KLIK EMAIL DAPAT DOLLAR, KLIK DI SINI

exclusivemails.net

Kamis, 04 Februari 2010

Fazlur Rahman dan Liberalisme Islam (di) Indonesia Oleh M. Ali Hisyam

buku_darimodernisme_k.jpgGugusan pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal (di) Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda.

Judul Buku:
Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia
Penulis:
Dr. Abd. A’la
Pengantar:
Prof. Dr. Azyumardi Azra
Penerbit:
Paramadina Jakarta, 2003 Tebal : xvi + 249 halaman (termasuk indeks)

Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.

Hari ini, kurang lebih 30 tahun setelahnya, gerakan pemikiran model ini kian berkibar dan mendapat tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Hanya saja, seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa dan berganti nama dengan “Islam liberal”. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesianis Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999). Semenjak saat itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal (Paramadina: 2001) dan digayung-sambuti dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan kontroversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan membiak ke berbagai arah.

Gugusan pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal (di) Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda. Menurut Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti Muhammadiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Salah satu contohnya adalah Abd. A’la, penulis buku ini. Secara praktis, paham Islam liberal sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan.

Sebaliknya, ia cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.

Berlatar panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’arif) sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini. Pada konteks itulah, buku ini hendak melacak sejauh mana pengaruh Fazlur Rahman terhadap pemahaman keislaman di Indonesia.

Penyingkapan akan hal tersebut, menurut A’la, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam pandangan A’la, terdapat—setidaknya—dua signifikansi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama, secara teoretis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur, kelak berhasil menjadi arus utama (mainstream) bagi gerakan pembaruan Islam berikut pembiakannya di Indonesia. Pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasannya (antara lain yang sangat menonjol adalah ide penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rekonstruktif dan “hidup”) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur pada akhirnya menawarkan alternatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran teologi (sebagian) umat Islam di Indonesia. Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”) yang disodorkannya, serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir. Penelusuran Abd. A’la dalam buku ini akhirnya bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi paradigma keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaruan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik.

Oleh karenanya, ke depan, diskursus Islam liberal di Indonesia tetap layak untuk digulirkan dan dikaji secara lebih menarik. Di tengah kondisi kehidupan manusia dalam global village ini, Islam liberal bisa hadir sebagai “mazhab” perekat solidaritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil. Pada titik inilah, karya Abd. A’la ini berperan sebagai wahana kreasi ulang (re-creation) bagi kiprah dan perjalanan pembaruan Islam di tanah air. Kini dan di masa mendatang, ia diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklim keberagamaan yang damai dan lapang. []

M. Ali Hisyam, editor buku, mahasiswa hubungan antaragama pascasarjana IAIN Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar