KLIK EMAIL DAPAT DOLLAR, KLIK DI SINI

exclusivemails.net

Rabu, 30 Desember 2009

Antara Akal dan Wahyu
Terkadang keunikan substansi wahyu dengan bahasanya yang khas, sering kali malah membuncahkan akal sehat kita. Alih-alih menjadi bahan pedoman hidup, naga-naganya justru “menyesatkan”! Tapi yang jelas, pernyataan ironis ini bukan dihendakkan untuk mencerca wahyu. Namun sekedar mengingatkan kita, betapa persoalan wahyu itu tidak sesederhana bentuk alif-ba literalnya yang biasa tertuang dalam teks-teks suci. Pelbagai persoalan pelik semacam otensitas wahyu, interpretasi wahyu, bahasa wahyu, dan beragam soalan lainnya. Merupakan sekian item kajian yang banyak berpengaruh terhadap pandangan kita atas masalah wahyu itu.
Walhasil, keberadaan matan-matan kudus selaku jelmaan wahyu terkadang memang bukan sebarang bacaan yang mudah dicerap oleh akal. Karenanya jangan aneh, jika seorang teolog kristen abad pertengahan semacam St. Anselm pun sempat berujar, “tidak terbersit olehku untuk berfikir, pertama aku harus paham lantas kemudian beriman. Tapi aku beriman hingga kupaham!” . Mirip halnya seperti ungkapan di atas, Malik bin Anas pun sempat juga berkomentar semacam itu. Suatu ketika Malik ditanya tentang maksud ayat al-Qur’an yang berbunyi, “ (yaitu) Tuhan yang maha pemurah, yang bersemayam di atas Arsy” (Thaha:5). Dia pun menjawab, “arti bersemayam sudahlah jelas, soal bagaimananya, itu adalah perkara yang tak diketahui; namun begitu, mengimaninya adalah wajib, sedang bertanya tentang hal itu adalah bid’ah!”.
Boleh jadi, bagi sebagian orang, lagu ungkapan bernada fideisme semacam di atas akan dikesan sarat naif. Karena secara tersirat ungkapan yang demikian itu telah mengisyaratkan betapa nalar argumentatif sama sekali tidak memiliki tempat pada lubuk iman insan beragama. Akan tetapi, bisa saja orang semacam St. Anslem akan mengelak balik, “jika mentari iman telah dijelang, maka untuk apa lagi lentera akal dinyalakan?” . Ya...bagi seorang mukmin, mungkin saja prihal semacam itu tidak akan memantik banyak masalah, mengingat daya iman mereka telah menyatu dengan hasrat cinta religinya. Namun begitu, fitrah rasional manusia tidak akan mudah bertekuk lutut begitu saja dihadapan wahyu. Terlebih ketika kita dihadapkan oleh dua pilihan agama yang saling berseberangan di mana masing-masing mendaku berasal dari pancaran wahyu ilahi. Apakah pada kondisi yang demikian itu iman tanpa akal akan mampu memilih salah satunya? andaikan sekedar berpegang pada nasib layaknya taruhan judi, maka bijakkah tindakan yang demikian itu? kalaupun kedua-duanya yang kita pilih? Apakah mungkin hitam sekaligus putih dalam saat yang bersamaan? Dus, tanpa akal, bagaimana mungkin kita bisa buktikan bahwa wahyu yang kita imani itu sejatinya dari Tuhan?
Rapuhnya konstruk pemikiran fideisme ini, naga-naganya turut memicu hadirnya gagasan Ultra Rasionalisme. Ibarat kata, apakah pantas kita memilih sebuah kapal laut untuk sampai pada suatu pulau, tanpa tahu apakah kapal tersebut layak-naik atau tidak? Mungkinkah Anda pasrah begitu saja? Bagi seorang Ultra-rasionalis, bisa jadi Anda akan dicibir, jika memang Anda memilih kapal tersebut secara asal-asalan. Begitu halnya dengan sang Nahkoda kapal. Tanpa bisa meyakinkan para calon penumpangnya dengan sekian dalil, boleh jadi kapal akan terpaksa berlayar tanpa penumpang. Singkat kata, dalam pandangan Ultra Rasionalisme, “suatu proposisi religi hanya dapat diterima secara rasional, ketika telah terbukti kebenarannya bagi segenap insan berakal pada setiap ruang dan waktu”. Namun demikian, pandangan inipun tidaklah kosong dari sanggahan. Sebab, apa yang didakwahkan oleh Ultra-rasionalisme itu memerlukan pula pembuktian akli yang bisa diterima secara mutlak. Lantas apakah kita harus menunggu hingga sejarah berakhir, ketika seluruh manusia telah sepakat untuk menerima kriteria semacam itu? Lebih dari itu, pada tataran praksis, tolak ukur seperti di atas, amat susah diterapkan, karena tidak semua manusia berbakat menjadi filosof. Lalu apakah mungkin setiap mukmin kita tuntut untuk mampu membuktikan iman religinya secara argumentatif?
Ketika kita melihat bahwa baik fideisme maupun Ultra Rasionalisme sama-sama memiliki kepincangan filosofis yang akut. Sebagian teolog, mencoba memperbaiki kelemahan kedua pandangan tersebut dengan menawarkan Rasionalisme Kritikal sebagai solusi lain. Menurutnya, kendati akal tidak mampu membuktikan kebenaran proposisi religi secara pasti. Namun akal tetap mampu menguji dan mengkritisinya secara rasional. Betapapun pandangan ini secara fungsional lebih layak dari dua pandangan sebelumnya. Akan tetapi, ketidakpedulian para penggagas Rasionalisme Kritikal atas problem epistemologis yang melilit pandangan ini, telah menyeret dan menjebak mereka dalam ceruk relativisme. Karena entah sadar atau tidak, pada kenyatanya mereka telah menafikan keniscayaan justifikasi akal. Itu berarti, ketika tidak ada satupun doktrin iman yang bisa dipastikan kebenarannya. Mau tidak mau, konsekuensi yang dibebankan akan memaksa mereka “bunuh diri” sambil berpegang pada pandangan ini. Mengingat, mereka pun tak kuasa membuktikan kebenaran cara pandang teologisnya itu terhadap doktrin religi yang mereka yakini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar