KLIK EMAIL DAPAT DOLLAR, KLIK DI SINI

exclusivemails.net

Kamis, 04 Februari 2010

RELASI SAINS DAN AGAMA PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU (Sebuah Pencarian Paradigma Baru Sains)

* View
* clicks

Posted January 7th, 2009 by judeganteng

* Filsafat

abstraks:

Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat persoalan-persoalan sains ke dalam refleksi filosofis. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sains dan religi dalam bingkai filsafat ilmu, sebagai upaya pencarian paradigma baru sains.
Penelitian ini dilakukan secara studi pustaka. Tahap pertama adalah mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan objek material dan objek formal penelitian. Setelah memperoleh data yang diperlukan, kemudian data tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa kategori pembahasan. Pada tahap berikutnya data diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode: interpretasi, holistika, koherensi intern, heuristika, deskripsi, dan metode anarkhisme pengetahuan Feyerabend (Prisip Pengembangbiakan dan Apa Saja Boleh).
Pembahasan tersebut menghasilkan beberapa hal pokok. Pertama, ketegangan hubungan antara sains dengan agama terjadi sejak abad Tengah, ketika mahkamah agama menjatuhkan vonis terhadap Copernicus (1616) dan Galileo (1633). Kejadian ini menimbulkan sikap infantilisme agama, yang berlangsung sampai sekarang. Sains dianggap mengancam atau merusak kepercayaan agama dan menggusur kemampuan tradisional dan mistik, juga dianggap sebagai sumber destruktif terhadap kelestariaan alam dan manusia. Di pihak lain, menimbulkan sikap narsisisme sains. Agama dianggap sebagai musuh sains. Kebanyakan ilmuan dan filsuf menemputkan persoalan-persoalan supranatural dan mistik dalam relung tradisional dan irasional, sebaliknya ilmu modern dinyatakan sebagai natural dan rasional. Kedua, kritik timbal-balik antara sains dan agama memperlihatkan bahwa agama berpeluang untuk menjebol benteng narsisisme paradigma sains modern sambil menawarkan struktur makna yang berwawasan transhistoris, kosmis, dan etis-metafisis. Di pihak lain, refletivitas kritis sains mosern juga berpeluang untuk menggali keluhuran nilai-nilai keagamaan sebagai proses pemurnian hakikat dan peran fundamental agama. Ketiga, dialog antara sains dan agama juga dapat memperluas worldview-nya masing-masing, sebagai dasar pendefinisian kembali sains dalam paradigma sains baru. Dalam paradigma baru, sains disefinisikan sebagai pemecah masalah. Perubahan paradigma sains berarti pula perubahan atau perluasan worldview, perubahan tujuan sains, dan perubahan asumsi-asumsi keilmuan (Metafisika, epistemologi, dan aksiologi).

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebekuan akal dan matinya sains dalam abad tengah membawa ketraumaan yang mendalam bagi ilmuwan dan filsuf akan metafisika. Munculnya fajar modernitas, dengan renaissancenya, semakin dalam menguburkan dualisme Plato. Francis Bacon menyambut Organumyang dilemparkan Aristoteles dengan Novum Organumnya. Dalam teori ini Bacon menguraikan cara kerja ilmu-ilmu empiris yang induktif, artinya diperlukan metode ilmiah dalam pengetahuan. Dengan demikian Bacon merupakan orang pertama yang meletakkan dasar prosedur induktif dengan sangat jelas – membuat percobaan dan menarik kesimpulan umum dari percobaan itu, untuk diuji dalam percobaan lebih jauh – dan dengan metode ini ia sangat berpengaruh.
Teori Bacon menimbulkan perubahan yang luar biasa pada hakikat tujuan penelitian ilmiah. Sejak zaman kuno tujuan ilmu adalah untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan alam dan kehidupanyang harmonis dengan alam. Ilmu dicari demi keagungan Tuhan, atau seperti ungkapan Cina, untuk mengikuti tatanan alam dan mengalir dalam aliran Tao. Semua ini merupakan tujuan-tujuan Yin, atau bersifat integrative, atau ungkapan dewasa ini dikenal dengan sikap dasar ilmuwan adalah ekologisme. Pada abad ketujuh belas sikap ini berubah menjadi lawan kutubnya dari Yin keYang, dari integrasi ke penonjolan diri. Sejak Bacon, ilmu berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam, dan sekarang baik ilmu maupun teknologi digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali anti-ekologis (Capra, 1997; 55).
Metode Bacon mengadakan dikotomi antara laki-laki dan perempuan, otak dan benda, objektif dan subjektif, rasional dan emosional (Shiva, 1997, 21). Dikotomi seperti ini bukan hanya penuh semangat tetapijuga sangat kejam, penuh eksploitasi. Hal ini terlihat dari istilah-istilah yang digunakan Bacon dalam mengembangkan metode penelitian empiris barunya tersebut, seperti: alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan, dan dijadikan budak. Alam harus dimasukkan ke dalam kerangkeng, dan tujuan ilmuwan adalah mengambil rahasia alam secara paksa. (Capra, 1997; 55).
Transformasi pemaknaan alam yang harmonis dan integratif menjadi benda mati, dan dimanipulasi ini terjadi secara radikal setelah revolusi ilmiah dicetuskan oleh Baconyang disebut sebgai Bapak ilmu pengetahuan modern . Perubahan ini semakin kokoh dan mengakar ketika Descartes dan Newton menyempurnakan teori Bacon ini terlebih setelah August Comte mengemukakan teori positivismenya.
Metode Descartes bersifat analitik, meragukan segala sesuatu yang dapat diragukannya -- semua pengetahuan tradisional (mistik, spiritualitas, religi), kesan inderawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun – hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukannya lagi, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Dengan hal ini, dia sampai pada pernyataannya yang terkenal, “cogito ergo sum”, saya berpikir maka saya ada. Dari sini Descartes menyimpulkan bahwa essensi manusia terletak pada pikirannya, dan bahwa semua bendayang dapat kita tangkap secara jelas adalah benar. Konsepsi yang demikian itu – konsepsi pikiran murni dan penuh perhatian – disebutnya sebagai intuisi, dan dia menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju kepada pengetahuan kebenaran pastiyang terbuka bagi manusia kecuali intuisi yang jelas dan deduksi yang diperlukan. Dengan demikian pengetahuan yang pasti itu diperoleh melalui intuisi dan deduksi, dan inilah alat-alat yang digunakan oleh Descartes dalam usahanya membangun kembali bangunan pengetahuan di atas pondasi yang kuat.
Pandangan Descartes tentang organisme hidup tidak lebih dari sekedar mesin. Dia membandingkan binatang dengan sebuah jam yang tersusun dari roda gir dan pegas. Dia kemudian mempertegas perbandingannya dengan tubuh manusia: Saya menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin, orangyang sakit sama halnya dengan jam yang rusak dan orang yang sehat sama halnya dengan jam yang bekerja dengan baik (Hoodbhoy, 1992; 43). Pandangan mekanistik terhadap organisme ini membawa sains kepada keangkuhan reduksionisme.
Paradigma mekanistik-reduksionistis ini semakin melesat di bawah bendera mekanika Newton yang memahami alam sebagai mesin kosmik raksasa yang bersifat kausal dan tetap. Sains modern semakin angkuh ketika August Comte mengemukakan gagasan positivismenya. Positivisme Comte, sebagaimana ditulis Delgaauw (1989, 165) menerima ilmu pengetahuan positif sebagai titik tolak pemikiran kefilsafatan, dan menolak pengetahuan batiniah sebagai titik tolak atau sumber bagi pengetahuanyang manapun. Tetapi dalam hal ini yang penting bukanlah fakta ilmiahnya sebagai fakta ilmiah, melainkan pengetahuan tentang kesadaran manusia yang dapat diberikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan positif. Belajar mengenal kesadaran tersebut tidak melalui refleksi batiniah melainkan dari karyayang dihasilkannya: berbagai ilmu positif.
Para tokoh agama menganggap paradigma sains di atas membawa sains kering akan nilai-nilai religi atau spiritualitas; sains yang mengancam kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia; dan sains positif yang tidak mampu merespon bahkan menjawab persoalan-persoalan mistik dan ultimate questions. Sampai sekarang kebanyakan ahli filsafat, ilmuwan, sosiolog, dan antropolog, baik Barat maupun non-Barat, menempatkan persoalan-persoalan supranatural dan mistik, bahkanreligi dalam relung “tradisional” dan irasional. Sebaliknya, ilmu modern secara unik dinyatakan sebagai natural, material, empiris, dan rasional. Sesuai dengan metode ilmiah yang abstrak, para ilmuwan dipandang sebagai orang yang menyajikan pernyataan-pernyataan yang sejalan dengan kenyataan-kenyataan dalam dunia yang dapat diamati secara langsung, dan secara langsung pula dapat diperiksa kebenarannya.
Dipihak lain, para tokoh agama dan penganut mistik menganggap bahwa sains dan teknologi bukanlah persoalan dan bidang garapan mereka. Bahkan secara ekstrim mereka antipati terhadap sains (sebagai contoh adalah penghukuman Galileo Galilei oleh kalangan Gereja), sains dianggap sebagai gurita yang setiap saat mengancam atau menggugat kepercayaan keagamaan serta menggusur kemampuan tradisional dan mistik yang sudah sekian lama mengiringi masyarakat dalam menyelesaikan problem keseharian. Di samping itu, sains juga tidak pernah memberikan jawaban dan tidak mampu memberikan solusi atas ultimate question (misalnya: tentang kematian, ketuhanan), bahkan cenderung membuat permasalahan-permasalahan baru.
Apakah memang sains dan religi tak bisa disatukan (bersama-sama) dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan, akankah mereka terus berdiri di menara gadingnya masing-masing. Sementara sejak dua-puluh tahun terakhir abad ke duapuluh, manusia berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini.
Umat manuisa telah menimbun puluhan ribu senjata nuklir yang siap diluncurkan kapan saja, dan yang tidak kalah bahayanya, yang menjadi sumber kecemasan rakyat kecil adalah sampah dan bocoran radiasi nuklir dari pabrik senjata ataupun reaktor. Anehnya para elit politik atau negarawan justru lebih senang mengucurkan tiga kali lipat anggaran demi pembuatan dan perlombaan nuklir tersebut. Sementara, lebih dari lima belas juta orang – sebagian besar diantaranya anak-anak – meninggal karena kelaparan setiap tahunnya, dan lima ratus juta lainnya kekurangan gizi.
Secara lebih rinci, berbagai kekerasan sains modern yang membawa manusia pada krisis multisegi dikemukakan oleh Shiva (1997; 34) di bawah ini:
a. Kekerasan Terhadap Masyarakat Pinggiran. Perempuan, masyarakat kesukuan, dan kaum tani sebagai subjek pengetahuan secara sosial, melalui pemisahan ahli-bukan ahli, yang mengubah mereka menjadi kaum tidak berpengetahuan bahkan dalam bidang-bidang kehidupan dimana mereka adalah ahli yang sesungguhnya melalui partisipasinya sehari-hari serta tanggung jawab praktek dan tindakan berada pada mereka seperti dalam sistem kehutanan, pangan, dan air.
b. Kekerasan Terhadap Alam. Objektivikasi alam sebagai kajian ilmu modern, mengakibatkan rusaknya integritas alam, baik dalam proses persepsi maupun manipulasi. Alam dianggap sesuatu yang harus di eksploitasi, dimanfaatkan habis-habisan, tanpa kepedulian akan kelestariannya.
c. Kekerasan Kepada yang Diuntungkan Pengetahuan. Dengan pernyataan ilmu modern bahwa masyarakat pada umumnya merupakan penerima keuntungan pengetahuan ilmiah, mereka – terutama kaum miskin atau pinggiran—adalah korban terburuk akibat perampasan potensi produktif dan sistem pendukung kehidupan mereka.
d. Kekerasan pada Pengetahuan. Agar dapat diakui sebagai satu-satunya pola pengetahuan yang sah, yang secara rasional lebih tinggi daripada pola-pola pengetahuan alternatif, maka ilmu modern melakukan kekerasan terhadap ilmu sendiri. Ilmu reduksionis (ilmu modern) menyebutkan sistem pengetahuan organik sebagai tidak rasional dan menolak sistem-sistem kepercayaan pihak-pihak lain tanpa evaluasi rasional yang menyeluruh. Pada saat yang sama, ia melindungi diri dari jajahan dan penyelidikan atas mitos-mitos yang telah diciptakannya dengan memberikan kesucian baru pada dirinya sendiri yang melarang adanya pertanyaan sifat ilmiahnya.

1. Perumusan Masalah
Pembicaraan mengenai alam tidak akan dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kemanusiaan dan ketuhanan, atau kaitan ketiganya dikenal dengan kosmo-antropo-teologis. Keprihatinan terhadap alam akibat kekerasan sains, berarti keprihatinan terhadap kemanusiaan, agama, ataupun spiritualitas, begitu juga sebaliknya. Sayangnya antara para tokoh agama dan ilmuwan, kurang merespon keterkaitan dimensi-dimensi tersebut. Sedangkan pengkajian dan perumusan paradigma baru sains adalah kebutuhan mendesak untuk mencoba mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkannya. Masalahnya sekarang:
a. mengapa sains dianggap sebagai sumber krisis multisegi;
b. bagaimanakah relasi antara sains dan religi;
c. dapatkah relasi keduanya menggagas paradigma baru sains; dan
d. paradigma baru sains yang bagaimanakah yang, harus dikaji dan dirumuskan.

2. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian yang membahas relasi antara sains dan religi dalam perpektif filsafat ilmu dalam rangka pencarian paradigma baru sains belum pernah dilakukan dalam penelitian sejenis (tingkat skripsi). Beberapa yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:
a. Karya Greg Soetomo mengenai “Sains dan Problem Ketuhanan”, di sini Greg Soetomo menitikberatkan pada perspektif filsafat ketuhanan.
b. Karya Nana Ahmad Hanafi mengenai “Kosmos dalam perspektif sains dan religi”, di sini ia melihat relasi sains dan religi dalam kaitannya dengan kosmos.
c. Karya M. Agus Widiyanto mengenai “Konsep Filsafat Sains dalam Konteks Peradaban Islam”. Penelitian ini mengkaji sains dalam peradaban Islam dan mencoba mencari paradigma sains Islam dalam hubungannya dengan Islamisasi sains.

3. Faedah yang Diharapkan
Faedah yang diharapkan dalam penelitian ini diantaranya adalah:
a. Bagi perkembangan Ilmu. Memberikan kerangka perspektif baru dalam menjawab perkembangan zaman dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
b. Bagi perkembangan filsafat. Membuka cakrawala filsafat, khususnya filsafat ilmu agar lebih dinamis menanggapi potensi kemanusiaan, dengan mengembangkan dialog, khususnya dengan religi dan tradisi spiritulisme.
c. Bagi penulis pribadi. Penelitian ini paling tidak dapat melatih penulis untuk menarik persoalan riil dalam masyarakat ke dalam refleksi filosofis dalam upaya pemberian alternatif pemecahannya.

B. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan;
1. Mengangkat persoalan-persoalan sains ke dalam refleksi filosofis.
2. Mengkaji relasi antara sains dan religi.
3. Mengkaji kemungkinan perumusan paradigma baru sains.

C. Tinjauan Pustaka

Di tahun-tahun terakhir ini, telah timbul keinginan yang terus meningkat untuk mengumumkan bahwa sains --maksudnya sains modern konvensional-- telah mati secara filosofis, walaupun belum secara klinis. Katanya, penyebab kematian itu, adalah bunuh diri. Alatnya adalah sebuah perangkat temuannya sendiri yang disebut fisika kuantum (Hoodbhoy, 1996; 45).
Peristiwa pembunuhan terhadap sains yang kemudian membidani kelahiran dan kematian kembali sains oleh sains itu sendiri adalah hal yang semestinya dalam dunia keilmuwan. Dalam konteks yang lebih luas Hegel memahaminya sebagai dialektika:
Di dalam sejarah umat manusia pada suatu masa pemikir menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian umat manusia menjadi peserta dalam idea mutlak, yaitu keilahian. Pada hakikatnya idea yang berpikir ini merupakan suatu kegiatan, suatu gerak. Hanya saja gerak perlawanan secara silih berganti. Tetapi secara demikian berdasar tesa dan antitesa timbul suatu gerak baru yang mencakup kedua gerak sebelumnya, dalam suatu jenjang lebih tinggi, sebagai sintesis. Proses ini yang berlangsung menurut hukum-hukum akal budi, oleh Hegel disebut sebagai dialektika….di dalam gerak dialektika itulah mau tak mau dapat dipahami gerak kesadaran dan sejalan dengan itu juga gerak alam dan gerak sejarah (Delgaauw, 1992; 140).

Dalam ranah sains Thomas Kuhn menyebutnya sebagai revolusi sains. Menurut Kuhn (1989; 100), revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang lagi-lagi terbagi pada subdivisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi befungsi secara memadai. Mengenai hal ini Chalmers (1983; 94) menggambarkan bahwa revolusi sains merupakan suatu skema yang open-ended, artinya, sebuah akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut, dengan alur: pra ilmu ? normal science ? krisis ? revolusi ? normal science baru ? krisis baru, dan seterusnya.
Normal science yang dimaksud Kuhn (1989; 11) adalah riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek selanjutnya. Dimana dalam revolusi sains ini tidak dapat dilepaskan dari adanya suatu paradigma sains. Paradigma yang dimaksud Kuhn adalah beberapa contoh praktek ilmiah nyata (aktual) yang diterima --misalnya, dalil, term, penerapan, dan instrumenatsi-- yang memberikan model-model dan menjadi sumber tradisi-tradisi koheren partikular riset ilmiah (Soetomo, 1998; 22).
Di penghujung abad XX, manusia merasakan krisis global yang diderivasikan dari paradigma sains yang dibangun sejak renaissance. Paradigma reduksionis-positivis dianggap gagal menjawab kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia. Di sinilah Kuhn (dalam Soetomo, 1998; 21) menyarankan untuk kembali mengkaji sejarah ilmu dan berguru darinya. Karena historisitas adalah karakteristik dasar alam, dan ilmu itu sendiri adalah kondisi sejarah, sebagaimana Ian Barbour menulis:
Historicity is a basic characteristic of nature, and science it self is historically conditioned (Barbour, 1990; 220).

Terhadap krisis multisegi di atas Capra menawarkan pendekatan holistik-kesisteman (Lasiyo, 1997; 3) yang berkaca dari tradisi taoisme. Menurut Capra (1997; 36) terminologi Yin – Yang sangat bermanfaat dalam analisis keseimbangan kultural yang mewakili pandangan ekologis yang luas, suatu pandangan yang bisa juga disebut pandangan sistem, dalam pengertian kesalinghubungan dan kesalingtergantungan semua fenomena, dan dalam kerangka ini yang dimaksud dengan sistem adalah suatu keseluruhan terpadu yang sifat-sifat tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat dari bagian-bagian yang lebih kecil. Organisme hidup, masyarakat, dan ekosistem semuanya adalah sistem.
Dalam buku “Menyatu dengan Semesta: Menyingkap Batas Sains dan Spiritualitas” yang merupakan rekaman diskusi antara Fritjof Capra, David Steindl-rap, dan Thomas Matus, dengan menyepakati istilah “belonging” (kemenyatuan), mereka berpendapat agar manusia menyatu dengan alam. Sementara ini sains memandang manusia di luar alam sehingga alam harus dieksploitasi habis-habisan. Dengan belonging ini manusia bukan lagi dianggap berada di luar alam, tetapi di dalam alam, dalam suatu keasatuan.
Sementara itu, seorang tokoh ekofeminisme,Vandana Shiva, menyodorkan prinsip feminitas, sebagai the sustenance perspective, yakni prinsip yang diperlukan bagi kehidupan, adalah prinsip yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan (Mansour fakih, 1997; xxi). Prinsip feminin menjadi kategori penentang dalam cara-cara tanpa kekerasan untuk memandang dunia, dan dalam bertindak untuk menopang semua kehidupan dengan memelihara, keterkaitan dan keseragaman alam. Prinsip feminin memungkinkan peralihan ekologis dari kekerasan ke tanpa kekerasan, dari perusakan ke kreativitas, dari proses-proses anti kehidupan ke proses memberi kehidupan, dari keanekaragaman dan memilah-milah serta reduksionisme ke keutuhan dan kompleksitas (Shiva, 1997; 19-20). Feminitas sebagai suatu prinsip tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Demikian pula maskulinitas, tidak serta merta dimiliki laki-laki. Artinya tidak ada batasan biologis untuk sebuah prinsip.
Bertolak dari gagasan memanusiakan teknologi (sains), Alan R. Drengson sebagaimana dikutip Inocencio Menezes (1986; 75) mengatakan bahwa sekarang teknologi berada dalam tahap appropriate technologi. Tekanan dalam tahap ini adalah keserasian antara teknologi dengan kepentingan manusia dan integritas ekosistem. Juga digarisbawahi bahwa teknologi harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi tuntutan-tuntutan berikut ini: (1) teknologi harus beraneka ragam, supaya bisa memungkinkan banyak alternatif atau pilihan untuk individu maupun perkembangan sosial, (2) Harus ada interaksi yang serasi antara manusia, mesin-mesin, dan biosfer. Ini syarat mutlak untuk mempertahankan sistem ekonomi yang stabil di masa mendatang, (3) Teknologi harus baik secara termodinamis untuk menghasilkan dan menggunakan energi serta untuk mengimbangi semua kerugian baik ekonomis maupun ekologis, (4) Teknologi harus bersifat promotor perkembangan manusia yang menggunakannya. Berarti proses teknologi harus lebih menopang hidup daripada mengancamnya. Maka appropriate technologi merupakan pandangan filsafat yang paling menyeluruh karena bisa melibatkan subjek dan objek bersama dalam rasa tanggung jawab dan dalam interaksi timbal bailk. Pada tahap ini ada keseimbangan antara perkembangan pribadi serta sosial yang terus menerus dan prinsip-prinsip ekologis.
Untuk memperjuangkan satu masyarakat baru sebagai konsekuensi masyarakat industri modern -- demikian Marcuse menyebut sains modern – yang satu dimensi, Herbert Marcuse dalam bukunnya One Dimensional Man mengajukan dua hal. Pertama, perlu sedapat mungkin orang mengurangi kekuasaan (the reduction of power): kekuasaan politik, ekonomi, pendeknya konsentrasi kekuasaan dalam sistem dimana orang terkurung sekarang ini. Kedua, Perlu orang mengurangi perkembangan yang berlebih-lebihan (the reduction of overdevelopment). Ini berarti menolak kebutuhan-kebutuhan palsu yang secara artifisial dibangkitkan oleh sistem produksi modern dan meninggalkan semua usaha untuk semakin meningkatkan mutu kehidupan (the standard of living) (Bertens, 1981; 213).
Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri modern sebagai sesuatu yang mengerikan atau tidak berguna. Ia tidak mau kembali ke keadaan asali (artinya keadaan pra ilmiah dan pra teknologis), seperti halnya pada Jean-Jacques Rousseau. Basis teknologis tetap perlu bagi masyarakat yang akan datang. Sebab dengan itu semua baru dimungkinkan untuk mengurangi pekerjaan dan memutuskan semua kebutuhan. Ilmu pengetahuan dan teknik tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga timbul masyarakat yang kualitatif lain (Bertens,1981; 212).
Sementara itu Jacques Ellul menawarkan tiga tahap alternatif jalan keluar. (1) Realisme. Kaum intelektual menawarkan peranan penting dalam mengusahakan desakralisasi dan membangun realisme. Ellul mengatakan bahwa orang harus menghancurkan berhala-berhala modern, melepaskan mitos terhadap berbagai ilusi, menghadapi sejarah yang berdarah. Kita sering mendewa-dewakan teknologi, pendidikan, dan politik; sikap pendewaan seperti inilah yang memperbudak kita. (2) Perubahan diri. Hal ini harus diusahakan secara pribadi oleh setiap orang dengan kepekaan khusus yang tidak ada pada masyarakat teknologi sebagai keseluruhan. Perubahan sosial hanya terjadi melalui orang-orang yang sudah memiliki suatu kesadaran yang cerah. Upaya untuk meraih kekuasaan sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan apapun. Kebangkitan dan dampak pribadi manusialah yang dapat menghancurkan tirani teknologi. Yang dicari Ellul adalah orang-orang yang hidup lurus dan memiliki kepribadian asli. (3) Tindakan nyata. Kalau kesadaran akan realisme dan perubahan diri sudah tercapai, maka dibutuhkan suatu tindakan nyata. Program-program yang sudah jadi, tinggal pakai, tidak lain merupakan suatu bentuk penindasan yang baru, karena mencegah seseorang untuk menciptakan suatu pola hidup yang bebas. Ellul menolak membangun model-model kelakuan yang statis dan mendesak orang supaya mencari sendiri arti keterlibatannya dalam masyarakat modern, serta menentukan sendiri bentuk tindakannya. Ia mencontohkan, membentuk pusat-pusat oposisi atau arena debat, dan mendorong pluralitas (Menezes, 1986; 66-69).
Menurut Michel Foucault, dalam episteme (sistem pemikiran) abad modern, manusia mempunyai struktur organisnya sendiri yang dikuasai oleh hukum-hukum internal. Manusia tampil dengan wujud manusianya, dalam kepadatannya, dengan ciri kebendaannya sendiri: sebagai subjek yang mengetahui sekaligus objek yang diketahui yang dilihat sebagai makhluk yangberbicara, hidup, dan bekerja, sekaligus yang ditentukan menurut hukum-hukum produksi (Susilo, 1993; 84). Dengan kata lain manusia menjadi objek pengetahuan secara penuh, tapi dilain pihak manusia sebagai penemu baru akan menemui kesudahannya. Disinilah manurut Foucault manusia seharusnya kembali merenungkan keberadaan semestinya dalam arkeologi pengetahuan.
Kesetiaan kepada fakta yang diperintahkan oleh metode ilmiah membuat pengetahuan menjadi umum (publik) dan empiris. Dengan demikian ilmu tidak dapat didamaikan dengan transendentalisme dalam bidang yang manapun, sebab pengetahuan yang dapat dibedakan dari kepercayaan adalah didasarkan pada fakta yang telah terbukti kebenarannya, sementara apa yang oleh transendentalisme dinyatakan sebagai kebenaran berada diluar jangkauan pengujian dengan pengalaman. Dengan pertimbangan yang sama, mistisisme pun asing bagi semangat dan metode ilmu pengetahuan. Pengalaman mistikus bisa saja, dan memang sudah pernah, dijadikan pokok keingintahuan dan penelitian ilmiah. Penelitian seperti itu dapat menyingkapkan cara kerja pikiran manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi hal itu berbeda sama sekali dengan menyatakan bahwa penafsiran sang mistikus mengenai pengalamannya sebagai penyatuan dengan Yang Ilahi sahih dari segi ilmiah. Dalam ketiadaan pengetahuan positif yang cukup memadai, kebanyakan orang di masa lampau telah menyalahtafsirkan sejumlah fenomena lain, seperti penyakit ayan, wabah penyakit, gerhana, dan kemunculan komet. Kebenaran yang menurut pengakuan mistikus telah dialaminya adalah sama benarnya dengan tafsiran kolot tentang gerhana matahari (Shah, 1986; 93).
Feyerabend mengkritik pandangan Lakatos tentang kesuperioran sains dibanding persoalan agama, spiritualitas, dan mistik, dengan mengatakan:
Having finished his “reconstruction” of modern science. He (Lakatos) turns it against other fields as if it had already been established that modern science, is superior to magic, or Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shred of an argument of this kind, “rational reconstructions” take “basic sciencentific wisdom” for granted, they do not show that it is better than tha “basic wisdom” of witches and warlocks (Feyerabend, 1979; 203).

(Setelah menyelesaikan rekonstruksi-nya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih superior/unggul daripada sihir atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada sedikit pun argumentasi yang dikemukakan. Rekonstruksi rasional menganggap kearifan ilmiah sebagai sesutu yang sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik daripada kearifan para ahli sihir dan tukang-tukang sulap).

Negara juga berperan terhadap posisi ilmu yang superior dari agama. Negara menjadikan ilmu sebagai bagian dari perkembangan negara tersebut, sementara agama diserahkan pada penganut maupun institusi agama itu sendiri. Mengenai hal ini Feyerabend menulis:
Thus, while an American can now choose the religion he likes, he still not permitted to demand that his children learn magis rather than science at school. There is a separation between state and church, there is no separation between state and science (Feyerabend, 1979; 299)

(Jadi bila seorang Amerika kini dapat memilih agama yang disukai, ia tetap tidak diperkenankan untuk meminta anak-anaknya belajar sihir ketimbang ilmu di sekolah. Ada pemisahan antara negara dan gereja, tetapi tidak ada pemisahan antara negara dan ilmu)

Hal tersebut disebabkan karena ilmu telah menjerat secara ideologis dan propagandis dalam kehidupan masyarakat. Upaya melepaskan diri dari jeratan ilmu merupakan kebutuhan yang mendesak, agar tradisi spiritualitas kembali berjalan dengan normal dalam masyarakat, sebagaimana Feyerabend menulis:
Let us free scienty from the strangling hold of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us from the strangling hold of the one true religion (Feyerabend, 1979; 307)

(Marilah kita bebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membantu secara ideologis, persis seperti nenek moyang kita yang membebaskan kita dari kungkungan agama satu-satunya yang benar)

E. Landasan Teori

Pemfalsifikasian terhadap religi dan mistik dengan indikator ilmiah milik sains, jelas merupakan sesuatu yang tidak adil (fair) ?Vandana Shiva menyebutnya sebagai “kekerasan terhadap pengetahuan dan ilmu yang lain”. Hal ini akan menimbulkan “ilmu yang unggul terhadap ilmu yang lain”. Kalau sudah seperti ini, akan terjadi perang klaim keunggulan pengetahuan atau ilmu dengan menggunakan standar ganda, adalah standar bahwa yang lain itu lebih rendah atau salah sedangkan dirinyalah yang paling unggul atau benar. Dengan demikian pemfalsifikasian kurang tepat bahkan cenderung merupakan kekerasan.
Dalam sejarah sains, paradigma sains sebagai sesuatu yang merohani dalam kehidupan dan perkembangannya, selalu berdialektika dengan semangat zamannya. Dialektika tersebut akan menghasilkan siklus revolusi sains, ketika sains yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zamannya. . Paradigma sains modern telah membunuh potensi kemanusiaan yang lain – selain rasio – dalam kaitannya dengan sumber pengetahuan, terutama pengetahuan dan kemampuan intuitif, yang pada saat ini menghasilkan berbagai krisis, sehingga diperlukan revolusi sains di atas. Manusia sebagai kesatuan total akan dimensi rasional-intuitif ataupun jiwa-badan, selayaknyalah memfungsikan secara total potensi kemanusiaannya untuk mengetahui, sehingga akan didapati pengetahuan yang lebih komprehensif, bukannya reduksionis.

F. Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian
Penelitian ini mengambil bahan dari Buku, artikel, media massa, jurnal, Internet, Film, dan Novel. Buku-buku yang memuat kajian tentang sains, religi, dan paradigma baru sains antara lain: “Religion in an Age of Science”, “Myths, Models, and Paradigms” karya Ian Barbour; “The New Story of Science, Mind and The Universe” karta Augros dan Stanciu; “Axiology: The science of Values” karya Archie Bahm; “The Structure of Scientific Revolution” karya Thomas Kuhn; “Science Without Bound, A Synthesis Science, Religion, and Mysticism” Karya Arthur J. D’Adamo, dan berbagai sumber lain (yang disebutkan di atas) yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Pencarian bahan dari internet dengan memulai dari situs-situs induk seperti: www.yahoo.com, www. google.com, www.altavista.com, www.bgsu.edu/pdc (philosophy documentation centre). Film dan novel sekedar sebagai pemompa inspirasi dan refleksi filosofis lebih jauh, film yang berkaitan dengan tema tersebut misalnya: “The Hollow Man”, “Contact”, “The 6th Day”, “Phyton”, sementara novel yang berkaitan dengan tema ini misalnya “Celestine Prophecy”, dan “The 10th Insight” karya James redfield.

2. Jalan Penelitian
Langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini:
a. Pengumpulan bahan. Bahan yang berkaitan dengan berbagai media dikumpulkan.
b. Klasifikasi bahan. Bahan yang sudah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan menurut tema maupun bab yang terkait.
c. Analisis. Bahan yang telah diklasifikasikan dianalisis. Analisis terhadap bahan tersebut melalui perenungan sendiri maupun diskusi dengan kolega ataupun orang yang kompeten.
d. Penulisan. Setelah hasil analisis di evaluasi dan dikritisi ke dalam refleksi filosofis lantas dituangkan dalam penulisan.

3. Analisis Hasil
Dalam menganalisis data-data yang terkumpul penulis menggunakan metode di bawah ini:
a. Interpretasi. Dalam metode ini penulis berupaya menerobos, memahami data-data, peristiwa atau situasi problematis.
b. Holistika. Dengan metode ini, penulis menggabungkan atau mengumpulkan berbagai pemikiran atau konsep untuk menuju suatu keseluruhan visi.
c. Koherensi intern. Dengan metode ini, penulis berusaha memahami hakikat manusia dalam kaitannya dengan potensi kemanusiaan, khususnya sumber-sumber pengetahuan manusia.
d. Heuristika. Dengan metode ini penulis berupaya menemukan jalan baru untuk memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini.
e. Deskripsi. Dengan metode ini penulis mencoba menguraikan secara umum dan teratur refleksi penulis.
f. Metode Anarkisme Pengetahuan Feyerabend.
1. Prinsip pengembangbiakan. Dengan prinsip ini penulis menghindari keterjebakan dalam kerangka atau sistem pemikiran tunggal. Artinya, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif penelitian ini akan mengikuti perkembangan yang terjadi selama proses penelitian, bukannya pembatasan atau reduksionisme. Jadi memungkinkan adanya pluralitas teori.
2. Prinsip apa saja boleh. Dengan prinsip ini penulis mengantisipasi keterbatasan metode-metode di atas dan menghindari penelitian yang terkungkung oleh metode yang sudah ditentukan. Namun demikian, metode di atas bukan berarti tidak diperlukan, tapi dijadikan prioritas pertama.

F. Hasil yang Akan Dicapai

Hasil yang ingin di capai dalam penelitian ini:
1. Mengetahui keterbatasan paradigma sains modern.
2. Memperoleh gambaran tentang relasi sains dan religi dalam bingkai filsafat ilmu.
3. Memperoleh pemahaman baru dengan merefleksikan paradigma baru sains.

G. Sistematika Penulisan

Demi tercapainya suatu pemahaman yang lebih runtut, mudah dan integral, skripsi ini dibagi dalam lima bab.
Bab I, Pendahuluan membahas tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai dan sistematika penulisan.
Bab II, menguraikan struktur ilmu yang meliputi batasan dan ruang lingkup filsafat ilmu, sejarah perkembangan filsafat ilmu, dan asumsi keilmuan.
Bab III, menguraikan tentang sains dan religi yang meliputi pengertian dan historisitasnya, juga membedah struktur sains dan religi.
Bab IV, membahas persamaan dan perbedaan sains dan religi, kritik timbal balik antara sains dan religi, redefinisi sains, dan struktur sains baru.
Bab V, berisi kesimpulan dan saran.
Pada bagian akhir terdapat daftar pustaka yang merupakan daftar referensi baik yang dikutip secara langsung maupun tidak, dan sebagai acuan bagi pembaca yang tertarik untuk meneliti persoalan dalam skripsi ini lebih lanjut.
KESALEHAN MENURUT JOHN CALVIN DAN IMPLIKASINYA BAGI ORANG PERCAYA

* View
* clicks

Posted May 15th, 2008 by Goodson

* Theologia

abstraks:

Kesalehan sebenarnya merupakan sebuah istilah yang masih samar dipahami oleh kebanyakan orang. Namun meskipun keseragaman pemikiran mungkin tidak dapat dicapai, setidaknya ada dua pandangan umum dalam kekristenan yang dapat mewakili aspirasi kita tentang makna kesalehan ini. Pertama, istilah kesalehan secara konkrit dihubungkan dengan orang yang lebih banyak menghayati imannya dengan cara bermeditasi, kontemplasi, rajin berdoa atau berpuasa. Orang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang saleh karena memiliki hubungan yang akrab dengan Allah.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kesalehan sebenarnya merupakan sebuah istilah yang masih samar dipahami oleh kebanyakan orang. Namun meskipun keseragaman pemikiran mungkin tidak dapat dicapai, setidaknya ada dua pandangan umum dalam kekristenan yang dapat mewakili aspirasi kita tentang makna kesalehan ini. Pertama, istilah kesalehan secara konkrit dihubungkan dengan orang yang lebih banyak menghayati imannya dengan cara bermeditasi, kontemplasi, rajin berdoa atau berpuasa. Orang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang saleh karena memiliki hubungan yang akrab dengan Allah.
Pandangan kedua menitikberatkan pada bagaimana manusia menyatakan kehidupan berimannya melalui kelakuan hidupnya, khususnya dalam kehidupan beragama. Dalam hal iniorang saleh diidentikkan dengan orang Kristen yang rajin ke gereja, rajin berbuat baik terhadap sesama, dan hidup sesuai dengan standar kekristenan yang berlaku. Kedua pandangan di atas mengedepankan dua aspek yang tersirat dibalik istilah kesalehan, yakni aspek batiniah dan lahiriah. Dengan demikian kesalehan berkaitan dengan nilai-nilai rohaniyang terkonvigurasi dalam tindakan religius.
Rentangan sejarah gereja menyaksikan bahwa pada umumnya usaha untuk memahami dan mempraktekkan kesalehan, merupakan reaksi terhadap doktrin gereja dalam realitas konteksyang ada. Ketidakpuasan terhadap apa yang ditawarkan gereja menumbuhkan sikap skeptis dan pesimis terhadap kekristenan. Orang percaya cenderung memilih jalan lain di luar gereja yang diyakini mampu memberikan kepuasan batin baginya. Sementara gereja tertantang untuk memberikan solusi, namun tanpa dibarengi pertimbanganyang komprehensif, sehingga cenderung menyesuaikan diri dengan konteks yang ada dan akhirnya kehilangan arah.
Gereja mula-mula yang bercorak Yudaisme mengembangkan suatu bentuk kesalehan yang berdasar pada ketaatan melakukan Hukum Taurat. Sikap ini berangkat dari pergumulan batin berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh komunitas tersebut, sepanjang masa penantian mereka akan kedatangan Mesias. Maka solusi yang didapat adalah, jika seseorang ingin mendapat bagian dalam kerajaan Mesias berarti ia harus memenuhi tuntutan Hukum Taurat.2 Secara lahiriah kelihatannya kelompok ini mampu menunjukkan sikap hidupyang benar dan saleh. Namun sebenarnya corak antroposentris yang lebih ditonjolkan. Akibatnya, kesombongan rohani dan eksklusifisme menjadi mentalitas gereja.
Di sisi lain, inkapabilitas Gereja Yunani abad mula-mula dalam menjawab sejumlah pertanyaan seputar kebutuhan manusia akan tujuan hidup dan dunia akhirat, serta inkulturasi budaya membawa manusia di ambang kebingungan akan standar hidup, moral dan agama. Kondisi ini mengakibatkanorang Kristen kemudian menyenangi agama-agama Timur yang baru mereka kenal. Agama-agama baru yang paling menonjol adalah pantheisme dan dualisme,3 yang sebenarnya merupakan penjabaran dari pengajaran para filsuf Yunani seperti Plato, Stoa dan Epicurus. Selanjutnya muncullah praktek-praktek kesalehan baru melalui beraskese dan berekstase4yang bertujuan mencapai kebahagiaan batin melalui usaha manusia.5
Nuansa baru kesalehan yang ditawarkan ini sebenarnya merupakan tradisi kuno bangsa kafir yang di daur ulang oleh para filsuf. Unsur-unsur magis sangat kental di sini, maka tak pelak lagi sinkritisme pun terjadi. Hal ini diteruskan dalam Gereja Roma Katolikyang begitu mudah mencampur-adukan ajaran Injil dengan cita-cita mistik. Gereja perlahan mengorbankan kesuciannya dan mulai kompromi dengan filsafat dunia. Salah satu contohyang cukup mencolok adalah perkawinan gereja-negara6 pada abad pertengahan. Gereja selanjutnya mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kekuasaan sosial dan politik.7
Kondisi di atas menghadirkan kesuraman spritual yang menstimulus munculnya pergeseran paradigma terhadap dunia yang diciptakan Allah. Hal ini membawa perubahan sikap dalam diri orang percaya, di mana menjalankan aktifitas sehari-hari dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Christian de Jonge melukiskan kondisi tersebut demikian: “Pada Abad Pertengahan kehidupan di dunia ini dinilai negatif.Orang Kristen yang sejati melarikan diri dari dunia, umpamanya ke biara, dan melepaskan semua hal yang berhubungan dengan dunia, terutama kekayaan dan uang”.8
Kehidupan biara sangat digandrungi karena dianggap sebagai tujuan utama dari kekristenan. Kesalehan pun identik dengan sikap pengecutyang mengungkung orang percaya dalam komunitas monastik. Orang tidak mau peduli lagi dengan keberadaan dunia sekitar dan hanya mementingkan kesalehan pribadi.
Lebih lanjut, dalam menanggapi mentalitas gereja yang demikian, J.I Packer merujuk kepada filsafat hedonisme yang dianggap sebagai salah satu akar dari kompensasi yang ditimbulkan di atas. Hal ini dijelaskan dalam buku Rencana Allah bagi Anda sebagai berikut:
Dunia Romawi-Yunani abad pertama dan sesudahnya sangat dicengkeram oleh mentalitas mengejar kenikmatan. Karena itu tidak heran jika Perjanjian Baru dan Bapa-bapa Gereja lebih banyak menentang kenikmatanyang berdosa daripada merayakan kenikmatan yang saleh.9 Pandangan ini diturunkan ke Abad Pertengahan, yang menganggap biara sebagai bentuk tertinggi dari Kekristenan.10

Rantai Gereja yang begitu mengikat jiwa manusia dan masyarakat inilah yang sama-sama hendak diputuskan oleh Reinassance dan Reformasi. Reinassance menggugah manusia untuk kembali mengoptimalkan daya akali-falsafatinya. Tatanan agamayang ada mulai digantikan dengan perwujudan agama akali baru.11 Spirit humanisme berkembang dan akhirnya bermuara pada teologi Liberal. Humanisme menjadikan ekspresidiri, pencarian diri, kesadaran diri dan pencapaian diri sebagai sasaran utama dalam hidup.12 Tokoh humanis terkemuka dari Belanda Desiderius Erasmus menyatakan bahwa “Gereja harus semakin dipengaruhi oleh semangat humanis, supaya lama-kelamaan Gereja dapat berbalik pada kesucianyang semula.”13
Kesalehan yang sungguh bertolak belakang dengan yang apa diajarkan oleh Gereja Katolik pun mulai dikembangkan. Jika sebelumnya orang disibukkan dengan usaha-usaha untuk mencapai kesalehan pribadi melalui pengasingan diri, maka dalam masa-masa ini orang disibukkan oleh kesenangan pribadi. Kesalehan kembali mengalami degradasi karena hanya berpatokan pada kenyamanan manusia belaka. Segala hal yang dapat menurunkan ketegangan hidup manusia dianggap baik dan suci.14
Kontras dengan Reinassance, Reformasi mengajarkan spirit yang lain dan membuka tonggak sejarah baru bagi Gereja. Ajaran Reformasi yang sangat berpengaruh bagi kesalehan adalah sikap dalam memandang dunia ini. Dalam hal ini pandangan Gereja Katolik dikritisir dan sikap baru yang dikembangkan adalah bahwa dunia bukan lagi tempat untuk dijauhi, melainkan tempat untuk menjalankan panggilan Allah. Dualisme antara yang rohani dan duniawi mulai tergeser karena iman langsung dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, “kesalehan disekularisasikan dan kehidupan sekuler pada semua bidang dirohanikan. Dalam kegiatan duniawi kesalehan dapat dibuktikan; dalam pekerjaan biasa dapat diberi makna rohani”.15
Reformasi mampu mewujudkan kesalehan yang benar dengan jalan melihat keseimbangan akan perkara duniawi dengan perkara rohani. Dalam arah ini, Calvin merupakan salah satu reformator yang mampu memberi warna khusus dalam kesalehan. de Jonge menyatakan: “Calvin termasuk aliran Reformasi yang berbeda dengan reformasi Luther, tidak memprioritaskan reformasi ajaran melainkan reformasi kehidupan baik kehidupan gerejawi maupun masyarakat secara umum”.16 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Philip Hughes dalam bukunya A Popular History of the Reformation: “No religious teacher ever laid more stress on the holiness of God’s Law thanCalvin , and as he exalts the law so does he exalt the notion of the Church of Christ as a power the actually rules of the Christian life”.17 Hughes melihat keistimewaan ajaranCalvin yang begitu mengagungkan kekudusan Hukum Allah dan kekudusan gereja-Nya yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Kristen. Spirit Reformasi Calvin ini kemudian hari juga berkembang di Inggris dalam Gereja Puritan.
Cita-cita luhur Reformasi tidak dapat dipertahankan seiring dengan situasi zaman yang melunturkan nilai-nilai. Hal ini juga didukung oleh kekecewaan terhadap sikap gereja yang berpuas diri dengan status quo yang dikenakannya. Kondisi gereja pasca Reformasi kembali mengalami pergolakan, yang sangat berpengaruh di segala aspek kehidupan. Dualisme dan sikap negatif terhadap dunia yang ditentang oleh para reformator kembali mewarnai gereja.
Sebut saja golongan Anabaptis dan Pietisme radikal yang lahir pasca Reformasi. Golongan Anabaptis radikal menolak untuk berpartisipasi dalam bidang pemerintahan demi mengindari kompromi dalam bidang sosial dan moral.18 Sementara di sisi yang lain, Pietisme juga cenderung menolak dunia ketimbang meneguhkan dunia. Penekanan pada kesalehan pribadi yang individualis merupakan kelemahan mencolok dari paham ini.19 Realitas yang harus dihadapi Gereja dalam kurun waktu ini sangatlah tidak mudah.
Sejak memasuki abad ke-20 orang Kristen harus berhadapan dengan modernisme agama. Seiring dengan itu, modul asketis-pietis yang bermuatan teologi konservatif maupun liberal, juga ikut mewarnai zaman ini.20 Keseimbangan antara iman dan devosi (kesalehan) yang berusaha ditegakkan oleh Reformasi pada masa ini kembali didikotomikan melalui pemisahan antara yang sakral dan sekuler.21
Jika kesalehan disejajarkan dengan yang sakral atau rohani atau religius, maka masihkah kesalehan dapat dipertahankan dalam konteks dunia yang sekularistik dan modernisme ini? Apakah menarik diri sekuat mungkin dari dunia merupakan pilihan yang tepat dalam memelihara iman dan kesalehan hidup kita; ataukah kita berusaha menembus yang sekuler dalam semua levelnya dengan bertolak pada perspektif Kristen? Masih adakah harmonisasi antara penghayatan kehidupan beriman secara batiniah maupun lahiriah dalam konteks dunia masa kini? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak sebagian besar orang Kristen tersebut, maka penulis tertarik mengangkat judul “Kesalehan Menurut John Calvin dan Implikasinya Bagi Orang Percaya” dalam skripsi ini. Penulis meyakini bahwa pemahaman akan konsep yang benar akan menghasilkan suatu tindakan yang benar pula. Oleh karena itu tanpa bermaksud mengecilkan spiritualitas yang ditanamkan oleh para reformis lainnya, penulis berharap menggali kembali nilai-nilai kesalehan dalam konsep teologis yang telah ditanamkan oleh John Calvin berabad-abad silam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sebenarnya orang percaya memahami tentang kesalehan sepanjang sejarah?
2. Bagaimana Calvin memandang kesalehan dan mendaratkan teologinya tersebut?
3. Hal-hal konkrit apa yang telah dilakukan oleh Calvin dalam mendukung konsep teologis yang dibangunnya?
4. Implikasi-implikasi apa yang diperoleh oleh orang percaya sebagai konsekuensi dari penjabaran konsep Calvin tersebut ?
C. TUJUAN KAJIAN
1. Agar pembaca memperoleh pemahaman yang historis-obyektif tentang konsep kesalehan sepanjang sejarah Gereja.
2. Agar pembaca dapat memahami konsep kesalehan dalam teologi Calvin berdasarkan argumentasi doktrinalnya.
3. Agar pembaca juga dapat menemukan bukti-bukti faktual tentang penerapan doktrin kesalehan sepanjang kehidupan Calvin.
4. Agar pembaca termotivasi untuk menerapkan kesalehan yang benar dengan melihat implikasi-implikasi yang mengikuti konsep Calvin tersebut.
D. RUANG LINGKUP KAJIAN
Pembahasan penulis mengenai konsep kesalehan dalam skripsi ini dibatasi hanya pada ajaran John Calvin saja. Penulis tertarik untuk menggali dari teologi Calvin karena menurut penulis sang pemikir sistematis dan organisatoris yang terampil tersebut memiliki keunikan dan nuansa berbeda dalam teologinya, khususnya dalam membahas tentang kesalehan dibanding para tokoh Reformator lainnya.
E. METODE PENULISAN
Untuk dapat sampai kepada tujuan yang diinginkan penulis, maka dalam skripsi ini penulis memakai metode penulisan analisis, deskriptif, menyangkut didalamnya interpretasi biblika. Yang dimaksud adalah penulis akan melakukan analisa historis berkaitan dengan pemikiran terhadap kesalehan sepanjang sejarah Gereja. Setelah itu penulis akan memaparkan hasil observasi dan analisis sesuai dengan teologi Calvin, serta menyiratkan argumentasi biblika yang digunakan Calvin. Dan terakhir, guna memperkuat penelitian tersebut, penulis akan menyajikan beberapa implikasi penting yang sangat relevan bagi kehidupan kekristenan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Merupakan bagian pembuka yang didalamnya penulisan menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan kajian, ruang lingkup kajian, metodologi dan sistematika penulisan.
Bab II Merupakan ulasan tentang berbagai polemik yang timbul berkenaan dengan kesalehan. Penulis menguraikan perkembangan pemikiran tentang kesalehan ini secara sistematis berdasarkan runtutan sejarah gereja, mulai abad mula-mula sampai abad modern.
Bab III Merupakan hasil observasi penulis tentang kesalehan dalam sudut pandang teologi Calvin. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan Calvin dan teologinya. Hal-hal tersebut menyangkut sejarah ringkas kehidupan Calvin; penjabaran konsep yang berkaitan dengan: definisi, dasar dan tujuan kesalehan, yang bertalian dengan inti pengajaran doktrinal Calvin; serta memberikan gambaran nyata tentang penerapan kesalehan dalam masa hidup Calvin.
Bab IV Merupakan uraian tentang implikasi doktrinal dari ajaran Calvin tentang kesalehan. Penulis meninjaunya dari segi teologis, ekklesiologis, etis-moral dan misiologis.
Bab V Merupakan bagian penutup dimana dalam bab ini penulis menarik kesimpulan dari karya tulisnya dan memberikan argumentasinya yang logis dan obyektif terhadap pandangan tokoh yang ditelitinya. Penulis juga dalam bab ini memberikan sumbangsih bagi orang percaya melalui saran-saran yang dikemukakannya. Di sini sikap dan posisi penulis akan nampak sebagai wujud pertanggungjawaban pribadi penulis terhadap karyanya.

Fazlur Rahman dan Liberalisme Islam (di) Indonesia Oleh M. Ali Hisyam

buku_darimodernisme_k.jpgGugusan pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal (di) Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda.

Judul Buku:
Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia
Penulis:
Dr. Abd. A’la
Pengantar:
Prof. Dr. Azyumardi Azra
Penerbit:
Paramadina Jakarta, 2003 Tebal : xvi + 249 halaman (termasuk indeks)

Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.

Hari ini, kurang lebih 30 tahun setelahnya, gerakan pemikiran model ini kian berkibar dan mendapat tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Hanya saja, seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa dan berganti nama dengan “Islam liberal”. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesianis Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999). Semenjak saat itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal (Paramadina: 2001) dan digayung-sambuti dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan kontroversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan membiak ke berbagai arah.

Gugusan pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal (di) Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda. Menurut Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti Muhammadiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Salah satu contohnya adalah Abd. A’la, penulis buku ini. Secara praktis, paham Islam liberal sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan.

Sebaliknya, ia cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.

Berlatar panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’arif) sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini. Pada konteks itulah, buku ini hendak melacak sejauh mana pengaruh Fazlur Rahman terhadap pemahaman keislaman di Indonesia.

Penyingkapan akan hal tersebut, menurut A’la, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam pandangan A’la, terdapat—setidaknya—dua signifikansi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama, secara teoretis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur, kelak berhasil menjadi arus utama (mainstream) bagi gerakan pembaruan Islam berikut pembiakannya di Indonesia. Pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasannya (antara lain yang sangat menonjol adalah ide penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rekonstruktif dan “hidup”) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur pada akhirnya menawarkan alternatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran teologi (sebagian) umat Islam di Indonesia. Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”) yang disodorkannya, serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir. Penelusuran Abd. A’la dalam buku ini akhirnya bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi paradigma keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaruan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik.

Oleh karenanya, ke depan, diskursus Islam liberal di Indonesia tetap layak untuk digulirkan dan dikaji secara lebih menarik. Di tengah kondisi kehidupan manusia dalam global village ini, Islam liberal bisa hadir sebagai “mazhab” perekat solidaritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil. Pada titik inilah, karya Abd. A’la ini berperan sebagai wahana kreasi ulang (re-creation) bagi kiprah dan perjalanan pembaruan Islam di tanah air. Kini dan di masa mendatang, ia diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklim keberagamaan yang damai dan lapang. []

M. Ali Hisyam, editor buku, mahasiswa hubungan antaragama pascasarjana IAIN Yogyakarta.

Rabu, 30 Desember 2009

PEMBAHASAN
Neomodernisme Dalam Islam

(Fazlur Rahman)

A. Biografi
Fazlur rahman lahir di Pakistan sekitar pada tahun 1919-1988. lahir dan besar di koloni inggris yang kemudian menjadi Negara Pakistan. Ia menampakkan karil akademis yang membawanya meraih gelar akademik di Universitas Punjab dan Oxford. Semejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga dan tradisi mazhab Hanafi yang terkenal rasional itu. Ia juga memberi kulyah filsafat Islam di Inggris dan Kanada. Pada tahun 1961, Rahman kembali ke Pakistan untuk mengetahui Central Institute of Islamic Research di Karaci, sebuah organisasi yang di sponsori oleh Negara, untuk memobilisasi perang terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang tradisional dan radikal.

B. Karya dan Pemikirannya
Perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga periode : periode awal sekitar tahun 50-an, periode Pakistan sekitar tahun 60-an, dan periode chicago sekitar tahun 70-an. (Taufik, 1990 : 112-149).

 Kritik Atas Pemikiran Islam dan Modernisme
Periode pertama adalah karil awal Rahman di Pakistan setelah berhasil menyelesaikan program doctoral di Oxford University. Dalam periode ini, pemikiran Rahmann masih terikat dengan kajian-kajian Islam histories, meskipun sikap kritisnya terhadap pemikiran islam klasik telah tampak. Dalam masa ini ada tiga karya tepenting yaitu : Avicennan’s Psychology (1952) : Prophecy in Islam : Philosofhy and Orthodoxy (1958) : dan Avicenna’s De Anima (1959) : serta, satu antologi (kumpulan tulisan) dari artikel-artikkel tentang pemikiran Islam khususnya pemikiran moderen Iqbal. Di memberikan catatan kriti terhadap pemikiran klasik. Baginya, doktrin filosofi islam klasik seluruhnnya berasal dari Yunani, meskipun para Filasof muslim telah berusaha mengelaborasikan, bahkan menyaring dan menyesuaikannya dengan ddokrin seperti konsep kenabian. Rahman memandang para Filosop Muslim juga telah memperkeras unsur-unsur dasar dari Yunani dengan menambahkan elemen perfeksionisme intelektual dan menjadikan sebagai eleman tertinggi dari semua elemen (Taufik,1990 :113).
Rahman berkesimpulan, pandangannya tentang proses pewahyuan kepada Nabi Muhammad. Para fiosuf seperti Ibn Sina berteori bahwaNabi menerima wahyu dengan mengidentifikasi dirinya dengan Intelek Aktif, sementara ulama ortodok seperti al-Shahrastani dan Ibn Khaldun memandang bahwa Nabi mengidentifikasi dirinya dengan malaikat,sementariahman sendir, Rahman sendiri berpendapat bahwa Nabi mengindifikasikan dirinya dengan hukum moral.
Dalam karya terakhir periode ini (1955), Rahman menelaah pemikiran religion filosofis modern khususnya pemikiran Iqbal. Ia memulai telaahnya dengan satu pandangan tentang relatifnya pemikiran filosofis islam pada awal periode modern. Menurutnya, sebagian besar upaya intelektual kalangan modernis terpusat pada masalah-masalah legal dan social praktis. Hal ini disebabkan oleh internal utama ulama yang dihadapi islam pada masa itu timbul dari ketidak puasan terhadap warisan mazhab hokum abad pertengahan yang tidak lagi memadahi untuk kondisi,dan serangan-serangan yang memojokkan dari kritikus barat terhadap islam ditujukan kepada pranata-pranata legal dan sosialnya serta moralitas yang terkandung didalamnya.
Disamping memberikan apresiasi terhadap pemikiran Iqbal,Rahman juga memberi kritik, bahwa penyair filosof ini telah gaga merekonsiliasikan akal dan konsep dinamismenya. Hal ini, menurut rahman, bukan karena konsep dinamisme Iqbal bertentangan dengan tujuan-tujuan rasional, tetapi karena kenyataan sederhana bahwa penggagasnya tidak siap menerima dalam analisis akhirnya tujuan yang sebenarnya dari proses realitas,lantaran hal tersebut tampak baginya mengancam apa yang ia sebut kebebasan aktivitas. Rahma juga menngkritik, bahwa Iqbal sering menggunakan frase-frase yang yang sulit ditemukan kandungan inti konseptual yang dapat diuraikan, dan bahkan dalam karya monumental Iqbal itu tidak terdapat argument yang kukuh serta dalam. Dalam hal ini tanpak jelas bahwa basis kritik Rahman terhadap pemikiran Islam modern, bahwa penafsiran-penafsiran atas Islam itu harus muncul dari dalam, bukan pemaksaan-pemaksaan prakonsepsi asing dari luar.
Dalam karya selanjutnya, Rahman memberikan kritik terhadap beberapa Orientalis seperti H.A.R. Gibb sebagai pembelaan terhadap modernisme Islam yang mereka serang. Minsalnya, Rahman menolak pandang Gibb yang menarik kesimpulan bahwa konsep majelis legislative yang diungkapkan Iqbal lewat tafsirannya terhadap institusi ijma sejenis kepausan Islam. Menurut Rahman Iqbal tidak pernah menyarankan penobatan lembaga legislatif sebagai sebagai otoritas Ilahi sebagai mana dalam konsep kepausan, dan ini sangat bertentangan dengan spirit Islam. Rahman memberikan kritik lain bahwa studi atas islam yang mereka lakukan semata – mata sebagai data historis, dan sebagai suatu yang mati untuk dianalisis.

 Islam dan Tantangan Modernisasi
Pada periode kedua tahun 60 – an di Pakistan, Rahman terlibat langsung dalam kontrofersi antara tiga kekuatan islam : modernis – dimana ia ada di dalamnya, tradisionalis dan fundamentalis dalam menyelesaikan berbagai problem tentang islam dalam konteks Negara, social serta persoalan – persoalan modernisasi yang lain. Di sinilah ia ditantang untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan – tantangan dan kebutuhan – kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer di Pakistan.
Jurnal Islamic studies, secara ringkas dapat dikemukakan, melalui serangkaian artikel ini Rahman bertujuan menampilkan promlem – problem kontemporer masyarakat. Pakistan dan tawaran penyelesaiannya dalam perspektif islam modern. Selanjutnya, karya yang pertama ( Islamic Methodology in History ) menawarkan metodologi islam dan rumusan baru tentang islam. Karya kedua ( islam ) menyuguhkan data histories islam serta interpretasinya menurut Rahman. Dengan demikian, persoalan utama umat islam di Pakistan pada periode kedua adalah mencari identitas islam. Islam seperti apa yang seharusnya dijadikan pedoman bernegara, bermasyarakat dan menghadapi tantangan modernisasi. Pertentangan antara kelompok Muslim trdisionalis, fundamentalis, dan modernis dalam mendefinisikan Islam semacam ini memaksa Rahman mengedepankan hasil studinya.
Pertama, Rahman mengagendakan beberapa problem serius umat islam di Pakistan. Yakni, problem pertahanan, problem pembangunan, problem problem pendidikan dan problem kesejahteraan social. Kedua, sehubungan engan upaya pemecahan problem – problem tersebut, maka di perlukan suatu rekonstruksi terhadap masyarakat Muslim Pakistan yang menjamin penyelesaian problem – problem tersebut. Ketiga, upaya rekonstruksi masyarakat Muslim, dan upaya penyelesaian problem – problem harus didasarkan pada sudut pandang al – Qur’an dan sunnah ini harus melalui suatu metodologi yang tepat ; yaitu melalui pendekatan studi kritis – histories , komprehensif, sisitematis, dan sosiologis ( tentang pendekatan ini dijelaskan pada bagian setelah ini.
Rahman mencoba menawarkan pandangan – pandangan Islami terhadap beberapa problem modernisasi sebagai berikut. Islam bertujuan menciptakan suatu tata sosio – moral yang sehat dan progresif. Untuk tujuan ini, al – Qur’an meletakkan beberapa prinsip organisasi social, tolong – menolong, persaudaraan, dan pengorbanan diri demi kemaslahatan umum. Persamaan dan kebebasan menusia merupakan hak yang harus dijamin sehingga terbebas dari segala bentuk eksploitasi dan ketidak adilan social.
Dalam bidang pertahanan, Rahman mengusulkan agar anngkatan perang diperbaharui dan diperkuat dengan dukungan penuh dari masyarakat luas. System feodalisme, primordialisme serta etnisitas dalam bidang pertahanan yang selama itu berlaku dihapuskan. Untuk menciptakan kesejahteraan social, Rahman mengusulkan agar potensi kepemimpinan lokal dapat dimanfaatkan oleh lembaga – lembaga kesjahteraan local, dan bertugas memberikan pencerahan dan pemberdayaan moralitas masyarakat. Adapun perbaikan di bidang pendidiikan, berdasarkan pandangan al – Qur’an bahwa inti dari pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dasar manusia sehingga pengetahuan yang diperolehnya menyatu dengan kepribadiannya,maka total untukmenangani problem buta huruf :mengembangkan bahasa nasional; mengubah secara radikal metode pengajaran hafalan.

 Neomoderisme an Metodologi studi islam
Memasuki priode ketiga tahun 70 –an dan seterusnya di Chicago, pemikiran Rahman diarahkan untuk merumuskan kembali cita-cita islam dan dunia islam.rumusan –rumusan baru tentang islam, ditawarkan oleh Rahman dengan apa yang kemudian dinamakan neomodernisme islam.oemikiran ini adalah kritik terhadap paradigma dan metode pemikiran modernisme klasik.
Di antara karya-karya terpenting Rahman periode ini adalah, The Philosopy of mulla Shadra (1975); Major Themes of The Qur an (1980 ); dan islam and Moder nity: Transpormation of The intellectual Tradition (1982). Buku pertama merupakan kajian kritis terhadap pemikiran filosofis pemilik syi’ah, Mulla shadra dengan tujuan membktikan bahwa filsafat islam tidak tidak pernah mati meskipun pernah diserang oleh al- Ghazali. Buku kedua merupakan kajian tafsir tematik. Tentang delapan topik inti yang dapat disimpulkan menjadi topik,manusia,Tuhan dan alam. Tujuannya memperkenalkan secara metodologis bagaimana seharusnya melakukan kajian –kajian tematik terhadap Al Qur’an, dan sejauh mana pandangan-pandangan orsinal dan komprehensif atau pesan moral Al Qur’asn terhadap persoalan-persoalan mendasar. Dan, Buku ketiga merupakan kajian kritis terhadap sejarah intelektual dan pendidikan islam klasikhingga dewasa ini, kemudian penawaran terhadap apa yang disebut paradigma pemikiran neomodernisme serta metodologi studi islam yang relevan dengan persoalan umat islam kontemporer.
Rahman membagi gerak pemikiran islam menjadi empat.Pertama, revivalisme pramodern diabad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke- 19 seperti gerakan wahabi: kedua, modernasisme klasik diabad ke-19 sampai dengan abad awal ke-20 yang dipelopori oleh Mohammad Abduh: ketiga, neorevivalisme disekitar abad ke-20 seperti dipelopori oleh Sayyid Quttub; dan, ke empat neomodernisme disekitar tahun 70-an yang dipelopori oleh Rahman sendiri. Menurut Rahman, lahirnya gerakan pemikiran yang ua pelopori ini merupakan reaksi terhadap neorevivalisme, dan kritik terhadap modernisme klasik. Tetapi, ia juga sebagai kelanjutan dari gerakan tersebut. Sebagai gerakan lanjutan yang kritis, neomodernisme menawarkan paradigma baru. Pertama, bersikap kritis terhadap barat dan warisan-warisan kesejarahan islam. Gerakan ini mengkritik modernisme klasik terkesan westernis,karna permasalahan yang ditangani hanya permasalahan barat sentris. Karnanya, neomodernisme menolak sikap membabi buta terhadap barat.apalagi sikap apologetic yang ditunjukan oleh tokoh umat islam.
Kedua, memahami islam secara metodelogis,sistimatis,komprehensif dan objektif. Neomodernisme mengkritik modernisme klasik tidak menguraikan secara tuntas metode studinya terhadap Islam, sehingga tanpak studi-studinya bersifat parsial, tidak sistematis dan menyeluruh yang, pada gilirannya, tidak memperoleh pesan yang sebenarnya dari Al-Qur’an.
Ketiga, berpikir bebas dan indenpenden guna mendorong tumbuhnya tradisi ijtihad dikalangan umat Islam. Seperti gerakan-gerakan sebelumnya, neomodernisme mempunyai perhatian yang sungguh terhadap pendayaguanaan terhadap rasio untuk memahami agama. Dalam hal kini neomodernisme menolak kalangan tradisionalis yangn cendrung memasuki kreativitas berpikir, dan sangan membatasi ruang ijtihad bagi kaum Muslimin.
Mengenai metodelogi studi Islam, Raman juga mengajukan metodelogi tafsir Al-Qur’an yang terdiri dari tiga langkah utama :
1. Mengkaji konteks-konteks historis Al-Qur’an (pendekatan historis) untuk menemukan makna teks Al-Qur’an.
2. Membadakan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan Al-Qur’an.
3. Memahami dan menetapkan sasaran AQl-Qur’an dengan memperhatikan secara sepenuhnya latar sosiologisnya. (Taufik 1990 : 192).
Berikut penjelasannya lebih lanjut.
Pertama, seorang mufassir diajak untuk memahami dan menemukan makna-makna Al-Qur’an secara kronologis, dari satu ayat ke ayat yang lain yang berhubungan. Pencarian dan penjelasan ayat-ayat ini dilakukan dengan cara tematik, komprehensif, dan sistematis serta dalam kontek historisnya masinng-masing. Minimal pendekatan historis ini akan dapat menghindari pemaknaan Al-Quran secara artificial.
Kedua, seorang mufassir mulai membedakan antara ayat-ayat yang mempunyai ketetapan-ketetapan hukum dan sasaran serta tujuannya.
Ketiga, jika pada langkah kedua seorang mufassir memahami ketetapan hukum dan sasaran berdasarkan ayat itu sendiri, maka pada langkah ini ia menjelaskan dalam konteks sosiologis dimana Al-Q,ur’an diturunkan, yakni sepanjanng karil Nabi.
Dari ketiga langkah diatas, selanjutnya Rahman merumuskan tiga langkah operasional. Pertama, perumusan pandangan dunia Al-Qur’an. Maksudnya, nilai-nilai metafisis atau teologis yang tersebar dalam ayat-ayat Al-Qur’an dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan pedoman dasar melihat berbagai persoalan dalam karangka Qur’an.
Kedua, sistematisasi etika Al-Qur’an. Maksudnya, prinsif-prinsif dasar etika Al-Quran seperti iman, islam dan taqwa hurus dicari dan di sistematisasikan.
Ketiga, penumbuhan etika Al-Qur’an dalam kontek kekinian. Maksudnya, etika Al-Qur’an yang telah ditemuka dan disistemamatikakan tadi, kemudian diharapkan pada kontek kehidupan konkrit dewasa ini, dan dipergunakan untuk menetapkan pandangan Al-Qur’an terhadap sesuatu persoalan kontemporer.

C. Catatan Kritis
Dalam batasan ini, gerakan neomodernisme dapat dipahami dan cukup ideal. Bahkan, cendrung dapat diterima sebagai gerakan alterantif yang muderat dan bijak. Bagi umat Islam, konsef-konsef neomodernisme terkesan elitis dan terlalu rumit, sehingga sulit dipahami : term-term yang dipakai terlalu asing bagi kalangan umum, sehingga untuk memahaminya membutuhkan para penterjemah yang popular. Inilah resikonya, dan disinilah barangkali letak problem gagasan-gagasan Rahman dalam tataran implmentasi. Namun, berkat peningkatannya pendidikan umat Islam, maka belakangan ini tampak bahwa pemikiran neomodernisme secara bertahap mulai dipahami. Diantara problem yang lain adalah, karena sebagai gerakan intelektual, neomodernisme tampakanya tidak beropsesi terlembagakan apalagi menjadi sebuah ideology transformative. Hal ini menimbulkan kesan bahwa gerakan ini pandai berteori, kurang menggigit, dan hanya mampu bersikap “ manis-manis saja ” di depan ketidak adilan dan kezaliman. Apalagi, kesan demikian ditambah dengan keengganan para pelopornya yang tidak berkecimpungan lanngsung pada persoalan yang riil umat dengan dalil profesional.

Islam dan Modernitas
Metafisika dalam pemahaman ini, adalah kesatuan pengetahuan yang memberi makna dan orientasi bagi kehidupan. Karena kesatuan adalah kesatuan pengetahuan, bagaimana mungkin hal itu bersifat subjektif semuanya? Ini adalah keyakinan yang dilandasi pengetahuan. Tidak banyak yang muncul dari metafisika Islam, paling tidak pada masa modern. Pada abad pertengahan, muncul ahli-ahli metafisika Muslim yang beberapa diantaranya brilian, orisinal, berpengaruh, tapi basis utama keseluruhan pandangan dunia mereka pemikiran Hellenis, bukan Al-Qur’an. Beberapa dokrin mereka tidak mengenakkan para ortopdoks, yang membuat mereka demikian ketakutan dan akhirnya menganggap pemikiran metafisika sebagai pemikiran yang terkutuk hingga bebereapa abad selanjutnya. Mengenai tujuan umat islam untuk mengislamkan sejumlah bidang kajian, harus diakui bagaimanapun juga, maksud ini hanya dapat dijalankan, jika umat Islam secara efektif melaksanakan tugas-tugas intektual untuk menjabarkan metafisik Islam atas vdasar Al-Qur’an. Suatu pandangan dunia Islam pertama-tama haruslah, kalaupun untuk sementara, diupayakan apabila berbagai lapangan khusus dari upaya-upaya intelektual mau dipadukan sebagai dijiwai oleh Al-Qur’an.
Jadi, pokok seluruh masalah “memodernisasi” pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produkvitas intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam, yang pada umumnya telah berhasil ditanamkan oleh system pendidikan madrasah, adalah masalah perluasan wawasan intelektual muslim dengan cara menaikan standar-standar intelektulnya. Karena perluasan adalah fungsi dari penaikan kepada ketinggian. Sebaliknya, semakin anda turun, semakin sempit pila ruang yang terliput oleh wawasan anda yang sempit. Dan disini nampak kontras yang menyolok antara sikaf-sikaf Muslim yang actual dengan tuntutan Al-Qur’an. Al-Quran memberikan nilai yang sangat tinggi kepada ilmu, dan Rasulullah sendi diperintahkan untuk berdo’a kepada Tuhan. Dal Al-Qur’an sendiri berpandangan bahwa semakin banyak ilmu yang diniliki seseorang, akan semakin bertambah pula iman dan komitmennya terhadap islam. Secara mutlak tidak ada pandangan mengenai hubungan antara ilmu dan iman yang bisa disumberkan dari Al-Qur’an. Tetapi inilah justru tepatnya poin yang rahman ajukan bahwa suatu ilmu yang tidak meluaskan ufuk wawasan dan tidakkan seseorang adalah ilmu yang setengah matang dan berbahaya. Bagaiman orang bisa memperoleh pengetahuan tentang tujuan-tujuan akhir kehidupan yakni nilai-nilai yang lebih tinggi, tanpa pengetahuan realitas yang aktual. Apabila para modernis Muslim tidak melakukan sesuatu yang lain, berarti mereka telah mengambil bukti yang sedemikian besar itu akan perlunya secara mutlak bagi iman pengetahuan akan alam semesta, tentang manusia dan tentang sejarah, yang di lip servicekan oleh kaum Muslim pada masa sekarang ini.
Tetapi, berlawanan dengan ini, sikap kaum Muslim terhadap pengetahuan pada abad-abad pertengahan yang akhir adalah demikian negatif hingga bila oaring memperbandingkan dengan Al-QAur’an, ia pasti akan betul-betul kaget. Menurut sikap ini, ilmu yang tinggi dan iman bersifat disfungsional satu terhadap yang lain dan peningkatan yang satu berate kemunduran bagi yang lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tanpak sebagai betul-betul sekular, seperti pada dasarnnya semua pengetahuan positif yang modern sungguh, bahkan ilmu-ilmu agama yang modern adalah secular, atau kalaupun tidak dipandang demikian, ia bisa dipandang sebagai secara positif merugikan iman. Ada beberapa sebab timbulnya perbedaan-perbadaan yang merusak ini. Pertama yaitu adanya ketakutan terhadap filsafat dan intelektualisme pada umumnya. Alasan lain yang penting adalah, bahwa suatu ilmu dari kelompok disiplin-disiplin ortodoks, khususnya hukum, hampir-hampir bisa dikatakan sebagai paspor yang meyakinkan untuk memperoleh pekerjaan, sementara matematikan atau ilmu astronomi hanya merupan sumber yang kecil bagi penghidupan, apalagi kemansyuran, dal ilmu kedokteran diakui sebagai perlu walaupun merupakan upaya yang rendah.(Abu Hamid) Al-ghazali (1058-1111), dalam kritiknya atas slogan korps kedokteran zaman pertengahan yaitu “Jasad dahulu, baru agama (jiwa)”, ini merupakan sikap ortodoks zaman pertengahan terhadap ilmu kedokteran ketika ia mengatakan slogan-slogan yang menarik seperti itu orang-orang kedokteran berkehendak untuk menipu masyarakat awam mengenai urutan prioritas yang sebenarnya. Apapun alasanya, kontras yang menyolok antara Al-Qur’an dan upaya ilmiah Muslim abad pertengahan adalah nyata sekali.
Halangan pertama yang penting bagi usaha pembaruan apapun adalah fenomena yang saya sebut sebagai neorevivalisme atau neofundemantalisme. Sebelum muncul modernisme klasik, telah ada suatu revivalisme atau fundamentalisme sejak abad delapan belas. Gerakan “wahabi” di Saudi Arabia dan fenomena pembaharuan yang sejalan dengan ingin merekontruksi spritualitas dan moralitas islam atas dasar suatu langkah kembali kepada kemurnian awal islam. Fundementalisme post modernis sekarang ini, dalam satu hal yang penting, adalah suatu fenomena yang baru karena dasarnya adalah anti barat. Dari sinilah muncul sikap yang mengutuk modernisme klasik sebagai kekuatang yang menbaratkan. Jadi, sementara kaum modernis sibuk dengan atraksi Barat, maka kaum neorevivalis juga dihantui Barat melalui gaya penolakannya. Hal yang terpenting yang paling mendesak untuk dilakukan dalam pandangan ini adalah “melepaskan kaitan” secara mental dengan Barat dan menanamkan suatu sikaf yang independent namun penuh pengnertian terhadapnya, sebagai terhadap peradaban-peradaban lainnya, walaupu lebih khususnya terhadap Barat , karna ia merupakan sumber dari banyak perubahan social yang terjadi diseluruh dunia.
Kedua, upaya-upaya penbaharuan yang sedemikian jauh telah dilakukan, telah terjadi dalam dua arah. Dalam arah yang pertama yaitu, pembaharuan ini telah hamper seluruhnya dalam karanngka pendidikan tradisional itu sendiri. Digerakkan sebagian besar oleh fenomena pembaharuan pra-modernis, yang dorongannya masih berlanjut sejauh tertentu, pembaharuan ini telah cendrung menyederhanakan silabus pendidikan tradisional, yang dilihatnya serat dengan materi-materi tambahan yang tak perlu seperti teologi zaman pertengahan, cabanng-cabang filsafat tertentu seperti logika, dan segudan karya tentang hukum. Pada arah yang kedua, sutu keragaman telah terjadi, yang bisa diringkas dengan mengatakan bahwa ragam-ragam perkembangan tersebut mencerminkan upaya untuk menggabungkan dan memadukan cabang-cabang penngetahuan lama.
Pada masa sekarang, pada dasarnya tidak ada karena sifat pengajar yang umumnya mekanis dan karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis dan karena persandingan hal-hal yang lama dengan yang baru. Memang benar bahwa pembaharuan ini dihadapkan pada lingkaran setan dalam hal bahwa, disatu pihak, kecuali bila guru-guru yang memadai bisa diperoleh, yang memiliki pikiran-pikiran yang sudah terpadu dan kreatif, pengajaran akan tetap tinggal mandul sekalipun murid-murid mempunyai kemauan dan bakat, sementara dilain pihak, guru-guru seperti itu tidak akan bisa dihasilkan dalam skala yang mencukupi kecuali bila diciptakan kurikulum yang terpadu secara substansi. Lingkaran setan ini hanya bisa diputuskan pada poin-poin sebagai berikut:
1. Apabila muncul beberapa pemikiran yang berotak cemerlang, yang bisa menafsirkan hal-hal yang lama dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi, dan menjadikan hal-hal yang baru sebagai alat-alat yang berguna untuk hal-hal yang lama dalam identitas. Dan selanjutnya, ini harus diikuti dengan penulisan buku-buku deras yang baru tentang teologi, etika dan sebagainya. Pemikiran seperti itu tidak bisa diciptakan begitu saja, tetapi tentu ada yang bisa dikerjakan dalam hal ini, yakni mengrekrut bakat-bakat terbaik ada menyediakan insentif yang perlu bagi karir intelektul yang berkomitmen pada bidang ini.
2. Suatu problem penting yang telah menjawab wabah dimasyarakat-masyarakat Muslim semejak tibanya fajar demograsi bagi mereka adalah hubungan yang ganjil antara agama dengan politik, dan tundukannya yang pertama kepada yang kedua.
Sungguhpun demikian, saluran tunggal yang paling penting dari kedua jenis pembaharuan yang terakhir ini adalah pewawasan yang tepat atas prioritas-prioritas dan penyelamatan agama dari cengkraman politik praktis yang ugal-ugalan itu yaitu pendidikan itu sendiri.

Beberapa Pertimbangan Kearah Penyelesayan Maslah
Menuju suatu pemahaman atas Islam.
Langkah esensi pertama untuk memutuskan lingkaran setan yang bagi kaum Muslim, adalah membuat pembedaan yang jelas antar Islam normatif dan Islam histories. Kecuali bila dilakukan upaya-upaya yang efektif dan tunjangan kearah ini, tidak akan ada jalan yang nampak bagi penciptaan jenis pikiran Islam. Dalam bab tersebut saya juga mengindikasikan bagaiman pencegahan kembali ini bisa dilakukan yakni dengan mempelajari pertannyaan-pertanyaan social dan ketetapan-ketetapan hukumnya dalam sianran ajaran moral umumnya, dan khususnya, dalam dampak tujuan-tujuan atau prinsip-prinsip, kalau ungkapan ini lebih disukai yang dinyatakan disatu pihak.
Untuk meringkas jawaban saya bagi persolan-persoalan yang penting yaitu :
Mereka yang disebut kelompok fundementalis dan modernis telah tampil dengan jawaba-jawaban yang sangat berbeda untuk beberapa isu pokok menurut lingkungan masing-masing, tetapi tak satupun dari keduanya yang mempunyai metode yang cukup jelas untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Neo-revivalis tidak mempunyai metode yang layak selai disebut bereaksi, dalam isu-isu social penting tertentu, terhadap kaum modernis klasik. Kaum modernis klasik tidak juga tidak mempunyai metode selain menangani isu-isu yang bagi mereka tampaknya memerlukan penyelesaian bagi masyarakat Muslim, tetapi yang secara histories berasal dari inspirasi barat dan yang mereka coba untuk menyelesaikannya, seringkali dengan hal yang masuk akal, dengan sinaran ajaran Al-Qur’an. Kaum revivalis pra modernis, mereka secara pasti telah bekerja dalam lingkaran Islam tradisional dan menemukan bahwa kehidupan individu di masyarakat kaum Muslim telah dibanjiri takhayul-takhayul yang memerosotkan yang menurut monoteisme Al-Qur’an, merupakan bentuk syirik dan karena perlu dibrantas.
Dalam permasalahan penafsiran Al-Qur’an, para penafsi harus menggunakan metode yang jelas dan didalamnya terdapat unsur-unsur tradisional, supaya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan kesana kemari. Dan setiap penafsir menyatakan secaria eksplisitn asumsi-asumsi serta premis-premis khususnya berkenaan dengan penafsiran Al-Qur’an pada umumnya, dan asumsi-asumsi dan premis-premis khususnya berkenaan dengan penafsiran Al-Qur’an berkenaan dengan masalah dan penggalangan dalam Al-Qur’an. Penafsiran-penafsiran yang seperti itu bisa dilakukan oleh sarjana-sarjana secara individual, tetapi juga bisa dilakukan secara kelompok-kelompok kerja. Apa yang pasti adalah bahwa harus ada beberapa upaya, sehingnga melui diskusi dan perdebatan, masyarakat bisa menerima beberapa penafsira dan membuang penafsiran yang lain.

Rekontruksi Sains-sains Islam
Periode Historis
Proposisi bahwa hokum dan lembaga-lembaga syari’ah harus bersumber secara metodik dan sistematis dari Al-Qur’an dan taladan Rasul (yakni, perilaku total beliau) dalam cara yang dilukiskan diatas tidak berarti bahwa sains-sains Islam, sebagai mana telah bermula dan berkembanng secara histories, harus diabaikan atau dibuang. Sungguh sains-sains itu tidak bisa diabaikan atau dibuang karena alas an-alasan pokok tertentu.
Proposisi perumusan Islam yang bersifat hukum, teologis, spiritual tidaklah bisa diabaikan ataupun dibuang, yang terdiri dari dua bagian:
Pertama, adalah bahwa apabila kita memandang Al-Qur’an dalam keadaan sekarang ini, seolah-olah ia baru saja diturunkan oleh karena itulah arti dari membuang Islam historis (dari persfektf ini, sunnah atau peri hidup rasul sendiri berfungsi, sebagiannya, sebagai Islam histories bagi pemahaman Al-Qur’an) kita bahkan tidak akan mampu untuk memahaminya. Secara religius, tak syak lagi Al-Qur’an harus di anggap seolah-olah diwahyukan kepada nurani tiap orang beriman, dan kaum sufi kadang-kadang melakukan hal ini secara ekstrem, tetapi ia hanya bisa dianggap diwahyukan kepada nurani seorang beriman sesudah ia dipahami dengan selayaknya, yang menuntut orang untuk menempatkan ajaran-ajaran sosial dan hukumnya dalam latar historisnya.
Kedua, dari arti prosisis ini adalahbahwa kita harus melakukan kajian yang menyeluruh, kajian histories dan sistematis, mengenai perkembangan-perkembangan disiplin Islam. Ini terutama merupakan kajian kritis yang akan memperlihatkan kepada kita sejarah perjalan Islam di tangan kaum Muslim. Akan tetapi, dalam batasan-batasan agama, pada akhirnya, hal ini akan dinilai oleh criteria Al-Qu’an sendiri, Al-Qur’an sebagai mana yang akan kita pahami melalui prosedur yang dipaparkan diatas. Kebutuhan akan kajian yang kritis atas masa lampau Islam intelektual menjadi makin mendesak, disebabkan oleh hanya kompleks psikologis yang telah tumbuh dalam diri kita dalam menghapi Barat. Kita lalu mempertahankan masa lampau tersebut dengan sepenuh jiwa. Kepekaan kita terhadap beberapa bagian atau aspek dari masa lampau itu pada umumnya telah kita anggap sakral.kepekaan paling besar terpaut pada hadis, walaupun pada umumnya diakui bahwa kecuali Al-Qur’an, semua yang lain taak lepas dari kemunngkinan campur tangan sejarah yang merusak. Lebih lanjut, apabila suatu hadist tertentu terlihat tidak memiliki dasar yang kuat secara histories, ia tidaklah perlu dibuang begitu saja, karena mungkin ia mengandung sebuah prinsip yang baik, dan sebuah prinsip yang baik, tak perduli dari manpun datangnya, haruslah kita pakai.

Rekonstruksi Sistematis
Teologi
Sebuah kritik histories terhadap-perkembangan-perkembangan teologi dalam Islam adalah langkah pertama ke arah rekonstruksi teologi Islam. Kritik ini, haruslah mengungkapkan lingkup ketidak sesuain terhadap pandangan Al-Qur’an dengan berbagai aliran spekulasi teologis dalam Islam dan menunjukkan jalan ke arah suatu teologi baru. Dengan mengesampingkan berbagai doktrin teologis yang bersifat spekulatif dan berlebih-lebihan dari kaum Bathini (esoterisis Islam) dan bannyak kaum sufi, aliran-aliran rasional (Mu’tazilah) dan tradisionalis (Asy’ariyah) yangn bertentangan, memberikan pelajaran yang efektif dalam masalah yang sangat peka ini. Fundementalisme pra-modernis meyakini bahwa semua bangunan-bangunan pemikiran teologis sesungguhnya adalah penjara-penjara, atau pada akhirnya tanpa bisa dielakkan lagi pasti menjadi penjara, dan bahwa agama lebih baik tanpa teologi, yang dalam pandangannya ialah suatu kejahatan terhadap agama.
Filsuf-filsuf penyair Muhammad Iqbal telah mengusahakan suatu pendekata baru terhadap teologi Islam dalam bukunya Reconstuction of religious thought in Islam. Iqbal adalah seorang pengkaji filsafat Barat modern dan mistisisme Islam yang cerdas dan bersemangat, tetapi ia bukan sarjana tradisi teologi atau sarjana Al-Qur’an. Iqbal nampaknya telah dengan tepat memahami bahwa dorongan utama Al-Qur’an adalah dinamis dan berorientasi kepada tindakan berusaha mengarahkan sejarah pada pola nilai spiritual dan mencoba menciptakan suatu tata dunia. Iqbal tidak melakukan penyelidikan yang sistematis kedalam ajaran-ajaran Al-Qur’an tetapi mencomot dan memilih dari ayat-ayatnya untuk membuktikan tesis-tesis yang paling tidak sebagian daripadanya adalah hasil pandangan umumnya terhadap Al-Qur’an tetapi yang diatas segalannya, tanpak baginya cocok dengan sebagian besar kebutuhan-kebutuhan masa kini dari masyarakat muslim yang macet. Untuk penafsiran Al-Qur’an tanpa kajian sistematis pandangan dunia Al-Qur’an tidak akan bisa dimunculkan.

Hukum dan Etika
Etika Al-Qur’an, sungguh, adalah esensinya, dan juga merupakan mata rantai yang perlu antara teologi dan hukum. Memang benar Al-Qur’an cendrung mengkonkritkan hal-hal yang bersifat etis, untuk membungkus hal-hal yang umum dalam suatu paradigma khusus, dan menerjemahkan hal-hal yang bersifat etis kedalam perintah-perintah yang bersifat hukum atau setengah hukum. Tetapi ini merupakan tanda semangat moralnya bahwa Al-Qur’an tidak puas hanya dengan proporsi-proporsi etis yang bisa digeneralisasikan, tetapi mendesak menterjemahkan kedalam paradigma-paradigma aktual. Dan Al-Qur’an selalu menjelaskan tujuan atau prinsif-prinsif yang menjadikan esensi hukum-hukumnya.
Al-Qur’an menyebutkannya sebagai petunjuk bagi umat manusia dan istilah yang sma menandai dokumen-dokumen wahyu yang sebelumnya. Konsef moral yang sentralnya bagi manusia adalah taqwa, tetapi dalam berbagai konteks Al-Qur’an bisa didefisikan sebagai keadaan mental yang bertanggung jawab dari man tindakan-tindakan manusia bersumber, tetapi yang mengakui kriterial yang penilain tindakan-tindakan tersebut terletak diluar dirinya.
Nilai-nilai moral adalah poros yang penting dari keseluruhan system, dan dari nilai-nilai tersebut tumbuhlah hukum. Karenanya, hokum adalah bagian terakhir dari mata rantai ini dan mengatur semua pranata agama, sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Karena hukum harus dirumuskan atas dasar nilai-nilai moral, dengan sendirinya ia akan berhubungan secara organis dengannya. Akan tetapi, karena hukum mengatur kehidupan keseharian masyarakat, dalam setiap perubahan sosial ia harus ditafsirkan kembali.

Filsafat
Dalam Islam zaman pertengahan, dengan berbasis femikiran filsafat Yunani, serangkaian pemikiran yang cemerlang dan orisinal telah membangun suatu wawasan sistematis dan komprehensif dengan konsef-konsef kunci dan doktrin-doktrin Islam tertentu yang hasilnya memberikan kepuasan kepada diri mereka dan banyak kaum intelegensi Muslim yang berpikir canggih. Filsafat adalah suatu kebutuhan intelektual yang abadi dan mesti dibiar tumbuh subur baik demi dirinya sendiri maupun demi disiplin yang lain, karena ia menanamkan senmangat kritis analitis yang sangat diperlukan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadi alat intelektual yang penting bagi sains-sains lain, tak kuranng bagi agama dan teologi. Karena suatu bangsa yang membuang kekayaan filsafatnya berarti mencampaka dirinya dalam bahaya kelaparan dalam hal gagasan-gagasan segar atau melakukan bunuh diri intelektual. Pelahiran gagasan-gagasan pada filsafat pada dasarnya adalah fungsui dari kegiatan kritis analitisnya. Fungsinya adalah menganalisis data pengalaman-pengalaman indera, pengalaman estitika, ataupun pengalaman agama. Oleh karena itu, filsafat bukanlah saingan teologi, tetapi pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia yang sebagianya disediakan oleh filsafat. Filsafat Muslim pada zaman pertengahan hanyalah satu jenis tertentu dari sistem filsafat, kita mesti bertanya apakah bijaksana atau tepat untuk melarang seluruh filsafat. Jumlah filsafat bisa mencapai beberapa saja, tergantung pada sudut pandang, asumsi-asumsi yang dibuat oleh seoranng filsuf tertentu, dan masalah-masalah yang dicoba untuk diselesaikan, yakni masalah-masalah yang dianggap paling penting, apakah dibidang metafisika, etika, episteminologi, logika atau apa saja. Mengatakan bahwa semua filsafat dengan sendirinya bertentangan dengan teologi tidak hanya naif tetapi juga berbahaya. Saya berani mengatakan, bahwa bagi Al-Qur’an, pengetahuan yakni penciptaan gagasan-gagasan adalah suatu kegiatan yang bernilai paling tinggi. Kalau tidak demikian, mengapa Al-Qur’an memerintahkan kepada Nabi umtuk terus berdoa bagi peningkatan ilmu? Apakah pelarangan atau pengecilan semangat untuk melakukan pemikiran murni sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an tersebut? Apa yang ditakuti Islam dari pemikiran manusia dan mengapa? Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh pengawal-pengawal agama, yang ingin mengurus agama dalam rumah kaca, tertutup dari udara terbuka.

Ilmu-Ilmu Sosial
Ilmu sosial sebagai sosok pengetahuan yang disistematisasikan, yakni sebagai disiplin-disiplin ilmu, adalah suatu fenomena modern. Ilmu-ilmu tersebut tak syak lagi merupakan perkembangan yang sangat penting, karena menjadi manusia yang ada dimasyarakat menjadi obyek kajiannya, ilmu-ilmu tersebut bisa bercerita banyak kepada kita tentang bagaimana kelompok-kelompok manusia sesungguhnya berprilaku dalam berbagai lapangan keyakinan dan tindakan manusia. Pada permulaan bab ini, saya telah mengatakan sesuatu tentang hasrat kaum Muslimin untuk menngislamkan ilmu-ilmu atau sosok-sosok pengetahuan ini. Ilmu-ilmu social yang terbaik adalah sejarah apabila dikerjakan dengan baik dan obyektif. Karena sejarah, dalam lingkupnya yang panjang, mengandung pelajaran dengan sesuatu cara dimana bisa dikatakan bahwa suatu kajian tentang penduduk asli. Minsalnya, sejarah makro, bila benar-benar dikerjakan dengan baik, adalah wujud pengabdian terbaik yang biasa diberikan oleh seorang ilmuwan sosial kepada umat manusia. Inilah alasannya mengapa Al-Qur’an terus menerus mengajak kita untuk berjalan dimuka bumi dan melihat nasib akhir bangsa-bangsa.
Ilmuan-ilmuan sosial yang mempelajari masyarakat-masyarakat konterporel dihadapkan pada pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh sejarah umat manusia, tanpa memandang apakah masyarakat-masyarakat dahulu menyadari atau tidak, adalah tidak bisa dibagi-bagi dalam arti bahwa kekuatan-kekuatan manusialah yang merupakan dasar dari sejarah adalah sama diseluruh dunia. Inilah pasti pandangan Al-Qur’an, yang secara unik bebas dari genetik dan keturunan. Didalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali apa yang disebut sebagai pemikiran sosial.









KESIMPULAN

Biografi
Fazlur rahman lahir di Pakistan sekitar pada tahun 1919-1988. lahir dan besar di koloni inggris yang kemudian menjadi Negara Pakistan. Ia menampakkan karil akademis yang membawanya meraih gelar akademik di Universitas Punjab dan Oxford. Semejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga dan tradisi mazhab Hanafi yang terkenal rasional itu. Ia juga memberi kulyah filsafat Islam di Inggris dan Kanada. Pada tahun 1961.

Karya dan Pemikirannya
Perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga periode : periode Pertama, sekitar tahun 50-an, yaitu Kritik Atas Pemikiran Islam dan Modernisme. Dalam periode ini yang yang dipaparkan adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran pada bidang religion filosofis.
2. Lebih menekan pada pendekatan kritik histories dari pada normative.
3. Dasar-dasar neomodernismenya mulai tampak pada sikap muderat dan kritisnya pada pemikiran islam klasik, pemikiran Islam modern, dan pandangan orientalis terhadap Islam.
Periode kedua yaitu di Pakistan sekitar tahun 60-an, yaitu “ Islam dan Tantangan Modernisasi” . Pada periode kedua, Rahman terlibat langsung dalam kontrofersi antara tiga kekuatan islam : modernis – dimana ia ada di dalamnya, tradisionalis dan fundamentalis dalam menyelesaikan berbagai problem tentang islam dalam konteks Negara, social serta persoalan – persoalan modernisasi yang lain. Di sinilah ia ditantang untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan – tantangan dan kebutuhan – kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer di Pakistan.
Pertentangan antara kelompok Muslim trdisionalis, fundamentalis, dan modernis dalam mendefinisikan Islam semacam ini memaksa Rahman mengedepankan hasil studinya.
1. Rahman mengagendakan beberapa problem serius umat islam di Pakistan. Yakni, problem pertahanan, problem pembangunan, problem problem pendidikan dan problem kesejahteraan social.
2. Sehubungan engan upaya pemecahan problem – problem tersebut, maka di perlukan suatu rekonstruksi terhadap masyarakat Muslim Pakistan yang menjamin penyelesaian problem – problem tersebut.
3. Upaya rekonstruksi masyarakat Muslim, dan upaya penyelesaian problem – problem harus didasarkan pada sudut pandang al – Qur’an dan sunnah ini harus melalui suatu metodologi yang tepat ; yaitu melalui pendekatan studi kritis – histories , komprehensif, sisitematis, dan sosiologis ( tentang pendekatan ini dijelaskan pada bagian setelah ini.

Periode ketiga di Chicago sekitar tahun 70-an. Yaitu “Neomoderisme an Metodologi studi islam“. Rahman membagi gerak pemikiran islam menjadi empat. Pertama, revivalisme pramodern diabad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke- 19 seperti gerakan wahabi: kedua, modernasisme klasik diabad ke-19 sampai dengan abad awal ke-20 yang dipelopori oleh Mohammad Abduh: ketiga, neorevivalisme disekitar abad ke-20 seperti dipelopori oleh Sayyid Quttub; dan, ke empat neomodernisme disekitar tahun 70-an yang dipelopori oleh Rahman sendiri. Menurut Rahman, lahirnya gerakan pemikiran yang ua pelopori ini merupakan reaksi terhadap neorevivalisme, dan kritik terhadap modernisme klasik. Tetapi, ia juga sebagai kelanjutan dari gerakan tersebut. Sebagai gerakan lanjutan yang kritis, neomodernisme menawarkan paradigma baru. Neomodernisme Rahman, merupakan tawaran pendekatan studi Islam khususnya terhadap Al-Qur’an melalui tiga kerangka besar yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain:
1. Upaya perumusan pandangan dunia atau teologi yang mengakar pada Al-Qur’an yang dapat dipahami secara kontemporel.
2. Upaya perumusan etika Al-Qur’an yang merupakan mata rantai penghubung esensial antara teologi dan hukum.
3. Upaya reformasi hukum-hukum dan pranata-pranata Islam modern yang ditarik dari etika Al-Qur’an dengan mempertimbangkan situasi ekologis masa kini. (Taufik, 1990 : 133).

Catatan kritis
Gerakan neomodernisme dapat dipahami dan cukup ideal. Bahkan, cendrung dapat diterima sebagai gerakan alterantif yang muderat dan bijak. Bagi umat Islam, konsef-konsef neomodernisme terkesan elitis dan terlalu rumit, sehingga sulit dipahami : term-term yang dipakai terlalu asing bagi kalangan umum, sehingga untuk memahaminya membutuhkan para penterjemah yang popular.
Kepemimpinan Perempuan Dalam Pandangan Islam

boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden seakan tak ada habisnya. Tapi sekarang fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah merevisi pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita dalam konteks negara.
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun mengatakan, Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden wanita asal sesama muslim. (Media Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan Megawati, telah bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden Indonesia sampai 2004 (Rakyat Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid dengan mengatakan bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita sebagai presiden/kepala negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang wanita menjadi presiden. Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001, menyatakan, hendaknya umat Islam Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati sebagai kepala negara. Sebab, penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan perempuan dalam entitas negara ini juga terlihat dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit diآ atas, benarkah Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh parpol-parpol Islam dan para intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan apakah wanita boleh atau tidak menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT :
Katakanlah,Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua. (QS Al Araaf : 158)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.(QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syara dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syaria (seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash syara, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.†(Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syarat yang mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syarat demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syarat Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Lafazh umum yang telah dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang tidak dikhususkan). (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syarat, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimanaآ laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syara apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 255-257)
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah¦ (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan. Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra) . Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (’aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumunâ€. Selain itu, tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish†(Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut.
Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga.
Memang ayat 34 dari surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu â€کala ar ra’aaya .†(Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)
3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima.
Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.
4. Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara.
Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda antara qadhi dan kepala negara.
5. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima.
Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena landasan syara adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma Shahabat dan Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai landasan syara. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.
Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syara Man Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu (QS Al Maaidah : 48)
Dalam hal ini para ulama Asyariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal. 209)
6. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi.
Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)
Penutup
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ’sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan kepentingan politik dan hawa nafsu manusia. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan negara Khilafah Islamiyyah-lah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslimin dapat dipecahkan dengan sahih. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]
- - - - -
*Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis†diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan Studi Mahasiswa) Universitas Janabadra, Yogyakarta, Ahad, 2 September 2001
'Kepemimpinan Perempuan Dalam Pandangan Islam'
Bagaimanapun pintar, hebat, cantik (???) seorang perempuan, bagi saya sebagai salah seorang cewek, tetap setuju kalo laki-laki selangkah lebih maju dari perempuan. Para kaum feminis muslim terlalu membabi buta dalam menyuarakan kebebasan/kesetaraan gender, padahal AlQur’an dah jelas2 mengatakan kalo tidak ada perbedaan antara kaum laki2 dengan kaum perempuan kecuali ketaqwaannya.
Sudah saatnya kita kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup kita, dan dah saatnya kaum feminis muslim tu sadar bahwa tidak ada keraguan lagi di dalam Al-Qur’an.
AlQur’an bersifat universal, dia akan selalu sesuai dengan perkembangan jaman, tidak ada yang namanya Islam dan Al-Qur’an yang ketinggalan jaman seperti yang diusungkan oleh para musuh Islam, justru jamanlah yang harus menyesuaikan diri dengan AlQur’an, setuju gak??? kalo gak, berarti kemungkaran, kesesatan, kehancuran akan menimpa kita.

Wanita Karir Dalam Pandangan Islam
Oleh : Tengku Azhar, Lc.
Diskursus tentang karir wanita dan wanita karir dewasa ini semakin hangat, terutama di negeri ini dan mendapat-kan dukungan serta perhatian serius dari berbagai kalangan, khususnya yang menamakan diri mereka kaum Feminis dan pemerhati wanita.
Mereka selalu mengangkat tema “pengungkungan” Islam terhadap wanita dan mempromosikan motto emansipasi dan persamaan hak di segala bidang tanpa kecuali atau yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan kesetaraan gender. Banyak wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama mereka yang tidak memiliki ‘basic’ keagamaan yang kuat dan memadai.
Karena merupakan masalah yang urgen dan berimplikasi serius, maka kajian kita kali ini mengangkat tema tersebut. Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fithrah mereka. Amîn.
Wanita Sepanjang Sejarah
Bagaimana perlakuan yang diberikan oleh peradaban dan agama di luar Islam terhadap wanita, diantaranya;
a. Yunani dan Romawi
Dua bangsa yang dulunya dikatakan memiliki peradaban yang “tinggi”ini, ternyata menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran.wanita tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberikan hak waris.wanita sepenuhnya tunduk dan hina di bawah kekuasaan pria secara mutlak.
b. Hindustan
Dalam syari’at bangsa ini dinyatakan, bahwa angin, kematian, neraka, racun dan api tidak lebih jelek dari wanita.
c. Yahudi
Bangsa dan agama Yahudi menganggap bahwasanya wanita adalah makhluk yang terlaknat karena wanitalah yang menyebabkan Adam melanggar larangan Allah hingga dikeluarkan dari Surga.sebagian golongan Yahudi menganggap wanita derajatnya adalah sebagai pembantu dan ayah si wanita berhak untuk menjualnya.
d. Nasrani
Sekitar abad ke-5, para pemimpin agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita, apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya? Atau ia memiliki ruh? Dan keputusan akhirnya mereka menetapkan bahwa wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari adzab neraka Jahannam kecuali Maryam ibunya Isa ‘alihis salam.
Kondisi Wanita di Dunia Barat
•Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya:
Pertama, terjadinya revolusi industri mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk menga-du nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan, mereka berharap menda-patkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara. Mereka mendapat upah yang rendah.
Kedua, kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah yang rakus sengaja mengguna-kan momen terjunnya kaum wanita dan anak-anak, dengan lebih memberikan porsi kepada mereka di lapangan pekerjaan, karena mau diupah lebih murah daripada kaum lelaki, meskipun dalam jam kerja yang panjang.
•Kehidupan yang dialami oleh wanita di Barat yang demikian mengenaskan, sehingga menggerakkan nurani sekelompok pakar untuk membentuk sebuah organisasi kewanitaan yang diberi nama “Humanitarian Movment” yang bertujuan untuk membatasi eksploitasi kaum kapitalis terhadap para buruh, khususnya dari kalangan anak-anak. Organisasi ini berhasil mengupayakan undang-undang perlindungan anak, akan tetapi tidak demi-kian halnya dengan kaum wanita. Mereka tetap saja dihisap darahnya oleh kaum kapitalis tersebut.
•Hingga saat ini pun, kedudukan wanita karir di Barat belum terangkat dan masih saja mengenaskan, meskipun sudah mendapatkan sebagian hak mereka. Di antara indikasinya, mendapatkan upah lebih kecil daripada kaum laki-laki, keharusan membayar mahar kepada laki-laki bila ingin menikah, keharusan menanggung beban peng-hidupan keluarga bersama sang suami, dan lain sebagainya.
Beberapa Dampak Negatif dari Terjunnya Wanita untuk Berkarir
Di antara dampak-dampak negatif tersebut adalah:
•Penelitian kedokteran di lapangan (dunia Barat) menunjukkan telah terjadi perubahan yang amat signifikan terhadap bentuk tubuh wanita karir secara biologis, sehingga menyebabkannya kehilangan naluri kewanitaan, tetapi tidak berubah jenis kelamin menjadi laki-laki. Jenis wanita sema-cam ini dijuluki sebagai jenis kelamin ke tiga. Menurut data statistik, kebanyakan penyebab kemandulan para istri yang bekerja sebagai wanita-wanita karir tersebut bukan karena penyakit yang biasa dialami oleh anggota badan, tetapi lebih diakibatkan oleh ulah wanita di masyarakat Eropa yang secara total, baik dari aspek materil, pemikiran maupun biologis lari dari fithrahnya (yakni sifat keibuan). Penyebab lainnya adalah upaya mereka untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam segala bidang. Hal inilah yang secara perlahan melenyapkan sifat keibuan mereka, banyaknya terjadi kemandulan serta mandegnya ASI sebagai akibat perbauran dengan kaum laki-laki.
•Di Barat, muncul fenomena yang mengkhawatirkan sekali akibat terjunnya kaum wanita sebagai wanita karir, yaitu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak-anak kecil berupa pukulan yang keras, sehingga dapat mengakibatkan mereka meninggal dunia, gila atau cacat fisik. Majalah-majalah yang beredar di sana menyebutkan nama penyakit baru ini dengan sebutan Battered Baby Syn (penyakit anak yang dipukul). Majalah Hexagon dalam volume No. 5 tahun 1978 menyebutkan bahwa banyak sekali rumah sakit-rumah sakit di Eropa dan Amerika yang menampung anak-anak kecil yang dipukul secara keras oleh ibu-ibu mereka atau terkadang oleh bapak-bapak mereka.
•DR. Ahmad Al-Barr mengatakan, “Pada tahun 1967, lebih dari 6500 anak kecil yang dirawat di beberapa rumah sakit di Inggris yang berakhir dengan meninggal sekitar 20% dari mereka, sedangkan sisanya mengalami cacat fisik dan mental secara akut. Ada lagi, sekitar ratusan orang yang mengalami kebutaan dan lainnya ketulian…setiap tahunnya, ada yang mengalami cacat fisik, ediot dan lumpuh akibat pukulan keras”.
•Para wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga tidak dapat memberikan pelayanan secara kontinyu terhadap anak-anak mereka yang masih kecil, karena hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk karir mereka.
•Berkurangnya angka kelahiran, sehingga pemerintah negara tersebut saat ini menggalakkan kampanye memperbanyak anak dan memberikan penghargaan bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang ada di dunia Islam.
Saksi Mereka Berbicara
•Seorang Filosof bidang ekonomi, Joel Simon berkata, “Mereka (para wanita) telah direkrut oleh pemerintah untuk bekerja di pabrik-pabrik dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya, akan tetapi hal itu harus mereka bayar mahal, yaitu dengan rontoknya sendi-sendi rumah tangga mereka”.
•Sebuah lembaga pengkajian strategis di Amerika telah mengadakan ‘polling’ seputar pendapat para wanita karir tentang karir seorang wanita. Dari hasil ‘polling’ tersebut didapat kesimpulan: “Bahwa sesungguhnya wanita saat ini sangat keletihan dan 65% dari mereka lebih mengutamakan untuk kembali ke rumah mereka…”.
Karir Wanita dalam Perspektif Islam
Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disitir di dalam Al-Qur’an , “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14).
Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Dienul Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membe-bankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.
Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.
Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.
Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.
Solusi Islam Terhadap Diskursus Karir Wanita
Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa bekerja ke luar rumah dengan persyaratan sebagai berikut:
•Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).
•Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan laki-laki asing; Sebab ada dampak negatif yang besar. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seo-rang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang me-rupakan) mahramnya”. (HR. Bukhari).
•Menutupi seluruh tubuhnya di hada-pan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik di da-lam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum)
•Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara. Firman Allah, “Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik”.(Al-Ahzab: 32)
•Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.
Penutup
Sudah waktunya kita memahami betapa agungnya dien ini di dalam setiap produk hukumnya, berpegang teguh dengannya, menjadikannya sebagai hukum yang berlaku terhadap semua aturan di dalam kehidupan kita serta berkeyakinan secara penuh, bahwa ia akan selalu cocok dan sesuai di dalam setiap masa dan tempat.