KLIK EMAIL DAPAT DOLLAR, KLIK DI SINI

exclusivemails.net

Kamis, 04 Februari 2010

KESALEHAN MENURUT JOHN CALVIN DAN IMPLIKASINYA BAGI ORANG PERCAYA

* View
* clicks

Posted May 15th, 2008 by Goodson

* Theologia

abstraks:

Kesalehan sebenarnya merupakan sebuah istilah yang masih samar dipahami oleh kebanyakan orang. Namun meskipun keseragaman pemikiran mungkin tidak dapat dicapai, setidaknya ada dua pandangan umum dalam kekristenan yang dapat mewakili aspirasi kita tentang makna kesalehan ini. Pertama, istilah kesalehan secara konkrit dihubungkan dengan orang yang lebih banyak menghayati imannya dengan cara bermeditasi, kontemplasi, rajin berdoa atau berpuasa. Orang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang saleh karena memiliki hubungan yang akrab dengan Allah.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kesalehan sebenarnya merupakan sebuah istilah yang masih samar dipahami oleh kebanyakan orang. Namun meskipun keseragaman pemikiran mungkin tidak dapat dicapai, setidaknya ada dua pandangan umum dalam kekristenan yang dapat mewakili aspirasi kita tentang makna kesalehan ini. Pertama, istilah kesalehan secara konkrit dihubungkan dengan orang yang lebih banyak menghayati imannya dengan cara bermeditasi, kontemplasi, rajin berdoa atau berpuasa. Orang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang saleh karena memiliki hubungan yang akrab dengan Allah.
Pandangan kedua menitikberatkan pada bagaimana manusia menyatakan kehidupan berimannya melalui kelakuan hidupnya, khususnya dalam kehidupan beragama. Dalam hal iniorang saleh diidentikkan dengan orang Kristen yang rajin ke gereja, rajin berbuat baik terhadap sesama, dan hidup sesuai dengan standar kekristenan yang berlaku. Kedua pandangan di atas mengedepankan dua aspek yang tersirat dibalik istilah kesalehan, yakni aspek batiniah dan lahiriah. Dengan demikian kesalehan berkaitan dengan nilai-nilai rohaniyang terkonvigurasi dalam tindakan religius.
Rentangan sejarah gereja menyaksikan bahwa pada umumnya usaha untuk memahami dan mempraktekkan kesalehan, merupakan reaksi terhadap doktrin gereja dalam realitas konteksyang ada. Ketidakpuasan terhadap apa yang ditawarkan gereja menumbuhkan sikap skeptis dan pesimis terhadap kekristenan. Orang percaya cenderung memilih jalan lain di luar gereja yang diyakini mampu memberikan kepuasan batin baginya. Sementara gereja tertantang untuk memberikan solusi, namun tanpa dibarengi pertimbanganyang komprehensif, sehingga cenderung menyesuaikan diri dengan konteks yang ada dan akhirnya kehilangan arah.
Gereja mula-mula yang bercorak Yudaisme mengembangkan suatu bentuk kesalehan yang berdasar pada ketaatan melakukan Hukum Taurat. Sikap ini berangkat dari pergumulan batin berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh komunitas tersebut, sepanjang masa penantian mereka akan kedatangan Mesias. Maka solusi yang didapat adalah, jika seseorang ingin mendapat bagian dalam kerajaan Mesias berarti ia harus memenuhi tuntutan Hukum Taurat.2 Secara lahiriah kelihatannya kelompok ini mampu menunjukkan sikap hidupyang benar dan saleh. Namun sebenarnya corak antroposentris yang lebih ditonjolkan. Akibatnya, kesombongan rohani dan eksklusifisme menjadi mentalitas gereja.
