. Hanya saja gerak perlawanan secara silih berganti. Tetapi secara demikian berdasar tesa dan antitesa timbul suatu gerak baru yang mencakup kedua gerak sebelumnya, dalam suatu jenjang lebih tinggi, sebagai sintesis. Proses ini yang berlangsung menurut hukum-hukum akal budi, oleh Hegel disebut sebagai dialektika….di dalam gerak dialektika itulah mau tak mau dapat dipahami gerak kesadaran dan sejalan dengan itu juga gerak alam dan gerak sejarah (Delgaauw, 1992; 140).

Dalam ranah sains Thomas Kuhn menyebutnya sebagai revolusi sains. Menurut Kuhn (1989; 100), revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang lagi-lagi terbagi pada subdivisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi befungsi secara memadai. Mengenai hal ini Chalmers (1983; 94) menggambarkan bahwa revolusi sains merupakan suatu skema yang open-ended, artinya, sebuah akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut, dengan alur: pra ilmu ? normal science ? krisis ? revolusi ? normal science baru ? krisis baru, dan seterusnya.
Normal science yang dimaksud Kuhn (1989; 11) adalah riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek selanjutnya. Dimana dalam revolusi sains ini tidak dapat dilepaskan dari adanya suatu paradigma sains. Paradigma yang dimaksud Kuhn adalah beberapa contoh praktek ilmiah nyata (aktual) yang diterima --misalnya, dalil, term, penerapan, dan instrumenatsi-- yang memberikan model-model dan menjadi sumber tradisi-tradisi koheren partikular riset ilmiah (Soetomo, 1998; 22).
Di penghujung abad XX, manusia merasakan krisis global yang diderivasikan dari paradigma sains yang dibangun sejak renaissance. Paradigma reduksionis-positivis dianggap gagal menjawab kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia. Di sinilah Kuhn (dalam Soetomo, 1998; 21) menyarankan untuk kembali mengkaji sejarah ilmu dan berguru darinya. Karena historisitas adalah karakteristik dasar alam, dan ilmu itu sendiri adalah kondisi sejarah, sebagaimana Ian Barbour menulis:
Historicity is a basic characteristic of nature, and science it self is historically conditioned (Barbour, 1990; 220).

Terhadap krisis multisegi di atas Capra menawarkan pendekatan holistik-kesisteman (Lasiyo, 1997; 3) yang berkaca dari tradisi taoisme. Menurut Capra (1997; 36) terminologi Yin – Yang sangat bermanfaat dalam analisis keseimbangan kultural yang mewakili pandangan ekologis yang luas, suatu pandangan yang bisa juga disebut pandangan sistem, dalam pengertian kesalinghubungan dan kesalingtergantungan semua fenomena, dan dalam kerangka ini yang dimaksud dengan sistem adalah suatu keseluruhan terpadu yang sifat-sifat tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat dari bagian-bagian yang lebih kecil. Organisme hidup, masyarakat, dan ekosistem semuanya adalah sistem.
Dalam buku “Menyatu dengan Semesta: Menyingkap Batas Sains dan Spiritualitas” yang merupakan rekaman diskusi antara Fritjof Capra, David Steindl-rap, dan Thomas Matus, dengan menyepakati istilah “belonging” (kemenyatuan), mereka berpendapat agar manusia menyatu dengan alam. Sementara ini sains memandang manusia di luar alam sehingga alam harus dieksploitasi habis-habisan. Dengan belonging ini manusia bukan lagi dianggap berada di luar alam, tetapi di dalam alam, dalam suatu keasatuan.
Sementara itu, seorang tokoh ekofeminisme,Vandana Shiva, menyodorkan prinsip feminitas, sebagai the sustenance perspective, yakni prinsip yang diperlukan bagi kehidupan, adalah prinsip yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan (Mansour fakih, 1997; xxi). Prinsip feminin menjadi kategori penentang dalam cara-cara tanpa kekerasan untuk memandang dunia, dan dalam bertindak untuk menopang semua kehidupan dengan memelihara, keterkaitan dan keseragaman alam. Prinsip feminin memungkinkan peralihan ekologis dari kekerasan ke tanpa kekerasan, dari perusakan ke kreativitas, dari proses-proses anti kehidupan ke proses memberi kehidupan, dari keanekaragaman dan memilah-milah serta reduksionisme ke keutuhan dan kompleksitas (Shiva, 1997; 19-20). Feminitas sebagai suatu prinsip tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Demikian pula maskulinitas, tidak serta merta dimiliki laki-laki. Artinya tidak ada batasan biologis untuk sebuah prinsip.
Bertolak dari gagasan memanusiakan teknologi (sains), Alan R. Drengson sebagaimana dikutip Inocencio Menezes (1986; 75) mengatakan bahwa sekarang teknologi berada dalam tahap appropriate technologi. Tekanan dalam tahap ini adalah keserasian antara teknologi dengan kepentingan manusia dan integritas ekosistem. Juga digarisbawahi bahwa teknologi harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi tuntutan-tuntutan berikut ini: (1) teknologi harus beraneka ragam, supaya bisa memungkinkan banyak alternatif atau pilihan untuk individu maupun perkembangan sosial, (2) Harus ada interaksi yang serasi antara manusia, mesin-mesin, dan biosfer. Ini syarat mutlak untuk mempertahankan sistem ekonomi yang stabil di masa mendatang, (3) Teknologi harus baik secara termodinamis untuk menghasilkan dan menggunakan energi serta untuk mengimbangi semua kerugian baik ekonomis maupun ekologis, (4) Teknologi harus bersifat promotor perkembangan manusia yang menggunakannya. Berarti proses teknologi harus lebih menopang hidup daripada mengancamnya. Maka appropriate technologi merupakan pandangan filsafat yang paling menyeluruh karena bisa melibatkan subjek dan objek bersama dalam rasa tanggung jawab dan dalam interaksi timbal bailk. Pada tahap ini ada keseimbangan antara perkembangan pribadi serta sosial yang terus menerus dan prinsip-prinsip ekologis.
Untuk memperjuangkan satu masyarakat baru sebagai konsekuensi masyarakat industri modern -- demikian Marcuse menyebut sains modern – yang satu dimensi, Herbert Marcuse dalam bukunnya One Dimensional Man mengajukan dua hal. Pertama, perlu sedapat mungkin orang mengurangi kekuasaan (the reduction of power): kekuasaan politik, ekonomi, pendeknya konsentrasi kekuasaan dalam sistem dimana orang terkurung sekarang ini. Kedua, Perlu orang mengurangi perkembangan yang berlebih-lebihan (the reduction of overdevelopment). Ini berarti menolak kebutuhan-kebutuhan palsu yang secara artifisial dibangkitkan oleh sistem produksi modern dan meninggalkan semua usaha untuk semakin meningkatkan mutu kehidupan (the standard of living) (Bertens, 1981; 213).
Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri modern sebagai sesuatu yang mengerikan atau tidak berguna. Ia tidak mau kembali ke keadaan asali (artinya keadaan pra ilmiah dan pra teknologis), seperti halnya pada Jean-Jacques Rousseau. Basis teknologis tetap perlu bagi masyarakat yang akan datang. Sebab dengan itu semua baru dimungkinkan untuk mengurangi pekerjaan dan memutuskan semua kebutuhan. Ilmu pengetahuan dan teknik tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga timbul masyarakat yang kualitatif lain (Bertens,1981; 212).
Sementara itu Jacques Ellul menawarkan tiga tahap alternatif jalan keluar. (1) Realisme. Kaum intelektual menawarkan peranan penting dalam mengusahakan desakralisasi dan membangun realisme. Ellul mengatakan bahwa orang harus menghancurkan berhala-berhala modern, melepaskan mitos terhadap berbagai ilusi, menghadapi sejarah yang berdarah. Kita sering mendewa-dewakan teknologi, pendidikan, dan politik; sikap pendewaan seperti inilah yang memperbudak kita. (2) Perubahan diri. Hal ini harus diusahakan secara pribadi oleh setiap orang dengan kepekaan khusus yang tidak ada pada masyarakat teknologi sebagai keseluruhan. Perubahan sosial hanya terjadi melalui orang-orang yang sudah memiliki suatu kesadaran yang cerah. Upaya untuk meraih kekuasaan sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan apapun. Kebangkitan dan dampak pribadi manusialah yang dapat menghancurkan tirani teknologi. Yang dicari Ellul adalah orang-orang yang hidup lurus dan memiliki kepribadian asli. (3) Tindakan nyata. Kalau kesadaran akan realisme dan perubahan diri sudah tercapai, maka dibutuhkan suatu tindakan nyata. Program-program yang sudah jadi, tinggal pakai, tidak lain merupakan suatu bentuk penindasan yang baru, karena mencegah seseorang untuk menciptakan suatu pola hidup yang bebas. Ellul menolak membangun model-model kelakuan yang statis dan mendesak orang supaya mencari sendiri arti keterlibatannya dalam masyarakat modern, serta menentukan sendiri bentuk tindakannya. Ia mencontohkan, membentuk pusat-pusat oposisi atau arena debat, dan mendorong pluralitas (Menezes, 1986; 66-69).
Menurut Michel Foucault, dalam episteme (sistem pemikiran) abad modern, manusia mempunyai struktur organisnya sendiri yang dikuasai oleh hukum-hukum internal. Manusia tampil dengan wujud manusianya, dalam kepadatannya, dengan ciri kebendaannya sendiri: sebagai subjek yang mengetahui sekaligus objek yang diketahui yang dilihat sebagai makhluk yangberbicara, hidup, dan bekerja, sekaligus yang ditentukan menurut hukum-hukum produksi (Susilo, 1993; 84). Dengan kata lain manusia menjadi objek pengetahuan secara penuh, tapi dilain pihak manusia sebagai penemu baru akan menemui kesudahannya. Disinilah manurut Foucault manusia seharusnya kembali merenungkan keberadaan semestinya dalam arkeologi pengetahuan.
Kesetiaan kepada fakta yang diperintahkan oleh metode ilmiah membuat pengetahuan menjadi umum (publik) dan empiris. Dengan demikian ilmu tidak dapat didamaikan dengan transendentalisme dalam bidang yang manapun, sebab pengetahuan yang dapat dibedakan dari kepercayaan adalah didasarkan pada fakta yang telah terbukti kebenarannya, sementara apa yang oleh transendentalisme dinyatakan sebagai kebenaran berada diluar jangkauan pengujian dengan pengalaman. Dengan pertimbangan yang sama, mistisisme pun asing bagi semangat dan metode ilmu pengetahuan. Pengalaman mistikus bisa saja, dan memang sudah pernah, dijadikan pokok keingintahuan dan penelitian ilmiah. Penelitian seperti itu dapat menyingkapkan cara kerja pikiran manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi hal itu berbeda sama sekali dengan menyatakan bahwa penafsiran sang mistikus mengenai pengalamannya sebagai penyatuan dengan Yang Ilahi sahih dari segi ilmiah. Dalam ketiadaan pengetahuan positif yang cukup memadai, kebanyakan orang di masa lampau telah menyalahtafsirkan sejumlah fenomena lain, seperti penyakit ayan, wabah penyakit, gerhana, dan kemunculan komet. Kebenaran yang menurut pengakuan mistikus telah dialaminya adalah sama benarnya dengan tafsiran kolot tentang gerhana matahari (Shah, 1986; 93).
Feyerabend mengkritik pandangan Lakatos tentang kesuperioran sains dibanding persoalan agama, spiritualitas, dan mistik, dengan mengatakan:
Having finished his “reconstruction” of modern science. He (Lakatos) turns it against other fields as if it had already been established that modern science, is superior to magic, or Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shred of an argument of this kind, “rational reconstructions” take “basic sciencentific wisdom” for granted, they do not show that it is better than tha “basic wisdom” of witches and warlocks (Feyerabend, 1979; 203).

(Setelah menyelesaikan rekonstruksi-nya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih superior/unggul daripada sihir atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada sedikit pun argumentasi yang dikemukakan. Rekonstruksi rasional menganggap kearifan ilmiah sebagai sesutu yang sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik daripada kearifan para ahli sihir dan tukang-tukang sulap).

Negara juga berperan terhadap posisi ilmu yang superior dari agama. Negara menjadikan ilmu sebagai bagian dari perkembangan negara tersebut, sementara agama diserahkan pada penganut maupun institusi agama itu sendiri. Mengenai hal ini Feyerabend menulis:
Thus, while an American can now choose the religion he likes, he still not permitted to demand that his children learn magis rather than science at school. There is a separation between state and church, there is no separation between state and science (Feyerabend, 1979; 299)

(Jadi bila seorang Amerika kini dapat memilih agama yang disukai, ia tetap tidak diperkenankan untuk meminta anak-anaknya belajar sihir ketimbang ilmu di sekolah. Ada pemisahan antara negara dan gereja, tetapi tidak ada pemisahan antara negara dan ilmu)

Hal tersebut disebabkan karena ilmu telah menjerat secara ideologis dan propagandis dalam kehidupan masyarakat. Upaya melepaskan diri dari jeratan ilmu merupakan kebutuhan yang mendesak, agar tradisi spiritualitas kembali berjalan dengan normal dalam masyarakat, sebagaimana Feyerabend menulis:
Let us free scienty from the strangling hold of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us from the strangling hold of the one true religion (Feyerabend, 1979; 307)

(Marilah kita bebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membantu secara ideologis, persis seperti nenek moyang kita yang membebaskan kita dari kungkungan agama satu-satunya yang benar)

E. Landasan Teori

Pemfalsifikasian terhadap religi dan mistik dengan indikator ilmiah milik sains, jelas merupakan sesuatu yang tidak adil (fair) ?Vandana Shiva menyebutnya sebagai “kekerasan terhadap pengetahuan dan ilmu yang lain”. Hal ini akan menimbulkan “ilmu yang unggul terhadap ilmu yang lain”. Kalau sudah seperti ini, akan terjadi perang klaim keunggulan pengetahuan atau ilmu dengan menggunakan standar ganda, adalah standar bahwa yang lain itu lebih rendah atau salah sedangkan dirinyalah yang paling unggul atau benar. Dengan demikian pemfalsifikasian kurang tepat bahkan cenderung merupakan kekerasan.
Dalam sejarah sains, paradigma sains sebagai sesuatu yang merohani dalam kehidupan dan perkembangannya, selalu berdialektika dengan semangat zamannya. Dialektika tersebut akan menghasilkan siklus revolusi sains, ketika sains yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zamannya. . Paradigma sains modern telah membunuh potensi kemanusiaan yang lain – selain rasio – dalam kaitannya dengan sumber pengetahuan, terutama pengetahuan dan kemampuan intuitif, yang pada saat ini menghasilkan berbagai krisis, sehingga diperlukan revolusi sains di atas. Manusia sebagai kesatuan total akan dimensi rasional-intuitif ataupun jiwa-badan, selayaknyalah memfungsikan secara total potensi kemanusiaannya untuk mengetahui, sehingga akan didapati pengetahuan yang lebih komprehensif, bukannya reduksionis.

F. Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian
Penelitian ini mengambil bahan dari Buku, artikel, media massa, jurnal, Internet, Film, dan Novel. Buku-buku yang memuat kajian tentang sains, religi, dan paradigma baru sains antara lain: “Religion in an Age of Science”, “Myths, Models, and Paradigms” karya Ian Barbour; “The New Story of Science, Mind and The Universe” karta Augros dan Stanciu; “Axiology: The science of Values” karya Archie Bahm; “The Structure of Scientific Revolution” karya Thomas Kuhn; “Science Without Bound, A Synthesis Science, Religion, and Mysticism” Karya Arthur J. D’Adamo, dan berbagai sumber lain (yang disebutkan di atas) yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Pencarian bahan dari internet dengan memulai dari situs-situs induk seperti: www.yahoo.com, www. google.com, www.altavista.com, www.bgsu.edu/pdc (philosophy documentation centre). Film dan novel sekedar sebagai pemompa inspirasi dan refleksi filosofis lebih jauh, film yang berkaitan dengan tema tersebut misalnya: “The Hollow Man”, “Contact”, “The 6th Day”, “Phyton”, sementara novel yang berkaitan dengan tema ini misalnya “Celestine Prophecy”, dan “The 10th Insight” karya James redfield.

2. Jalan Penelitian
Langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini:
a. Pengumpulan bahan. Bahan yang berkaitan dengan berbagai media dikumpulkan.
b. Klasifikasi bahan. Bahan yang sudah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan menurut tema maupun bab yang terkait.
c. Analisis. Bahan yang telah diklasifikasikan dianalisis. Analisis terhadap bahan tersebut melalui perenungan sendiri maupun diskusi dengan kolega ataupun orang yang kompeten.
d. Penulisan. Setelah hasil analisis di evaluasi dan dikritisi ke dalam refleksi filosofis lantas dituangkan dalam penulisan.

3. Analisis Hasil
Dalam menganalisis data-data yang terkumpul penulis menggunakan metode di bawah ini:
a. Interpretasi. Dalam metode ini penulis berupaya menerobos, memahami data-data, peristiwa atau situasi problematis.
b. Holistika. Dengan metode ini, penulis menggabungkan atau mengumpulkan berbagai pemikiran atau konsep untuk menuju suatu keseluruhan visi.
c. Koherensi intern. Dengan metode ini, penulis berusaha memahami hakikat manusia dalam kaitannya dengan potensi kemanusiaan, khususnya sumber-sumber pengetahuan manusia.
d. Heuristika. Dengan metode ini penulis berupaya menemukan jalan baru untuk memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini.
e. Deskripsi. Dengan metode ini penulis mencoba menguraikan secara umum dan teratur refleksi penulis.
f. Metode Anarkisme Pengetahuan Feyerabend.
1. Prinsip pengembangbiakan. Dengan prinsip ini penulis menghindari keterjebakan dalam kerangka atau sistem pemikiran tunggal. Artinya, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif penelitian ini akan mengikuti perkembangan yang terjadi selama proses penelitian, bukannya pembatasan atau reduksionisme. Jadi memungkinkan adanya pluralitas teori.
2. Prinsip apa saja boleh. Dengan prinsip ini penulis mengantisipasi keterbatasan metode-metode di atas dan menghindari penelitian yang terkungkung oleh metode yang sudah ditentukan. Namun demikian, metode di atas bukan berarti tidak diperlukan, tapi dijadikan prioritas pertama.

F. Hasil yang Akan Dicapai

Hasil yang ingin di capai dalam penelitian ini:
1. Mengetahui keterbatasan paradigma sains modern.
2. Memperoleh gambaran tentang relasi sains dan religi dalam bingkai filsafat ilmu.
3. Memperoleh pemahaman baru dengan merefleksikan paradigma baru sains.

G. Sistematika Penulisan

Demi tercapainya suatu pemahaman yang lebih runtut, mudah dan integral, skripsi ini dibagi dalam lima bab.
Bab I, Pendahuluan membahas tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai dan sistematika penulisan.
Bab II, menguraikan struktur ilmu yang meliputi batasan dan ruang lingkup filsafat ilmu, sejarah perkembangan filsafat ilmu, dan asumsi keilmuan.
Bab III, menguraikan tentang sains dan religi yang meliputi pengertian dan historisitasnya, juga membedah struktur sains dan religi.
Bab IV, membahas persamaan dan perbedaan sains dan religi, kritik timbal balik antara sains dan religi, redefinisi sains, dan struktur sains baru.
Bab V, berisi kesimpulan dan saran.
Pada bagian akhir terdapat daftar pustaka yang merupakan daftar referensi baik yang dikutip secara langsung maupun tidak, dan sebagai acuan bagi pembaca yang tertarik untuk meneliti persoalan dalam skripsi ini lebih lanjut.
KESALEHAN MENURUT JOHN CALVIN DAN IMPLIKASINYA BAGI ORANG PERCAYA

* View
* clicks

Posted May 15th, 2008 by Goodson

* Theologia

abstraks:

Kesalehan sebenarnya merupakan sebuah istilah yang masih samar dipahami oleh kebanyakan orang. Namun meskipun keseragaman pemikiran mungkin tidak dapat dicapai, setidaknya ada dua pandangan umum dalam kekristenan yang dapat mewakili aspirasi kita tentang makna kesalehan ini. Pertama, istilah kesalehan secara konkrit dihubungkan dengan orang yang lebih banyak menghayati imannya dengan cara bermeditasi, kontemplasi, rajin berdoa atau berpuasa. Orang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang saleh karena memiliki hubungan yang akrab dengan Allah.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kesalehan sebenarnya merupakan sebuah istilah yang masih samar dipahami oleh kebanyakan orang. Namun meskipun keseragaman pemikiran mungkin tidak dapat dicapai, setidaknya ada dua pandangan umum dalam kekristenan yang dapat mewakili aspirasi kita tentang makna kesalehan ini. Pertama, istilah kesalehan secara konkrit dihubungkan dengan orang yang lebih banyak menghayati imannya dengan cara bermeditasi, kontemplasi, rajin berdoa atau berpuasa. Orang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang saleh karena memiliki hubungan yang akrab dengan Allah.
Pandangan kedua menitikberatkan pada bagaimana manusia menyatakan kehidupan berimannya melalui kelakuan hidupnya, khususnya dalam kehidupan beragama. Dalam hal iniorang saleh diidentikkan dengan orang Kristen yang rajin ke gereja, rajin berbuat baik terhadap sesama, dan hidup sesuai dengan standar kekristenan yang berlaku. Kedua pandangan di atas mengedepankan dua aspek yang tersirat dibalik istilah kesalehan, yakni aspek batiniah dan lahiriah. Dengan demikian kesalehan berkaitan dengan nilai-nilai rohaniyang terkonvigurasi dalam tindakan religius.
Rentangan sejarah gereja menyaksikan bahwa pada umumnya usaha untuk memahami dan mempraktekkan kesalehan, merupakan reaksi terhadap doktrin gereja dalam realitas konteksyang ada. Ketidakpuasan terhadap apa yang ditawarkan gereja menumbuhkan sikap skeptis dan pesimis terhadap kekristenan. Orang percaya cenderung memilih jalan lain di luar gereja yang diyakini mampu memberikan kepuasan batin baginya. Sementara gereja tertantang untuk memberikan solusi, namun tanpa dibarengi pertimbanganyang komprehensif, sehingga cenderung menyesuaikan diri dengan konteks yang ada dan akhirnya kehilangan arah.
Gereja mula-mula yang bercorak Yudaisme mengembangkan suatu bentuk kesalehan yang berdasar pada ketaatan melakukan Hukum Taurat. Sikap ini berangkat dari pergumulan batin berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh komunitas tersebut, sepanjang masa penantian mereka akan kedatangan Mesias. Maka solusi yang didapat adalah, jika seseorang ingin mendapat bagian dalam kerajaan Mesias berarti ia harus memenuhi tuntutan Hukum Taurat.2 Secara lahiriah kelihatannya kelompok ini mampu menunjukkan sikap hidupyang benar dan saleh. Namun sebenarnya corak antroposentris yang lebih ditonjolkan. Akibatnya, kesombongan rohani dan eksklusifisme menjadi mentalitas gereja.
Di sisi lain, inkapabilitas Gereja Yunani abad mula-mula dalam menjawab sejumlah pertanyaan seputar kebutuhan manusia akan tujuan hidup dan dunia akhirat, serta inkulturasi budaya membawa manusia di ambang kebingungan akan standar hidup, moral dan agama. Kondisi ini mengakibatkanorang Kristen kemudian menyenangi agama-agama Timur yang baru mereka kenal. Agama-agama baru yang paling menonjol adalah pantheisme dan dualisme,3 yang sebenarnya merupakan penjabaran dari pengajaran para filsuf Yunani seperti Plato, Stoa dan Epicurus. Selanjutnya muncullah praktek-praktek kesalehan baru melalui beraskese dan berekstase4yang bertujuan mencapai kebahagiaan batin melalui usaha manusia.5
Nuansa baru kesalehan yang ditawarkan ini sebenarnya merupakan tradisi kuno bangsa kafir yang di daur ulang oleh para filsuf. Unsur-unsur magis sangat kental di sini, maka tak pelak lagi sinkritisme pun terjadi. Hal ini diteruskan dalam Gereja Roma Katolikyang begitu mudah mencampur-adukan ajaran Injil dengan cita-cita mistik. Gereja perlahan mengorbankan kesuciannya dan mulai kompromi dengan filsafat dunia. Salah satu contohyang cukup mencolok adalah perkawinan gereja-negara6 pada abad pertengahan. Gereja selanjutnya mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kekuasaan sosial dan politik.7
Kondisi di atas menghadirkan kesuraman spritual yang menstimulus munculnya pergeseran paradigma terhadap dunia yang diciptakan Allah. Hal ini membawa perubahan sikap dalam diri orang percaya, di mana menjalankan aktifitas sehari-hari dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Christian de Jonge melukiskan kondisi tersebut demikian: “Pada Abad Pertengahan kehidupan di dunia ini dinilai negatif.Orang Kristen yang sejati melarikan diri dari dunia, umpamanya ke biara, dan melepaskan semua hal yang berhubungan dengan dunia, terutama kekayaan dan uang”.8
Kehidupan biara sangat digandrungi karena dianggap sebagai tujuan utama dari kekristenan. Kesalehan pun identik dengan sikap pengecutyang mengungkung orang percaya dalam komunitas monastik. Orang tidak mau peduli lagi dengan keberadaan dunia sekitar dan hanya mementingkan kesalehan pribadi.
Lebih lanjut, dalam menanggapi mentalitas gereja yang demikian, J.I Packer merujuk kepada filsafat hedonisme yang dianggap sebagai salah satu akar dari kompensasi yang ditimbulkan di atas. Hal ini dijelaskan dalam buku Rencana Allah bagi Anda sebagai berikut:
Dunia Romawi-Yunani abad pertama dan sesudahnya sangat dicengkeram oleh mentalitas mengejar kenikmatan. Karena itu tidak heran jika Perjanjian Baru dan Bapa-bapa Gereja lebih banyak menentang kenikmatanyang berdosa daripada merayakan kenikmatan yang saleh.9 Pandangan ini diturunkan ke Abad Pertengahan, yang menganggap biara sebagai bentuk tertinggi dari Kekristenan.10

Rantai Gereja yang begitu mengikat jiwa manusia dan masyarakat inilah yang sama-sama hendak diputuskan oleh Reinassance dan Reformasi. Reinassance menggugah manusia untuk kembali mengoptimalkan daya akali-falsafatinya. Tatanan agamayang ada mulai digantikan dengan perwujudan agama akali baru.11 Spirit humanisme berkembang dan akhirnya bermuara pada teologi Liberal. Humanisme menjadikan ekspresidiri, pencarian diri, kesadaran diri dan pencapaian diri sebagai sasaran utama dalam hidup.12 Tokoh humanis terkemuka dari Belanda Desiderius Erasmus menyatakan bahwa “Gereja harus semakin dipengaruhi oleh semangat humanis, supaya lama-kelamaan Gereja dapat berbalik pada kesucianyang semula.”13
Kesalehan yang sungguh bertolak belakang dengan yang apa diajarkan oleh Gereja Katolik pun mulai dikembangkan. Jika sebelumnya orang disibukkan dengan usaha-usaha untuk mencapai kesalehan pribadi melalui pengasingan diri, maka dalam masa-masa ini orang disibukkan oleh kesenangan pribadi. Kesalehan kembali mengalami degradasi karena hanya berpatokan pada kenyamanan manusia belaka. Segala hal yang dapat menurunkan ketegangan hidup manusia dianggap baik dan suci.14
Kontras dengan Reinassance, Reformasi mengajarkan spirit yang lain dan membuka tonggak sejarah baru bagi Gereja. Ajaran Reformasi yang sangat berpengaruh bagi kesalehan adalah sikap dalam memandang dunia ini. Dalam hal ini pandangan Gereja Katolik dikritisir dan sikap baru yang dikembangkan adalah bahwa dunia bukan lagi tempat untuk dijauhi, melainkan tempat untuk menjalankan panggilan Allah. Dualisme antara yang rohani dan duniawi mulai tergeser karena iman langsung dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, “kesalehan disekularisasikan dan kehidupan sekuler pada semua bidang dirohanikan. Dalam kegiatan duniawi kesalehan dapat dibuktikan; dalam pekerjaan biasa dapat diberi makna rohani”.15
Reformasi mampu mewujudkan kesalehan yang benar dengan jalan melihat keseimbangan akan perkara duniawi dengan perkara rohani. Dalam arah ini, Calvin merupakan salah satu reformator yang mampu memberi warna khusus dalam kesalehan. de Jonge menyatakan: “Calvin termasuk aliran Reformasi yang berbeda dengan reformasi Luther, tidak memprioritaskan reformasi ajaran melainkan reformasi kehidupan baik kehidupan gerejawi maupun masyarakat secara umum”.16 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Philip Hughes dalam bukunya A Popular History of the Reformation: “No religious teacher ever laid more stress on the holiness of God’s Law thanCalvin , and as he exalts the law so does he exalt the notion of the Church of Christ as a power the actually rules of the Christian life”.17 Hughes melihat keistimewaan ajaranCalvin yang begitu mengagungkan kekudusan Hukum Allah dan kekudusan gereja-Nya yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Kristen. Spirit Reformasi Calvin ini kemudian hari juga berkembang di Inggris dalam Gereja Puritan.
Cita-cita luhur Reformasi tidak dapat dipertahankan seiring dengan situasi zaman yang melunturkan nilai-nilai. Hal ini juga didukung oleh kekecewaan terhadap sikap gereja yang berpuas diri dengan status quo yang dikenakannya. Kondisi gereja pasca Reformasi kembali mengalami pergolakan, yang sangat berpengaruh di segala aspek kehidupan. Dualisme dan sikap negatif terhadap dunia yang ditentang oleh para reformator kembali mewarnai gereja.
Sebut saja golongan Anabaptis dan Pietisme radikal yang lahir pasca Reformasi. Golongan Anabaptis radikal menolak untuk berpartisipasi dalam bidang pemerintahan demi mengindari kompromi dalam bidang sosial dan moral.18 Sementara di sisi yang lain, Pietisme juga cenderung menolak dunia ketimbang meneguhkan dunia. Penekanan pada kesalehan pribadi yang individualis merupakan kelemahan mencolok dari paham ini.19 Realitas yang harus dihadapi Gereja dalam kurun waktu ini sangatlah tidak mudah.
Sejak memasuki abad ke-20 orang Kristen harus berhadapan dengan modernisme agama. Seiring dengan itu, modul asketis-pietis yang bermuatan teologi konservatif maupun liberal, juga ikut mewarnai zaman ini.20 Keseimbangan antara iman dan devosi (kesalehan) yang berusaha ditegakkan oleh Reformasi pada masa ini kembali didikotomikan melalui pemisahan antara yang sakral dan sekuler.21
Jika kesalehan disejajarkan dengan yang sakral atau rohani atau religius, maka masihkah kesalehan dapat dipertahankan dalam konteks dunia yang sekularistik dan modernisme ini? Apakah menarik diri sekuat mungkin dari dunia merupakan pilihan yang tepat dalam memelihara iman dan kesalehan hidup kita; ataukah kita berusaha menembus yang sekuler dalam semua levelnya dengan bertolak pada perspektif Kristen? Masih adakah harmonisasi antara penghayatan kehidupan beriman secara batiniah maupun lahiriah dalam konteks dunia masa kini? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak sebagian besar orang Kristen tersebut, maka penulis tertarik mengangkat judul “Kesalehan Menurut John Calvin dan Implikasinya Bagi Orang Percaya” dalam skripsi ini. Penulis meyakini bahwa pemahaman akan konsep yang benar akan menghasilkan suatu tindakan yang benar pula. Oleh karena itu tanpa bermaksud mengecilkan spiritualitas yang ditanamkan oleh para reformis lainnya, penulis berharap menggali kembali nilai-nilai kesalehan dalam konsep teologis yang telah ditanamkan oleh John Calvin berabad-abad silam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sebenarnya orang percaya memahami tentang kesalehan sepanjang sejarah?
2. Bagaimana Calvin memandang kesalehan dan mendaratkan teologinya tersebut?
3. Hal-hal konkrit apa yang telah dilakukan oleh Calvin dalam mendukung konsep teologis yang dibangunnya?
4. Implikasi-implikasi apa yang diperoleh oleh orang percaya sebagai konsekuensi dari penjabaran konsep Calvin tersebut ?
C. TUJUAN KAJIAN
1. Agar pembaca memperoleh pemahaman yang historis-obyektif tentang konsep kesalehan sepanjang sejarah Gereja.
2. Agar pembaca dapat memahami konsep kesalehan dalam teologi Calvin berdasarkan argumentasi doktrinalnya.
3. Agar pembaca juga dapat menemukan bukti-bukti faktual tentang penerapan doktrin kesalehan sepanjang kehidupan Calvin.
4. Agar pembaca termotivasi untuk menerapkan kesalehan yang benar dengan melihat implikasi-implikasi yang mengikuti konsep Calvin tersebut.
D. RUANG LINGKUP KAJIAN
Pembahasan penulis mengenai konsep kesalehan dalam skripsi ini dibatasi hanya pada ajaran John Calvin saja. Penulis tertarik untuk menggali dari teologi Calvin karena menurut penulis sang pemikir sistematis dan organisatoris yang terampil tersebut memiliki keunikan dan nuansa berbeda dalam teologinya, khususnya dalam membahas tentang kesalehan dibanding para tokoh Reformator lainnya.
E. METODE PENULISAN
Untuk dapat sampai kepada tujuan yang diinginkan penulis, maka dalam skripsi ini penulis memakai metode penulisan analisis, deskriptif, menyangkut didalamnya interpretasi biblika. Yang dimaksud adalah penulis akan melakukan analisa historis berkaitan dengan pemikiran terhadap kesalehan sepanjang sejarah Gereja. Setelah itu penulis akan memaparkan hasil observasi dan analisis sesuai dengan teologi Calvin, serta menyiratkan argumentasi biblika yang digunakan Calvin. Dan terakhir, guna memperkuat penelitian tersebut, penulis akan menyajikan beberapa implikasi penting yang sangat relevan bagi kehidupan kekristenan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Merupakan bagian pembuka yang didalamnya penulisan menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan kajian, ruang lingkup kajian, metodologi dan sistematika penulisan.
Bab II Merupakan ulasan tentang berbagai polemik yang timbul berkenaan dengan kesalehan. Penulis menguraikan perkembangan pemikiran tentang kesalehan ini secara sistematis berdasarkan runtutan sejarah gereja, mulai abad mula-mula sampai abad modern.
Bab III Merupakan hasil observasi penulis tentang kesalehan dalam sudut pandang teologi Calvin. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan Calvin dan teologinya. Hal-hal tersebut menyangkut sejarah ringkas kehidupan Calvin; penjabaran konsep yang berkaitan dengan: definisi, dasar dan tujuan kesalehan, yang bertalian dengan inti pengajaran doktrinal Calvin; serta memberikan gambaran nyata tentang penerapan kesalehan dalam masa hidup Calvin.
Bab IV Merupakan uraian tentang implikasi doktrinal dari ajaran Calvin tentang kesalehan. Penulis meninjaunya dari segi teologis, ekklesiologis, etis-moral dan misiologis.
Bab V Merupakan bagian penutup dimana dalam bab ini penulis menarik kesimpulan dari karya tulisnya dan memberikan argumentasinya yang logis dan obyektif terhadap pandangan tokoh yang ditelitinya. Penulis juga dalam bab ini memberikan sumbangsih bagi orang percaya melalui saran-saran yang dikemukakannya. Di sini sikap dan posisi penulis akan nampak sebagai wujud pertanggungjawaban pribadi penulis terhadap karyanya.

Fazlur Rahman dan Liberalisme Islam (di) Indonesia Oleh M. Ali Hisyam

buku_darimodernisme_k.jpgGugusan pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal (di) Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda.

Judul Buku:
Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia
Penulis:
Dr. Abd. A’la
Pengantar:
Prof. Dr. Azyumardi Azra
Penerbit:
Paramadina Jakarta, 2003 Tebal : xvi + 249 halaman (termasuk indeks)

Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.

Hari ini, kurang lebih 30 tahun setelahnya, gerakan pemikiran model ini kian berkibar dan mendapat tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Hanya saja, seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa dan berganti nama dengan “Islam liberal”. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesianis Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999). Semenjak saat itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal (Paramadina: 2001) dan digayung-sambuti dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan kontroversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan membiak ke berbagai arah.

Gugusan pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal (di) Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda. Menurut Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti Muhammadiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Salah satu contohnya adalah Abd. A’la, penulis buku ini. Secara praktis, paham Islam liberal sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan.

Sebaliknya, ia cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.

Berlatar panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’arif) sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini. Pada konteks itulah, buku ini hendak melacak sejauh mana pengaruh Fazlur Rahman terhadap pemahaman keislaman di Indonesia.

Penyingkapan akan hal tersebut, menurut A’la, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam pandangan A’la, terdapat—setidaknya—dua signifikansi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama, secara teoretis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur, kelak berhasil menjadi arus utama (mainstream) bagi gerakan pembaruan Islam berikut pembiakannya di Indonesia. Pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasannya (antara lain yang sangat menonjol adalah ide penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rekonstruktif dan “hidup”) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur pada akhirnya menawarkan alternatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran teologi (sebagian) umat Islam di Indonesia. Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”) yang disodorkannya, serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir. Penelusuran Abd. A’la dalam buku ini akhirnya bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi paradigma keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaruan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik.

Oleh karenanya, ke depan, diskursus Islam liberal di Indonesia tetap layak untuk digulirkan dan dikaji secara lebih menarik. Di tengah kondisi kehidupan manusia dalam global village ini, Islam liberal bisa hadir sebagai “mazhab” perekat solidaritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil. Pada titik inilah, karya Abd. A’la ini berperan sebagai wahana kreasi ulang (re-creation) bagi kiprah dan perjalanan pembaruan Islam di tanah air. Kini dan di masa mendatang, ia diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklim keberagamaan yang damai dan lapang. []

M. Ali Hisyam, editor buku, mahasiswa hubungan antaragama pascasarjana IAIN Yogyakarta.