Di sisi lain, inkapabilitas Gereja Yunani abad mula-mula dalam menjawab sejumlah pertanyaan seputar kebutuhan manusia akan tujuan hidup dan dunia akhirat, serta inkulturasi budaya membawa manusia di ambang kebingungan akan standar hidup, moral dan agama. Kondisi ini mengakibatkanorang Kristen kemudian menyenangi agama-agama Timur yang baru mereka kenal. Agama-agama baru yang paling menonjol adalah pantheisme dan dualisme,3 yang sebenarnya merupakan penjabaran dari pengajaran para filsuf Yunani seperti Plato, Stoa dan Epicurus. Selanjutnya muncullah praktek-praktek kesalehan baru melalui beraskese dan berekstase4yang bertujuan mencapai kebahagiaan batin melalui usaha manusia.5
Nuansa baru kesalehan yang ditawarkan ini sebenarnya merupakan tradisi kuno bangsa kafir yang di daur ulang oleh para filsuf. Unsur-unsur magis sangat kental di sini, maka tak pelak lagi sinkritisme pun terjadi. Hal ini diteruskan dalam Gereja Roma Katolikyang begitu mudah mencampur-adukan ajaran Injil dengan cita-cita mistik. Gereja perlahan mengorbankan kesuciannya dan mulai kompromi dengan filsafat dunia. Salah satu contohyang cukup mencolok adalah perkawinan gereja-negara6 pada abad pertengahan. Gereja selanjutnya mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kekuasaan sosial dan politik.7
Kondisi di atas menghadirkan kesuraman spritual yang menstimulus munculnya pergeseran paradigma terhadap dunia yang diciptakan Allah. Hal ini membawa perubahan sikap dalam diri orang percaya, di mana menjalankan aktifitas sehari-hari dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Christian de Jonge melukiskan kondisi tersebut demikian: “Pada Abad Pertengahan kehidupan di dunia ini dinilai negatif.Orang Kristen yang sejati melarikan diri dari dunia, umpamanya ke biara, dan melepaskan semua hal yang berhubungan dengan dunia, terutama kekayaan dan uang”.8
Kehidupan biara sangat digandrungi karena dianggap sebagai tujuan utama dari kekristenan. Kesalehan pun identik dengan sikap pengecutyang mengungkung orang percaya dalam komunitas monastik. Orang tidak mau peduli lagi dengan keberadaan dunia sekitar dan hanya mementingkan kesalehan pribadi.
Lebih lanjut, dalam menanggapi mentalitas gereja yang demikian, J.I Packer merujuk kepada filsafat hedonisme yang dianggap sebagai salah satu akar dari kompensasi yang ditimbulkan di atas. Hal ini dijelaskan dalam buku Rencana Allah bagi Anda sebagai berikut:
Dunia Romawi-Yunani abad pertama dan sesudahnya sangat dicengkeram oleh mentalitas mengejar kenikmatan. Karena itu tidak heran jika Perjanjian Baru dan Bapa-bapa Gereja lebih banyak menentang kenikmatanyang berdosa daripada merayakan kenikmatan yang saleh.9 Pandangan ini diturunkan ke Abad Pertengahan, yang menganggap biara sebagai bentuk tertinggi dari Kekristenan.10

Rantai Gereja yang begitu mengikat jiwa manusia dan masyarakat inilah yang sama-sama hendak diputuskan oleh Reinassance dan Reformasi. Reinassance menggugah manusia untuk kembali mengoptimalkan daya akali-falsafatinya. Tatanan agamayang ada mulai digantikan dengan perwujudan agama akali baru.11 Spirit humanisme berkembang dan akhirnya bermuara pada teologi Liberal. Humanisme menjadikan ekspresidiri, pencarian diri, kesadaran diri dan pencapaian diri sebagai sasaran utama dalam hidup.12 Tokoh humanis terkemuka dari Belanda Desiderius Erasmus menyatakan bahwa “Gereja harus semakin dipengaruhi oleh semangat humanis, supaya lama-kelamaan Gereja dapat berbalik pada kesucianyang semula.”13
Kesalehan yang sungguh bertolak belakang dengan yang apa diajarkan oleh Gereja Katolik pun mulai dikembangkan. Jika sebelumnya orang disibukkan dengan usaha-usaha untuk mencapai kesalehan pribadi melalui pengasingan diri, maka dalam masa-masa ini orang disibukkan oleh kesenangan pribadi. Kesalehan kembali mengalami degradasi karena hanya berpatokan pada kenyamanan manusia belaka. Segala hal yang dapat menurunkan ketegangan hidup manusia dianggap baik dan suci.14
Kontras dengan Reinassance, Reformasi mengajarkan spirit yang lain dan membuka tonggak sejarah baru bagi Gereja. Ajaran Reformasi yang sangat berpengaruh bagi kesalehan adalah sikap dalam memandang dunia ini. Dalam hal ini pandangan Gereja Katolik dikritisir dan sikap baru yang dikembangkan adalah bahwa dunia bukan lagi tempat untuk dijauhi, melainkan tempat untuk menjalankan panggilan Allah. Dualisme antara yang rohani dan duniawi mulai tergeser karena iman langsung dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, “kesalehan disekularisasikan dan kehidupan sekuler pada semua bidang dirohanikan. Dalam kegiatan duniawi kesalehan dapat dibuktikan; dalam pekerjaan biasa dapat diberi makna rohani”.15
Reformasi mampu mewujudkan kesalehan yang benar dengan jalan melihat keseimbangan akan perkara duniawi dengan perkara rohani. Dalam arah ini, Calvin merupakan salah satu reformator yang mampu memberi warna khusus dalam kesalehan. de Jonge menyatakan: “Calvin termasuk aliran Reformasi yang berbeda dengan reformasi Luther, tidak memprioritaskan reformasi ajaran melainkan reformasi kehidupan baik kehidupan gerejawi maupun masyarakat secara umum”.16 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Philip Hughes dalam bukunya A Popular History of the Reformation: “No religious teacher ever laid more stress on the holiness of God’s Law thanCalvin , and as he exalts the law so does he exalt the notion of the Church of Christ as a power the actually rules of the Christian life”.17 Hughes melihat keistimewaan ajaranCalvin yang begitu mengagungkan kekudusan Hukum Allah dan kekudusan gereja-Nya yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Kristen. Spirit Reformasi Calvin ini kemudian hari juga berkembang di Inggris dalam Gereja Puritan.
Cita-cita luhur Reformasi tidak dapat dipertahankan seiring dengan situasi zaman yang melunturkan nilai-nilai. Hal ini juga didukung oleh kekecewaan terhadap sikap gereja yang berpuas diri dengan status quo yang dikenakannya. Kondisi gereja pasca Reformasi kembali mengalami pergolakan, yang sangat berpengaruh di segala aspek kehidupan. Dualisme dan sikap negatif terhadap dunia yang ditentang oleh para reformator kembali mewarnai gereja.
Sebut saja golongan Anabaptis dan Pietisme radikal yang lahir pasca Reformasi. Golongan Anabaptis radikal menolak untuk berpartisipasi dalam bidang pemerintahan demi mengindari kompromi dalam bidang sosial dan moral.18 Sementara di sisi yang lain, Pietisme juga cenderung menolak dunia ketimbang meneguhkan dunia. Penekanan pada kesalehan pribadi yang individualis merupakan kelemahan mencolok dari paham ini.19 Realitas yang harus dihadapi Gereja dalam kurun waktu ini sangatlah tidak mudah.
Sejak memasuki abad ke-20 orang Kristen harus berhadapan dengan modernisme agama. Seiring dengan itu, modul asketis-pietis yang bermuatan teologi konservatif maupun liberal, juga ikut mewarnai zaman ini.20 Keseimbangan antara iman dan devosi (kesalehan) yang berusaha ditegakkan oleh Reformasi pada masa ini kembali didikotomikan melalui pemisahan antara yang sakral dan sekuler.21
Jika kesalehan disejajarkan dengan yang sakral atau rohani atau religius, maka masihkah kesalehan dapat dipertahankan dalam konteks dunia yang sekularistik dan modernisme ini? Apakah menarik diri sekuat mungkin dari dunia merupakan pilihan yang tepat dalam memelihara iman dan kesalehan hidup kita; ataukah kita berusaha menembus yang sekuler dalam semua levelnya dengan bertolak pada perspektif Kristen? Masih adakah harmonisasi antara penghayatan kehidupan beriman secara batiniah maupun lahiriah dalam konteks dunia masa kini? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak sebagian besar orang Kristen tersebut, maka penulis tertarik mengangkat judul “Kesalehan Menurut John Calvin dan Implikasinya Bagi Orang Percaya” dalam skripsi ini. Penulis meyakini bahwa pemahaman akan konsep yang benar akan menghasilkan suatu tindakan yang benar pula. Oleh karena itu tanpa bermaksud mengecilkan spiritualitas yang ditanamkan oleh para reformis lainnya, penulis berharap menggali kembali nilai-nilai kesalehan dalam konsep teologis yang telah ditanamkan oleh John Calvin berabad-abad silam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sebenarnya orang percaya memahami tentang kesalehan sepanjang sejarah?
2. Bagaimana Calvin memandang kesalehan dan mendaratkan teologinya tersebut?
3. Hal-hal konkrit apa yang telah dilakukan oleh Calvin dalam mendukung konsep teologis yang dibangunnya?
4. Implikasi-implikasi apa yang diperoleh oleh orang percaya sebagai konsekuensi dari penjabaran konsep Calvin tersebut ?
C. TUJUAN KAJIAN
1. Agar pembaca memperoleh pemahaman yang historis-obyektif tentang konsep kesalehan sepanjang sejarah Gereja.
2. Agar pembaca dapat memahami konsep kesalehan dalam teologi Calvin berdasarkan argumentasi doktrinalnya.
3. Agar pembaca juga dapat menemukan bukti-bukti faktual tentang penerapan doktrin kesalehan sepanjang kehidupan Calvin.
4. Agar pembaca termotivasi untuk menerapkan kesalehan yang benar dengan melihat implikasi-implikasi yang mengikuti konsep Calvin tersebut.
D. RUANG LINGKUP KAJIAN
Pembahasan penulis mengenai konsep kesalehan dalam skripsi ini dibatasi hanya pada ajaran John Calvin saja. Penulis tertarik untuk menggali dari teologi Calvin karena menurut penulis sang pemikir sistematis dan organisatoris yang terampil tersebut memiliki keunikan dan nuansa berbeda dalam teologinya, khususnya dalam membahas tentang kesalehan dibanding para tokoh Reformator lainnya.
E. METODE PENULISAN
Untuk dapat sampai kepada tujuan yang diinginkan penulis, maka dalam skripsi ini penulis memakai metode penulisan analisis, deskriptif, menyangkut didalamnya interpretasi biblika. Yang dimaksud adalah penulis akan melakukan analisa historis berkaitan dengan pemikiran terhadap kesalehan sepanjang sejarah Gereja. Setelah itu penulis akan memaparkan hasil observasi dan analisis sesuai dengan teologi Calvin, serta menyiratkan argumentasi biblika yang digunakan Calvin. Dan terakhir, guna memperkuat penelitian tersebut, penulis akan menyajikan beberapa implikasi penting yang sangat relevan bagi kehidupan kekristenan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Merupakan bagian pembuka yang didalamnya penulisan menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan kajian, ruang lingkup kajian, metodologi dan sistematika penulisan.
Bab II Merupakan ulasan tentang berbagai polemik yang timbul berkenaan dengan kesalehan. Penulis menguraikan perkembangan pemikiran tentang kesalehan ini secara sistematis berdasarkan runtutan sejarah gereja, mulai abad mula-mula sampai abad modern.
Bab III Merupakan hasil observasi penulis tentang kesalehan dalam sudut pandang teologi Calvin. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan Calvin dan teologinya. Hal-hal tersebut menyangkut sejarah ringkas kehidupan Calvin; penjabaran konsep yang berkaitan dengan: definisi, dasar dan tujuan kesalehan, yang bertalian dengan inti pengajaran doktrinal Calvin; serta memberikan gambaran nyata tentang penerapan kesalehan dalam masa hidup Calvin.
Bab IV Merupakan uraian tentang implikasi doktrinal dari ajaran Calvin tentang kesalehan. Penulis meninjaunya dari segi teologis, ekklesiologis, etis-moral dan misiologis.
Bab V Merupakan bagian penutup dimana dalam bab ini penulis menarik kesimpulan dari karya tulisnya dan memberikan argumentasinya yang logis dan obyektif terhadap pandangan tokoh yang ditelitinya. Penulis juga dalam bab ini memberikan sumbangsih bagi orang percaya melalui saran-saran yang dikemukakannya. Di sini sikap dan posisi penulis akan nampak sebagai wujud pertanggungjawaban pribadi penulis terhadap karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar